Saturday, July 9, 2011

Row 23

Bapak Imam Ya ! ! ? ?


Jam di dinding bilang sudah pukul 12.02 WIB.  Istirahat dulu ah.  Ganti baju seragam dan tutup kios sebentar lalu cabut.  Lalu lintas di seberang jalan ternyata agak lebih ramai dari biasanya dan antrian mobil motor lumayan panjang hingga ke lampu merah. Menyeberang jalan harus ekstra hati-hati dan lihat kiri kanan, siapa tahu ada motor yang suka nyalip ngga jelas dan sangat tidak perduli sama penyeberang jalan, aneh memang mental pengendara motor sekarang ini, ngga pernah ikut kursus kilat “bermoral saat naik motor” rupanya.

Sampailah saya ke tempat tujuan. Cuma 41 langkah dari kios sih.  Memasuki tempat yang sudah sangat lama tak saya kunjungi.  Aneh memang rasanya, dan sedikit orang yang ada di situ pun menoleh, sambil tersenyum dengan ramahnya.

Saya mengambil tempat di kanan agak ke pinggir lalu qobliah dulu. Selesai qobliah saya baca yang saya ingat-ingat saja. Seorang laki-laki seumuran saya, menoleh ke sekeliling, lalu berdiri mengambil posisi di tengah dan mengucap dengan suara tak terlalu lantang. Selesai ia mengucap ia menoleh ke kiri kanan, mencari-cari siapa yang harus maju berada di depan. Memang dalam ruangan itu hanya ada tujuh orang saja, dua orang memang pengunjung tetap sepertinya, seorang pedagang asongan, dua orang karyawan kantor sekitar. 

Dan mereka saling menoleh kiri kanan dan raut muka yang seperti orang tidak mau, dan beberapa nengok ke saya dan langsung meminta saya maju ke depan. Kontan saja saya kaget dan memang saya agak tidak mau, tapi sepertinya mereka sedikit memaksa dan memandang saya yang paling cocok ada di depan. Sepertinya mereka ikhlas dan memohon dengan sangat kepada saya, seorang berkata dengan suara halus, “Bapak imam ya?”  Yah saya tidak bisa menolak sepertinya, dan kami pun mulai berjamaah.

Setelah selesai saya balik lagi ke kios, buka pintu dan duduk berselonjor kaki, memikirkan apa yang barusan terjadi.  Saya tak habis pikir kenapa mereka sepertinya memaksa saya menjadi imam, mengingat latar belakang saya dan apa-apa yang telah saya lakukan selama ini.  Saya yakin mereka itu lebih baik dari saya, mereka lebih bersih dari saya, mereka lebih layak dari saya.

Apalah saya ini, penuh dosa, penuh luka, penuh amarah dan murka, tak ada sedikit pun kebaikan dalam diri saya. Dibandingkan dengan preman yang biasa nongkrong di jembatan pun saya yakin sayalah yang paling busuk, paling kotor, paling hina dan tak berakhlak.

Saya terus mencoba mencari-cari alasan mengapa tadi mereka menyuruh saya jadi imam. Memang mereka tak banyak mengenal saya, di sekitar situ saya baru 3 tahun menyewa kios, sepanjang hari tak pernah kelihatan, karena setelah masuk ke kios saya tak pernah lagi nongol hingga malam hari.

Menjadi imam terakhir seingat saya sembilan tahun lalu. Ya, di sebuah masjid yang megah, tapi karena sudah jam dua lebih jadi hanya bisa shalat di beranda. Saya sholat di situ dan seorang bapak meminta ikut berjamaah, eh meminta saya jadi imam.

Saya merenung, pantaskah saya jadi imam, minimal atas diri saya sendiri.