Monday, August 22, 2011

Singgah di Negeri Para Pelacur


Genap sudah satu putaran galaksi lamanya planet bumi ini dihuni dan ditinggali, saatnya dikirimkan utusan dari langit untuk berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya. Dipilihlah setitik nur abadi dan dibentuk menjadi seorang pengembara berperawakan tinggi tegap, tetapi tak bisa melihat, tak bisa mendengar dan tak bisa bicara, sehingga diberinya tunggangan kuda sembrani putih bercahaya yang serba bisa. Untuk menemani selama perjalanannya, diajaklah sembilan orang terpilih yang nantinya akan diturunkan di tiap-tiap negeri yang disinggahi.

Pada saatnya tiba, melesatlah mereka turun ke bumi persada dengan diiringi dentuman besar yang memenuhi seantero jagat raya. Terang benderang sudah atap langit, menebarkan debu dingin dan kehampaan. Jejak lintasannya bagai pelangi di tepi danau.

Sang Pengelana dan Sembilan Penunggang Kuda Hitam mendarat di suatu negeri antah berantah. Keadaan negeri ini begitu indahnya, hijau royo-royo, kaya makmur, gemah ripah loh jinawi, rakyatnya sejahtera, pemimpinnya adil, tak ada polusi, tak ada kejahatan, mereka hidup damai turun temurun. Hanya satu hal tak ada di negeri ini, sandaran vertikal pada Sang Kuasa, mereka lebih nyaman dengan kehidupan harmonis dengan sesama makhluk dan alam raya. Sang Pengelana menunjuk satu orang untuk menetap di sini, seorang berbadan pendek, berwajah rusak, tubuh penuh luka, penyakit dan perangai yang buruk, tapi berjiwa luhur penuh kearifan budi. Setelah itu Sang Pengelana dan pengiringnya melanjutkan perjalanan.

Sampailah mereka di negeri yang gersang, tandus, panas menyengat, tak banyak pohon tumbuh, rakyatnya tinggal di rumah-rumah batu, pemimpinnya keras, gemar berperang. Dua orang diminta menetap di sini oleh Sang Pengelana, satu orang yang pandai berbahasa dan berbadan rupawan, satu orang lainnya penguasa segala ilmu alam, tanaman dan hewan. Setelah memberi salam pada sang pemimpin, pengelana pun melanjutkan perjalanan.

Di tengah perjalanan Sang Pengelana berhenti di suatu rimba maha luas dan membuat tenda untuk istirahat. Tak lama mereka istirahat, ramai orang singgah juga sehingga meruah orang membuat tempat istirahat dari yang sederhana hingga yang bak istana. Merasa cukup istirahat, Sang Pengelana melanjutkan perjalanan, dua orang pengiringnya yang pandai membuat senjata dan gemar menyanyi menari, meminta tetap tinggal di situ, sisanya ikut Sang Pengelana.

Persinggahan berikutnya adalah sebuah negeri yang miskin, pemimpinnya pemalas, pejabatnya pandir dan lugu, rakyatnya hidup menderita, alam pun tak bersahabat, tanahnya tak bisa ditanami. Hanya satu andalan negeri ini, seorang peramal renta yang selalu mendongengkan masa depan yang gilang gemilang penuh harapan. Sang Pengelana hanya melewati negeri ini, dan ditunjuk tiga orang pengiringnya untuk tetap tinggal di negeri ini. Pengiring yang satu pandai melukis alam, yang lainnya pandai sihir, dan yang ketiga bengis dan sadis perangainya.

Selama perjalanan menuju negeri terakhir, Sang Pengelana ditemani seorang pengiring yang selalu saja bercerita tentang semua negeri yang disinggahinya. Tak ada lelahnya ia berceloteh, pun saat tertidur di atas kudanya. Kadang sambil berjalan ia sempatkan menuliskan semua negeri yang dilalui dalam lembar-lembar ilalang yang tumbuh lebat di tengah padang.

Negeri terakhir yang disinggahi cukup bersahabat sepertinya. Penduduknya ramah, para pejabatnya hidup berkecukupan dan bermewah ria, pemimpinnya berwibawa, banyak gedung pencakar langit dibangun di tengah kota, kendaraan super canggih berseliweran, rumah-rumah ibadah didirikan di tiap sudut kota. Sepertinya tempat yang bagus untuk menetap bagi Sang Pengelana.

Tapi apa nyana apa mau dikata, baru sehari tinggal di sana, sudah terlihat tabiat asli penduduk negeri ini, tiap saat ada saja rakyatnya yang saling caci maki, saling tuduh, saling curiga, semua pejabatnya begitu korup dan gila harta, aturan begitu banyak dibuat, di tempel di setiap dinding-dinding gedung tinggi, entah untuk siapa, entah apakah dibaca atau dicerna.

Di negeri ini tak ada tempat bagi kebenaran, siapa berani jujur maka silahkan masuk dalam kubur, tak ada ruang untuk orang beriman dan tak ada jabatan bagi orang berhati lurus, agama hanyalah sebagai hiasan dan pakaian pemanis rupa, pemimpinnya asyik masyuk saja di istana megah dipenuhi para punggawa bermuka seribu. Mereka semua melacurkan diri pada nafsu, harta dan jabatan. Sungguh negeri para pelacur dan bersiaplah untuk hancur, kata sang pengiring sesuai nubuat Sang Pengelana.

Dipanggilnya semua pengiring Sang Pengelana ke negeri ini, rasanya tak cukup satu orang memperbaiki keadaan negeri para pelacur. Tiap satu pengiring memperbanyak diri menjadi sembilan orang, dan tiap satu orang yang terbentuk, memperbanyak lagi menjadi sembilan pengiring baru, begitu seterusnya, seterusnya dan seterusnya, hingga penuhlah negeri ini oleh pengiring utusan dari langit. Tapi apa lacur, negeri ini tak ada keinginan untuk menjadi negeri yang jujur dan penuh syukur, mereka lebih suka menjadi negeri para pelacur.

Akhirnya Sang Pengelana dan seluruh pengiringnya memutuskan untuk meninggalkan negeri ini, melesat kembali menuju Kerajaan Angkasa Raya, biarlah Sang Raja Langit yang menuliskan nasib negeri para pelacur dalam kitab besar yang diletakkan dalam pangkuan tahta langit. Baik dan buruknya negeri para pelacur diserahkan kepada perilaku rakyat dan pemimpinnya, mau berubah atau tidak, mereka boleh memutuskan.

Sang Pengelana kembali ke asalnya, sirna dalam cahaya ketiadaan. Dia hanya hadir dalam relung-relung hati bocah kecil yang lincah berlarian di tengah hamparan bunga aneka warna, bocah kecil yang selalu bersenandung tentang keabadian.