Sunday, December 18, 2016

anjing hitam otak kudis

Revisi Undang Undang Nomor : 11 Tahun 2008 Tentang Impormasi Transaksi Elektronik (ITE) telah selesai dilakukan oleh pihak Dewan Perwakiran Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) selaku lembaga pembuat undang Undang (UU). Hasil dari revisi itu pun sudah ditandatangani oleh Presiden joko Widodo (Jokowi). Dan sudah pula diberlakukan kembali sejak 18 nopember 2016. Memang tidak banyak berobah dari hasil revisi tersebut. Ada beberapa point sebagai penambahan, dengan tujuan untuk lebih memperjelas dari pasal pasal yang ada di dalam UU ITE. Dan ada pula perobahan terhadap tuntutan hukum dari pasal yang diterapkan. Seperti pasal 27 ayat (3) yang menyebutkan ; Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Impormasi Elektronik yang memiliki muatan penghinaan/atau pencemaran nama baik dapat dipidana penjara Paling lama 6 (enam) Tahun denda paling banyak Rp 1 Milyar. Sementara perobahan pada pasal ini dari sisi pidana dan dendanya, pidana paling lama 6 (enam) tahun denda paling banyak Rp 1 Milyar, dirobah menjadi 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,-. Begitu juga perobahan terhadap pasal 28 ayat  (2) berbunyi; Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan Suku, Agama, Ras, Antar Golongan (SARA). Pidana hukumannya dari 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun penjara. Begitu juga dengan dendanya dari Rp 1 Milyar,- menjadi Rp 750.000.000.- Namun apapun itu namanya, setiap yang namanya UU pasti ada yang menjadi korban dalam penerapannya. Korban umumnya adalah orang orang yang melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan UU tersebut. Orang orang yang kurang mengerti terhadap UU itu. Akan tetapi tidak sedikit pula yang menjadi korban akibat dikriminalisasi dengan menggunakan UU tersebut. Lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, adalah merupakan peringatan bagi orang orang yang sering bersilancar didunia maya melalui media social (Medsos) apakah itu melalaui akun Facebook, Twiter, Faht dan lain sebagainya, agar berhati hati untuk membuat fostingan. Jika fostingan dapat membuat orang terluka, apa lagi merasa terhina, sehingga nama baiknya menjadi tercemar. Maka resikonya akan berhadapan dengan hukum. Pro dan Kontra Sejak diberlakukannya UU Nomor : 11 Tahun 2008 Tentang ITE, tidak terhitung jumlah orang yang menggunakan Medsos Elektronik khususnya internet yang harus berhadapan dengan hukum, akibat kurang hati hatinya dalam menggunakan medsos sebagai lapak untuk bekeluh kesah. Misalnya saja Prita Mulya Sari, Seorang ibu rumah tangga yang berkeluh kesah tentang pelayanan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Tangerang yang kurang memuaskannya, ketika dia membawa anaknya untuk berobat dirumah sakit itu. Prita menuliskan keluhannya itu melalui surat elektronik e_mail kepada teman temannya. Namun isi e_mail untuk kalangan terbatas itu ternyata menyebar luas kesejumlah meiling list diinternet. Dan membuat pihak RS Omni Internasional merasa tercemar dan lalu mengadukan Prita kepada pihak Polri dengan menggunakan pasal 27 ayat (3) tentang ITE. Kemudian kasus yang sama juga menimpa Florance Sihombing, mahasiswa Kenotariatan Universitas Gajah Mada (UGM) jokyakarta. Florance kesal terhadap pelayanan yang diberikan oleh salah satu SPBU di Jokyakarta, ketika ia ingin mengisi minyak kenderaannya di SPBU itu. Melalui medsos Faht, Florance menumpahkan kekesalannya. Dari ucapan ucapannya di medsos Faht membuat masyarakat Jokyakarta merasa terhina lantas mengadukan Florance kepihak Polri dengan menggunakan UU ITE. Yang paling anyer dalam kasus ini adalah, kasus Buni Yani, yang dijerat dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Buni Yani dijerat dengan pasal tersebut, karena pihak Buni yani telah mengunggah video Gubernur non aktif DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama (Ahok) yang menyetir Surat Al Ma’idah (51) dalam kunjungannya di kepulauan seribu. Akibat dari fostingan Buni Yani di akun Fesbooknya, mengundang kegaduhan nasional, karena Organisasi Keagamaan Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa keberatan dengan setiran Surat Alma’idah yang dilakukan oleh Ahok, Mereka menduga Ahok telah melakukan penistaan terhadap agama dan ulama. Dan kasus Ahokpun terus bergulir keranah hukum. Dari beberapa kasus dengan menggunakan UU Nomor : 11 Tahun 2008 Tentang ITE, akhirnya mengundang polemic antara pro dan kontra. Ada yang berpendapat dengan adanya UU ITE orang tidak sembarangan lagi untuk melontarkan pendapat. Keluh kesah dan kritikan di medsos. Namun tidak sedikit pula yang menuduh bahwa UU ITE, merupakan pembungkaman terhadap kebebasan, untuk menyampaikan pendapat, keluh kesah dan keritikan di medsos. Karena dengan adanya UU ITE, menjadi alat bagi penguasa, dan pemegang kekuasaan untuk menjerat orang orang yang tidak sepahan dengan nya, sehingga orang tidak akan berani lagi untuk melakukan keritikan, sekalipun keritikan yang dilontarkan melalui medsos adalah keritikan yang sipatnya membangun.  Ala Gusmus  Namun tidak semua orang bisa bersifat tawaduk, memberikan Aaif (maaf) kepada orang yang telah melakukan kesalahan kepada dirinya, apa lagi menghina dan mencemarkan nama baiknya. Karena bagi sebahagian orang kata maaf sudah begitu mahal melebihi harga emas. Tapi berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kiyai Mustapa Bisri (Gusmus) pengasuh Pondok Pesanteren Raudlatut Thalibin Rembang Jawa Tengah. Ditengah penghinaan dan pencemaran nama baiknya, yang dilakukan oleh seseorang melalui Medsos,  akan tetapi Gusmus tidak lantas mengambil langkah mengadukan orang yang menghinanya kepada pihak Polri dengan menggunakan UU ITE. Tapi Gusmus malah memberikan maafnya kepada orang yang menghinanya. Apa yang dilakukan oleh Gusmus, memang tidak semua orang dapat menerimanya, terlebih bagi orang yang memiliki kekuasaan dan harta yang melimpah, yang lebih mengutamakan harga diri ketimbang dari pada kata maaf. Karena belakangan ini kita sering melihat banyaknya pihak yang melaporkan para nitizen kepada pihak Kepolisian, karena dalam postingannya membuat ada pihak yang merasa terluka dan terhina. Jika apa yang dilakukan oleh Gusmus dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak, lebih mengutamakan kemaafan dari pada harus menggunakan UU ITE, terlebih bagi pejabat public, penguasa dan pengusaha tentu semua pihak akan merasa nyaman dan tenteram. Semoga !