Tuesday, November 1, 2016

Sang Ustadz, Preman dan Gigolo Istana

Dear, diary....
.
Kesabaran dan ketabahanku bersuamikan seorang mantan gigolo akhirnya hancur juga. Awal-awal menikah hingga masuk tahun kedua aku sudah terbiasa dengan celoteh para mantan klien suamiku. Pindah kota sedikit menenangkan kehidupanku, pindah negara makin menentramkan jiwaku.
.
Warna dan bahan saputangan yang diselipkan di saku celananya menjadi perhatianku setiap waktu. Hingga suatu senja, suamiku hendak keluar rumah. Sapu tangan yang dipakai berbahan batik warna biru.
.
Batik? Biru?
.
Haruskah kutanyakan artinya? Belum pernah kulihat suamiku memakai yang ini. Maka kuputuskan untuk menguntitnya. Tapi tak jadi. Kuminta saja seorang PI, detektif partikelir untuk membuntutinya.
.
PI mengirimkan foto dan video suamiku sedang bersama seseorang di sebuah kamar hotel melati. Mereka begitu mesra dan bergelora bagai dirasuki nafsu birahi yang tertahan dua purnama lamanya. Dan yang membuatku murka adalah karena suamiku harus membayar untuk itu.
.
Aku menunggu saat yang tepat untuk membuat perhitungan. Harus terencana rapi.
..........
"Mbak Sum..... mbak Suuum!!....."
.
Suara panggilan Diaz mengejutkan Sumi yang sedang membaca buku diary Surti, mamanya, yang meninggal seribu hari yang lalu.
.
Sumi bergegas meninggalkan kamarnya yang terletak di bagian belakang bersisian dengan dapur. Buku diary sudah aman disimpan di ruang rahasia di bawah tempat tidur. Ruang berukuran 60 cm x 60 cm setinggi 30 cm sepertinya dibuat oleh penghuni sebelumnya yang menempati apartemen di lantai 7 itu. Ditutup oleh permadani tebal, membuat ruang rahasia itu tak terlihat oleh siapapun.
.
"Iya, den... Den Diaz ingin sarapan apa pagi ini?'
.
"Hmm...... roti panggang isi daging cincang dan jus jeruk enak ngga ya?"
.
"Cocok itu, den. Kebetulan stok daging masih ada. Lusa mungkin tersisa daging terakhir"
.
"Taruh saja di meja makan kalau sudah jadi, mbak. Aku mau sholat subuh dulu"
.
Sumi pun menuju dapur sedang Diaz melangkah menuju ke kamarnya.Sumi terus mengamati hingga Agam masuk ke kamarnya.
.
"Tak terlalu ganteng memang, badannya terawat tanpa lemak dengan otot yang begitu keras terutama di bagian perut, sixpack istilahnya, tapi Diaz begitu alim, mungkin bisa mengalahkan kealiman pak ustadz yang biasa mengisi tauziah di musholla apartemen The Continent", batin Sumi sambil membayangkan musholla apartemen yang menghadap ke ITC Senayan.
.
Selesai sholat subuh, Diaz ke ruang tengah dan menjatuhkan badannya dalam posisi terlentang, dua tangan di belakang kepala, lalu sit up 33 kali, tiap sit up dia ucapkan Subhanallah. Selesai sit up, Diaz push up 33 kali, tiap push up dia lafalkan Alhamdulillah. Dilanjutkan dengan sit jump 33 kali yang tiap sit jump dipekikkan Allahu Akbar. Mengakhiri olahraga paginya, Diaz mengucapkan sholawat Nabi.
.
Masih berbalut peluh di sekujur tubuhnya, Diaz menuju meja makan.
.
"Kamu sudah sarapan, mbak Sum? sini makan bareng-bareng"
.
"Sudah, den. Saya bikin nasi goreng tadi"
.
Pukul 06:10, Diaz meninggalkan apartemen bernomor 729, sementara Sumi merapikan ruang-ruang di apartemen yang mereka tempati.
.
Sesekali Sumi pergi meninggalkan apartemen dengan berbagai tujuan dan keperluan, dan diusahakan sampai di apartemen sebelum Diaz pulang. Selebihnya Sumi menghabiskan waktunya di depan laptop menyelesaikan beberapa pekerjaan dari kliennya.
.
Saat-saat Diaz pulang ataupun ketika Diaz bangun tidur adalah hal yang sangat mendebarkan bagi Sumi. Dia harus selalu siap dan menyimak apapun yang terlontar keluar dari mulut Duaz. Seperti kejadian di suatu malam sehabis badai besar menerjang ibukota yang bahkan sampai merobohkan signage di lobi Senayan City. Sumi lelap tertidur di kamar belakang.
.
Kepulangan Diaz tak disadari oleh Sumi walaupun ponselnya selalu standby memonitor keberadaan Diaz.
.
"Mi..... Mami...... bangun, mi....."
.
Suara dan belaian Diaz mengejutkan Sumi yang sangat lelap tidurnya. Sumi dengan cepat berkonsentrasi untuk mengetahui situasi ini. Melihat pakaiannya yang tersibak, Sumi mulai sadar apa yang telah terjadi.
.
"Suka sekali sih mami tidur di kamar ini. Pindah yuk....."
.
Ajakan Diaz tak perlu dibantah. Sumi bangun sambil merapikan pakaiannya yang berantakan. Diaz pun beranjak keluar kamar. Samar-samar Sumi melihat siluet bayangan tubuh polos Diaz tertimpa cahaya ruang makan. Sumi pun tersenyum, senyum berjuta makna dan rasa.
.
"Papi duluan saja....... Mau aku buatkan kopi, pi?"
.
"Boleh, boleh. Cepetan ya, istriku yang seksi........"
.
Sumi pun membuat kopi kesukaan Diaz lalu membawanya ke kamar utama yang lebih besar. Diaz tampak sedang tiduran dengan posisi terlentang menunggu Sumi dengan sabar. Secangkir kopi yang masih mengepul tercium begitu harum memenuhi ruangan kamar. Menambah sensasi luar biasa bagi Diaz.
.
"Mami taruh saja kopi itu di meja....... Naiklah ke sini......."
.
Sumi mengerti apa yang diinginkan Diaz lalu meletakkan kopi itu di meja. Seperti yang sudah-sudah, kopi itu sudah mulai dingin saat Diaz menghirupnya dengan penuh kenikmatan seperti kenikmatan yang telah diberikan Diaz kepada Sumi sebelum meraih cangkir kopi itu.
.
Sesudahnya, Diaz tertidur dengan lelap. Sumi pun merapikan kamar itu lalu menutup pintu kamar Diaz. Sumi kembali ke kamar belakang. Dibukanya laptop dan menuliskan sesuatu beberapa halaman. Sumi pun tidur setelah menyimpan laptopnya.
..........
"Bi Sum..... Bibi Sumiii!!!"
.
Sumi tak kaget dengan suara Diaz yang memanggilnya dari dalam kamar. Diaz bangun kesiangan.
.
Sumi duduk di ruang tengah saat Diaz keluar kamar. Tampaknya Diaz sudah mandi dan berpakaian biasa saja pagi ini. Mengenakan t-shirt hitam dan bercelana jeans.
.
"Tolong buatkan nasi goreng cumi dong, bi Sumi. Dan siapkan juga aspirin ya, entah kenapa saat bangun tidur tadi, kepala ini bagai digodam palu Thorsi Pangeran Kegelapan"
.
"Iya, den Diaz...... tunggu sebentar ya, tak lama kok"
.
Sumi pun pergi ke dapur menyiapkan nasi goreng pesanan Diaz. Dan sementara itu Diaz tampak sedang asyik dengan iPhone7-nya. Dari minyak wangi dan kaos yang dikenakan Diaz, Sumi mengerti apa yang akan dilakukan Diaz hari ini.
.
Tak lama kemudian, Diaz pun menikmati nasi goreng kesukaannya. Lahap sekali makannya, bagai habis mencangkul sawah satu depa. Selesai makan, dilontarkan satu pil aspirin ke mulutnya lalu meneguk air putih.
.
Sambil berjalan ke ruang tengah, Diaz mengeluarkan sapu tangan di saku depan celana jeansnya. Sapu tangan berbahan batik berwarna merah itu dipakai menyeka mulutnya lalu diselipkan kembali ke saku belakang sebelah kanan celana jeansnya. Sapu tangan sedikit menyembul keluar membentuk lipatan segitiga.
.
Sebuah pesan WA masuk ke ponsel Sumi yang sedang duduk di bar dapur.
.
'Bagaimana perkembangan pasienmu, dr. Sumi?'
.
Sumi menghapus pesan itu segera, lalu membalas pesan dari boss suatu 'institusi' tempat Sumi bertugas.
.
'Membaik. Semakin membaik'
.
Sumi melongok Diaz yang kini sedang asyik menyedot rokoknya yang tinggal setengah. Dan tak lama menaruhnya di asbak lalu dimatikan dengan memutar-mutar rokok itu di dasar asbak.
.
"Aku pergi dulu, bi Sum......"
.
"Iya, den....... Hati-hati......"
.
Diaz berdiri dan berjalan menuju pintu. Perhatian Sumi tertuju pada sapu tangan berwarna merah yang terselip di saku kanan celana jeans Diaz.
.
Hah!!! Sapu tangan batik berwarna merah? Diselipkan di sebelah kanan? Siapa om-om hidung belang yang hendak dijumpai Diaz. Kepala Sumi bekerja keras mengeluarkan memori dalam lipatan-lipatan otaknya.
.
Setelah menguasai emosinya, Sumi menarik napas dalam-dalam dan tersenyum kecil sesudahnya.
.
Setelah Diaz pergi, Sumi pergi ke kamar belakang mengambil laptop lalu membawanya ke meja makan. Bagian akhir novelnya sepertinya sudah didapat Sumi..... dr. Sumi mengganti judul novelnya menjadi : Sang Ustadz, Preman dan Gigolo..... by Sasumi.
...........
Gimana sodara-sodara, ada pertanyaan atas cerita di atas? klo bingung, ngga usah khawatir, gue aja ngga bingung, apalagi loe-loe pade..... Udah dulu ye....... mau ke Korea...... eh Kroya ding......
.
Dan klo ente ente pade liat cowok pake sapu tangan batik warna merah, jangan asal tuduh mas broo..... bisa-bisa ente masuk UGD gara-gara dibogem tuh cowok.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
megu
.
.
.
.

AHOK PASTI MENANG

Puisi Ramon Damora

sorry men
gue baca yasin
bukan black campaign

gue cuman zikir
pengen diam
ngapain lo mikir
macam-macam

gue datangin
majelis taklim
lo sinis, ngeklaim
kampanye hitam

kasian lo, bro
bentar-bentar kepo
masjid masjid gue
qur'an qur'an gue
udah, jangan rese

sejak lahir
gue diazanin
islam haqqul yakin
lakum dinukum
waliyadin
stop ngerecokin

imam gue takbir
gue takbir
imam gue ngingetin
bahaya "waladhdhaallin"
semua kompak amin
simple, men
nggak usah cemen

nggak perlu juga kale
cari-cari simpati
bikin pencitraan
korban penzaliman
ayat-ayat suci

baru surat al maidah
satu ayat
lo marah-marah

ge-er amat

santai dong
jangan gotong-royong
nodong-nodong

jakarta perlu
orang super
bukan yang
bentar-bentar baper

gue pake songkok
pengen sujud rukuk
mencari ridho ilahi
buat nabung pahala

andai gue ahok
yang berani nyeletuk
kalau dia mati pasti
langsung masuk surga [***]

Ramon Damora adalah penyair dari Batam dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepulauan Riau.