Tuesday, July 16, 2013

Mancing Kakap Dapat Sempak

PKL Tanah Abang : “Sikap Ahok = Firaun”
.
Oleh: Pakde Kartono | 16 July 2013 | 15:24 WIB
.
Wakil gubernur DKI Jakarta kembali membuat berita terkait kata-katanya yang ceplas ceplos seperti orang gak makan bangku sekolahan dalam menghadapi unjuk rasa Pedagang Kaki Lima (PKL) Pasar Tanah Abang yang menolak dipindahkan ke Blok G. Pedagang yang dipindahkan adalah yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta, Ahok berpendapat mereka berlagak di Jakarta dan membuat jalanan menjadi macet parah. Ahok mengatakan “Sekarang, dia PKL-nya KTP DKI atau non-DKI? Non kan. Enggak ada yang menyuruh mereka berdagang di sini. Makanya jangan berlagak di sini.” Mereka berdagang untuk mencari sesuap nasi, untuk makan dan membayar sekolah anak-anak, tuk penghidupan yang lebih baik, mereka berdagang untuk menyambung hidup bukan disuruh-suruh oleh pemprov DKI Jakarta, mudah-mudahan Ahok memahami hal tersebut.
Sikap tegas Ahok terhadap pedagang yang tidak berKTP DKI Jakarta menuai protes. Salah seorang PKL yang unjuk ras, Aminah, mengatakan : “Sikap Ahok sama dengan Firaun.” Aminah mengatakan hal tersebut berkaitan dengan sikap Ahok yang tak peduli dan cenderung menindas rakyat kecil, kejam dan tanpa kompromo, padahal di Indonesia segala sesuatu biasa dibicarakan baik-baik, bila ada masalah diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat sesuai falsafah dasar negara Indonesia, Pancasila.
Dikatakan sikapnya sama dengan Firauan, Ahok dengan enteng menjawab : “Sekarang begini deh, emang lo kira gampang dilahirkan jadi Firaun?”
Waduh, terhadap rakyat kecil, pedagang kaki lima, Ahok koq jawabnya kaya orang emosi, pake kata-kata ‘lo’ segala. Ahok seperti bicara kepada keluarganya aja atau kepada teman-temannya, seperti kata-kata di iklan televisi, “Elo, Gue, End.”
Saya koq mendengarnya kurang sopan yah? Apa kuping saya yang terlalu sensitif. Sebagai orang jawa, seperti gubernur DKI Jakarta asal surakarta yang terkenal halus tutur katanya, Jokowi. Orang jawa punya berbagai tingkatan bahasa, perlu membedakan gaya bicara dan sebutan kepada orang tua dan orang muda, kepada rakyat dan kepada teman/keluarga dll.
Jika cara Ahok memperlakukan rakyat seperti itu, emosi atas kritik yang disampaikan, dan melaksanakan kebijakan dengan tegas dan tanpa sosialisasi dan kompromi, dan berpihak kepada pedagang besar, saya kuatir omongan PKL aminah menjadi benar adanya, bahwa sikap Ahok sama dengan Firaun. Firauan kan kejam ke rakyat Mesir, tanpa kompromi.
.
Selamat sore Indonesia
.
.

Ikan Asap Galala Ambon Manise...... Maknyuus, Brooo.... Mau? Ke Blok M Azzaaa.....

In JIL you can follow ??!!

Sebetulnya Islam Liberal Atau Islam Baru Belajar?
.
Oleh: Baskoro Endrawan | 15 July 2013 | 15:30 WIB
.
Mohon maaf sebelumnya, jangan diambil ati atau bahkan terkesan menggurui ya?
Lebih baik masuk dengan pendapat yang sudah terbangun duluan dengan mengatakan bahwa penulis memang kurang kadar kewarasannya. Karena dengan punya keyakinan seperti itu, minimal akan terasa tidak terlalu menyakitkan apabila yang ditulis di artikel disini ternyata benar adanya. Dan kalau salah? Kembali ke peraturan awal saja.
Islam Liberal. Penganan opo meneh iku?  Inget Islam Liberal, keingetnya sama Lek Ulil Absar Abdalla dan konco konconya yang bernaung dibawah nama “JIL” atau Jaringan Islam Liberal.  Konon, sekelompok pemikir yang ingin mengadaptasi Islam kepada kondisi terkini. Bahwa sejatinya ayat di Quran tidak harus statis, dan apabila iya maka boleh ditafsir ulang.
Faktualitas tidak penting, yang penting hanya menyerap moral of the story dari Quran sendiri.  Dan yang lebih penting lagi, harus peka dengan kondisi terkini, setidaknya menurut standar versi JIL atau yang populer saat ini.
Menurut saya, Lek Ulil ini sendiri sebetulnya cerdas. Tapi seperti kebanyakan Liberal tanggung yang lain, sayangnya rata rata historisnya justru mereka berasal dari kungkungan yang kental akan nilai fundamentalis, dan tiba tiba terpesona  dengan dunia barat. Seakan akan, ‘barat’ adalah satu jawaban dari kebuntuan pemikirannya . Karena satu dasar : sifat gumunan.
Liberalismenya sendiri,dipelajari dari setumpuk buku. Wah, kalau ditanya istilah atau terminologi seputar itu tentu hafal diluar kepala. Seperti halnya Ulil yang melihat “Amerika sebagai sesosok dewa penyelamat. Lucu bagi sebagian orang yang justru bahkan merasa malu bahkan untuk mengenakan kaus yang ada gambar bendera amerika  yang kecil sekalipun.
Ya tapi mungkin itu tadi. Karena enggak tau, tadinya gak pernah merasakan jadinya gumunan. Malas mengkaji lebih dalam di Islam, dan juga tanggung di liberal. Jadilah mahluk hibrid bernama Islam Liberal.
Sebetulnya, aslinya memang sudah mantap mengaku menjadi seorang Islam Liberal itu karena sudah mentok belajar Islam, sudah benar benar faham liberalisme itu seperti apa dengan menjalaninya, atau karena Islam Liberal itu kelihatan keren dan gaul jadi asik disana?
Padahal nih ya, Islam Liberal itu kelihatan keren dan gaul, hanya di mata orang yang enggak pernah gaul. Seriusan ini. Karena kok yang saya perhatikan, kebanyakan dari  yang ‘mengaku’ Islam Liberal sendiri adalah, they can only talk the talk, but they can’t walk the walk.
Memberikan pengertian pluralisme sendiri malah nabrak nabrak. Beneran nih menganggap semua agama itu sama baiknya dan masih mengklaim bahwa memeluk agama tertentu? Waduh, ini sih namanya plin plan malahan. Maaf kata.
Mbok ngomong aja kalo masih lagi taraf belajar agama. Gak perlu malu tentang hal itu, karena memang sudah seharusnya untuk terus belajar kalau pekara itu.

Penulis Prabayar Oportunis dan Survey-Survey Pesanan Pascabayar

Jakarta - Gubernur DKI Joko Widodo lagi-lagi dinyatakan unggul dalam survei terkait Pilpres. Kali ini giliran Indonesia Research Centre (IRC) yang menasbihkan mantan Walikota Solo itu sebagai kandidat terkuat, jauh mengungguli lawan-lawannya.

Survei yang dilakukan IRC dilakukan terhadap pemilik telepon di 11 kota besar di Indonesia (Bandung, DKI Jakarta, Lampung, Makassar, Denpasar, Medan, Palembang, Samarinda, Semarang, Surabaya dan Tangerang) pada 8-11 Juli 2013. Responden mendapatkan pertanyaan, jika Pemilu dilakukan pada hari ini, siapa kandidat capres yang akan mereka pilih.

"Sebagian besar publik memilih Jokowi (32 persen) sebagai presiden. Setelah Jokowi ada Prabowo (8,2 persen), Wiranto (6,8 persen), Megawati (6,1 persen) yang dipilih sebagai presiden. Sementara Aburizal Bakrie yang secara resmi dikandidatkan oleh Golkar hanya dipilih oleh 3,3 persen masyarakat," kata peneliti IRC Agus Sudibyo dalam pernyataanya, Senin (15/7/2013) malam.

Lantas, IRC juga menanyakan hal lain kepada responden. Jika elektabilitas kandidat presiden dilihat berdasarkan konsitituen masing-masing partai politik, siapa yang mereka pilih?

"Mayoritas konstituen PDIP lebih memilih Jokowi (54,9 persen) daripada Megawati (14,3 persen). Kemudian Gerindra, mayoritas konstituen konsisten akan memilih Prabowo (58 persen). Sementara itu Hanura, sebagian besar konstituen akan memilih Wiranto (44,4 persen) sebagai presiden. Yang menarik adalah konstituten Golkar, suaranya terbelah, dengan kecenderungan lebih memilih Jokowi (26,4 persen) daripada Aburizal Bakrie (20,8 persen)," kata Agus.

Jokowi mampu menyerap konstituen yang lebih luas. Terbukti Jokowi mendapatkan dukungan dengan prosentase yang relatif signifikan, yakni antara 17 persen hingga 37 persen, dari konstituen partai politik lain di luar PDIP.

Sementara itu, IRC juga menemukan fenomena menarik lain yakni terkait naiknya elektabilitas Wiranto pasca deklarasi yang dilakukan. Jika pada survei-survei sebelumnya elektabilitas Wiranto berkisar pada angka 3-4 persen, pada survei yang diselenggarakan IRC kali ini elektabilitas Wiranto mencapai angka 6,8 persen.

"Kenaikan yang cukup signifikan kemungkinan merupakan merupakan efek dari deklarasi capres-cawapres Wiranto-Hary Tanoesoedibjo, 2 Juli 2013. Deklarasi ini merupakan deklarasi capres-cawapres pertama menuju pemilihan presiden tahun 2014 yang sudah tentu mendapatkan perhatian besar dari pers dan publik nasional," kata Agus.

Jumlah responden dalam survei ini adalah 794 orang yang dipilih secara acak dari buku telepon residensial terbaru terbitan Telkom. Dengan jumlah sampel di atas maka margin of error (MoE) lebih dari 3,48 persen, pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil survei ini tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan pandangan seluruh masyarakat Indonesia.