Monday, August 1, 2011

Jangan Biarkan Meme Menumpuk

Sebelum menuju pada kalimat judul di atas bahwa blog menjadi sarang meme (baca: mem), ada baiknya kita pahami dulu apa itu mem.

Meme adalah segala hal yang dapat berpindah dari benak satu ke benak lain. Istilah ‘mem’ pertama kali diperkenalkan oleh Richard Dawkins dalam buku “The Selfish Gene” (1976). Dia mengatakan bahwa seperti juga gene (baca: gen) dalam evolusi biologi, ‘mem’ juga bermain dalam evolusi sosial budaya. Keduanya, gen dan mem, mempunyai fungsi sebagai pengganda diri (replicator).

Selanjutnya teori ini dikenal dengan nama memetics (memetika).

Richard Dawkins menyebut beberapa contoh dari mem, di antaranya: lagu, ungkapan, gagasan, karya, kepercayaan, tips-tips resep makanan, dan sebagainya, merupakan mem. Sebuah teori, issue, rumor, dan gosip juga bisa disebut sebagai mem.

Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh Richard Brodie dalam buku “Virus of the Mind: The New Science of Meme.” Brodie menjelaskan bahwa mem adalah suatu unit informasi yang tersimpan di benak seseorang yang mempengaruhi kejadian di lingkungannya sedemikian rupa sehingga makin tertular luas di benak orang lain.

Mem berkembang untuk mensukseskan dirinya sendiri, yaitu:

  1. usia sepanjang-panjangnya (longevity)
  2. tersebar seluas-luasnya (fecundity)
  3. berketurunan seasli-aslinya (copying fidelity)
Ada tiga jalur utama yang digunakan oleh mem dalam menulari benak kita, yaitu:

  1. pengulangan (repetition), misalnya indoktrinasi dan iklan
  2. ketegangan (cognitive dissonance), misalnya gosip atau kata-kata dari seseorang yang mengganggu ketenangan hati dan penyelesaiannya
  3. menunggangi (free riding), yaitu segala gagasan yang menunggangi naluri kita seperti rasa lapar, seks, dan mekanisme pertahanan diri.
Saat sebuah tulisan menggelinding (publish), gagasan yang ada didalamnya telah terlepas dari kendali si pencipta atau penyebarnya (perekayasa). Dia bisa bertambah utuh atau berkurang detail-detailnya tergantung dari:

  1. Samar tidaknya isi tulisan tersebut. Misalnya ada tulisan yang di-delete admin karena melanggarterms & conditions, plagiasi, dianggap cenderung bernuansa konflik antar agama, atau jelas-jelas memberikan informasi palsu.
  2. Populer atau tidaknya topik atau sosok yang dimuat di dalam tulisan, dan
  3. Sensasional atau tidaknya judul tulisan dan beserta isinya yang bisa membuat dashboard‘mleduk.’
Gagasan yang kita sampaikan di dalam isi tulisan kita itu hidup. Ia mampu menggandakan dirinya sendiri dengan cara berpindah (membelah diri) dan menularkannya ke benak-benak orang banyak. Bahkan sebuah gagasan atau teori yang terbukti gagal pun bisa tetap hidup selama-lamanya dan tersebar seluas-luasnya. Seperti gagasan tentang komunisme dan kapitalisme. Kedua teori tersebut hingga kini masih ‘hidup’ dan berkembang menjadi bentuk baru (ber-evolusi).

Gagasan-gagasan tentang kapitalisme dan komunisme, walaupun sering menjadi biang kerok atas ‘eksploitasi manusia oleh manusia,’ tidaklah benar-benar mati dari muka bumi ini. Gagasan-gagasan tersebut mengalami apa yang di dalam biologi disebut apoptosis. Yaitu sebuah mekanisme kematian sel terprogram.

Contoh nyata dari apoptosis adalah pemisahan jari pada embrio. Apoptosis yang dialami oleh sel-sel yang terletak di antara jari menyebabkan masing-masing jari menjadi terpisah satu sama lain. Bila sel kehilangan kemampuan melakukan apoptosis maka sel tersebut dapat membelah secara tak terbatas dan akhirnya menjadi kanker. (Wikipedia)

Apoptosis digunakan oleh organisme multisel untuk membuang sel yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh. Proses ini berlangsung seumur hidup dan bersifat menguntungkan bagi tubuh. Ini berbeda dengan nekrosis, yaitu kematian sel yang disebabkan oleh kerusakan sel secara akut. Kematian sel ini benar-benar punah dan tidak ‘ber-evolusi’ menjadi bentuk baru.

Karena itu beberapa tulisan kita juga bisa punah dari muka bumi, apabila kita ‘memalsukan’ informasi-informasi di dalamnya. Kemudian publik menilai dan menginterpretasikan bahwa isi tulisan kita adalah sebuah kekeliruan, apalagi admin pun kemudian men-delete-nya. Dan pada saat itulah kita perlu introspeksi diri dan meng-evaluasi kembali apa-apa saja gagasan yang kita usung dan bagaimana cara kita menuliskannya.

Nah, jadi kita sebagai penulis di Kompasiana, yang selalu melahirkan mem yang baru setiap hari, penting untuk menyadari bahwa gagasan yang kita sampaikan bisa hidup selama-lamanya dan menyebar seluas-luasnya, ‘mati’ dan berevolusi menjadi bentuk baru atau malah punah tak berarti. Karena sekali ditembakan ke muka publik, sebuah gagasan terlepas dari kendali si pe-rekayasa.

Mem Sebagai Sumber Konflik atau Evaluasi Diri?

Banyak orang yang tergerak emosinya saat membaca/mendengar gagasan-gagasan nakal, kritik, atau pemikiran yang out of the box di blog ini. Tulisan-tulisan w bisa membuat kita tertawa, tulisan-tulisan x bisa membuat mata kita basah, atau tulisan-tulisan dari es bahkan membuat segelintir orang ingin membunuh si penulis. (baca: y)

Sebenarnya ketika emosi kita bergerak, kita hanya menjadi penonton belaka, penonton pasif yang di-stimulasi oleh rangsangan-rangsangan yang aktif. Stimulus-stimulus itu hidup seperti v ketika ia menemukan inang untuk dijadikan medium berkembang biak. Respon negatif atau positif dari kita tidak menjadi pertimbangan. Mem sudah mendapatkan hidupnya di detik pertama kita mulai memberikan reaksi.

Karakter seseorang sangat berpengaruh pada informasi apa saja yang ditularkan ke benak orang lain. Misalnya orang yang positive thinking memanfaatkan gosip (sebagai salah satu jenis mem), hanya sebagai penukar informasi, dan tidak menambah-nambahkan isi gosip dengan sesuatu yang tak jelas kebenarannya. Orang seperti ini dapat membedakan mana mem yang merusak mana yang meningkatkan daya hidupnya. Manusia seperti ini dapat memelihara dan mengembangkan mem yang sesuai dengan kesejahteraannya, dan mengendalikan mem yang merugikan.

Secara lebih abstrak mem menginstruksikan aba-abanya dengan halus dan tersamar, ke dalam instrumen perekam dan pengulang yang tiada duanya, yaitu otak.

Mem menjadi satuan dasar pembangun interpretasi pikiran, yang kemudian menciptakan budaya, sistem sosial, sistem kepercayaan, dan segala sesuatu yang berkenaan dengan interpretasi kita atas hidup.

Tak ada mikroskop yang mampu menelanjangi wujudnya. Satu-satunya alat yang mampu menjadi detektor pergerakan mereka adalah pemahaman kita sendiri. Kita yang tidak sadar cuma akan menjadi bulan-bulanan. Kebanyakan hanya mampu merasakan residunya saja, yakni konflik. Saling kritik dianggap ‘berlawanan’ dalam arti lawan sesungguhnya. Tak jarang disertai emosi seperti marah dan benci terhadap orang-orang yang mengkritik gagasannya. Padahal kalau kita sadari, kritik dan gagasan yang muncul di media ini merupakan bagian dari kontrol sosial atas diri kita, untuk  selalu meng-evaluasi diri.

Erri Subakti.