Sunday, March 18, 2012

Demi Dia, Jangan Kau Pergi

Seminggu sudah Lidia terbaring lemah di RS Persahabatan. Sang mama dengan setia menemani di sisi ranjang besi bercat putih. Ruang Melati dihuni empat pasien dengan empat penyakit yang sama, penyakit dalam. Lidia terkena tipes stadium lanjut. Tak banyak makanan yang bisa masuk ke perut. Salah makan maka resikonya maut.
Dua minggu lalu Lidia masih sehat-sehat saja. Masih bekerja seperti biasa, menjaga konter ponsel di Cijantung. Karena penasaran mencicipi Mie Ayam Bangka yang baru buka di lantai 4, maka dipesannya 1 porsi untuk penghilang lapar siang itu.
“Heh, Lidia, kamu kan baru sembuh dari tipes, kok berani-beraninya pesan mie ayam, saos cabenya banyak pula kau tuang ke mangkok”
“Duuuh, ini kan hanya sedikit saosnya. Lagian kan kata dokter aku sudah sembuh total. Makan apa saja boleh katanya”
“Emang susah ngomong sama kepala batu. Sakit lagi tahu rasa lu”
Begitulah, sekali dua kali, Lidia makan mie ayam itu. Hingga suatu siang, kembali Lidia pesan mie ayam satu porsi, padahal paginya sarapan mie rebus. Tambah lagi berangkat kerja hujan-hujanan. Sedikit masuk angin Dia.
Baru tiga suap Lidia menikmati mienya, tiba-tiba ia merasa sakit di perutnya. Tampaknya penyakit tipesnya kambuh. Karuan saja Bintang kelabakan, diantarnya Lidia ke klinik di depan Graha Cijantung. Dokter menyarankan agar Lidia istirahat saja.
Sampai di rumah, mama buru-buru memapah Lidia ke kamar. Badan Lidia mulai dingin dan lemah. Tubuhnya gemetar.
“Mama kan sudah bilang, kalau bisa jangan makan mie lagi. Tak bagus buat perut kamu, Dia”
“Iya mah, rasanya pingin banget makan mie itu. Duh, sekarang begini ma. Sakit sekali ma”
“Ya sudah. Kamu istirahat saja. Terima kasih ya, Bintang, sudah menolong anak mama yang manja ini”
“Ah, sudah biasa kok tante, kami saling bantu. Kalau boleh Bintang mau menginap, menemani Dia, tante”
Malamnya badan Lidia mulai demam, semakin lama semakin meninggi. Kadang meracau mulutnya, bicara tak jelas. Mama dan Bintang khawatir sekali. Ryan hanya berdiri lemas.
“Kita bawa ke rumah sakit saja, Ryan. Kayaknya tipes Lidia kambuh”
# # #
Ryan menatap erat Dia yang terbaring lemah di ranjang besi bercat putih. Pucat sekali wajahnya, tidur berselimut peluh membasahi sekujur tubuh. Sesekali disekanya dengan lembut wajah Dia, gadis yang dinikahinya dua tahun lalu.
Hhhhh, Ryan menarik napas dalam-dalam mengingat perkawinan itu. Bukan pesta perkawinannya, tetapi mengapa itu harus terjadi, dan kenapa aku yang harus menikahi Lidia. Tapi tampaknya saat itu tak ada pilihan lain.
“Kamu sering melamun, Ryan. Kamu baik-baik saja , kan?”
“Eh....., ah....., oh....., iya mama, Ryan baik-baik saja kok, hanya memikirkan pekerjaan yang menumpuk di kantor”.
“Sudah kamu pulang saja, biar mama yang menjaga Lidia. Besok kamu harus kerja”
Ryan hanya mengangguk. Dikecupnya kening Dia yang masih tertidur pulas. Diambilnya dua tas kerja yang tergolek di lantai.
“Ryan pulang dulu, ma”
# # #
Mama melihat Bintang di koridor sedang duduk sendiri, tampaknya sedang bertelepon dengan seseorang. Hmm, biarlah, pikirnya. Lalu mama kembali ke bangsal Lidia yang tersenyum melihat mamanya datang.
“Tadi Lidia bermimpi, ma. Ada malaikat datang, wajahnya dan pakaiannya putih bersih bercahaya terang tapi tak menyilaukan mata. Katanya bukan untuk mengambil Lidia, hanya mengingatkan agar Dia tabah saja, karena jalan masih panjang membentang”.
“Ah, itu hanya mimpi Lidia”
Di koridor, Bintang masih bertelepon.
“Bagaimana mas, apakah kamu akan bicara sekarang. Kayaknya Lidia sudah mulai sembuh, badannya sudah segar”
“Iya, kayaknya saya harus bicara sekarang sama mama. Saya ke sana sekarang”
Telepon ditutup, Bintang pun berjalan menuju kamar Lidia.
Di suatu kantor, Ryan sudah beres-beres akan pulang. Setelah yakin tak ada yang tertinggal, iapun mematikan lampu di ruang kerjanya.
Pak satpam hanya tersenyum saja melihat Ryan keluar kantor. Seperti biasa, Ryan pasti orang yang terakhir pulang.
Dipacunya motor di tengah Jalan Pramuka yang sunyi, membelah malam dalam galau hati bercampur bimbang. Rupanya Ryan masih ragu akan keputusan ini. Bicara atau tidak sama mama.
Tanpa disadari, sebuah box mobil minimarket memotong jalan, motor Ryan oleng, dan sebuah sedan di jalur yang berlawanan kaget, langsung menghantam motor Ryan, terpelating tubuhnya lalu mendarat di aspal yang basah habis terkena hujan, kepala Ryan beradu keras di permukaan aspal yang licin. Darah segar mengalir di belakang kepala.
# # #
Di rumah sakit, Lidia belum tidur, tapi di luar jendela sepertinya dia melihat malaikat itu lagi bersama seseorang, entah siapa, tak jelas. Tak lama mereka melesat pelan terbang ke langit, orang yang bersama malaikat itu berwajah sedih, tangannya melambai seperti ingin mengajak Lidia bersamanya. Terus memandang dengan lekat wajah Lidia, hingga sirna terbawa angin malam yang dingin.
Di sisi ranjang Bintang tak mengerti raut wajah Lidia yang memandang ke luar jendela, ia hanya mengelus-elus perutnya saja, lalu tersenyum tipis, senyum lirih.
Di sudut kamar, mama memperhatikan mereka berdua sambil berbenah karena besok Lidia sudah boleh pulang. Melihat Lidia yang memandang kosong ke luar jendela, melihat Bintang dengan perutnya yang kelihatan berbeda, mama hanya membatin dalam hati, “Demi Dia, jangan kau pergi. Demi Bintang, jangan kau lari. Tak inginkah kau bernyanyi dan menari bersama anakmu nanti?”.
Malaikat maut melihat wajah iba mama, menoleh ke lelaki di sisinya, lalu memandang ke langit mengharap kemurahan hati-Nya yang Maha Luas.
“Mintalah hanya pada-Ku, pasti akan Aku beri. Kalau bukan saat ini, mungkin besok, mungkin besoknya lagi, mungkin besok lusanya lagi. Bersabarlah dan berusahalah”
Doa mama terkabul.
Roh Ryan kembali turun ke bumi, ke RS Persahabatan di sebuah ruang ICU di mana tergolek lemah seorang pemuda yang sebulan sudah koma karena kecelakaan mobil.
Tiiiit....... tiiiit....... tiiit.........
Monitor di samping bangsal berbunyi. Pemuda itu tiba-tiba menggerakkan jemari kanannya. Seorang gadis yang sedang menunggu dengan setia tersentak kaget.
Tak percaya akan apa yang dilihatnya, ia pegang tangan pemuda itu yang dibalas dengan cengkeraman erat dan mulai hangat.
“Daniel..... Daniel...... ini aku”
Pemuda itu membuka kelopak matanya perlahan, samar-samar ia melihat sosok gadis di sampingnya. Pandangannya mulai terang dan jelas. Heran ia kenapa terbaring di sini. Ingatannya mulai pulih, cepat sekali terkumpul semua memori di kepalanya.
“Kamu siapa?”
“Daniel..... Daniel..... ini aku. Levi. Kamu lupa?”
“Daniel? Kamu memanggil aku Daniel?”, Daniel bertanya-tanya, samar tapi terbaca, kalender yang tergantung di dinding. Bukan gambarnya, tapi angka tahunnya.