Thursday, March 29, 2012

adios



okay,
kali ini saya
menulis lagi. berbeda dengan
biasanya, kali ini saya menulis lewat
fasilitas mobile. fasilitas yang banyak sekali
membantu kita beraktifitas, bersenang-senang, etc.
mobile, mobile, mobile. Pernahkah
anda merasa terinterupsi dengan
aktivitas dunia maya yang
ditawarkan (khususnya)
oleh mobile tools?
pernahkah anda
merasa demikian
tapi tidak


mempedulikannya,
sampai akhirnya anda
sadar bahwa kehidupan anda
mulai tidak seimbang? Fasilitas
mobile yang seharusnya membuat
kita ‘mobile’, malah seringkali membuat
kita berdiam pada suatu tempat, di satu titik.
while di sekitar kita, dunia bergerak dengan begitu
cepatnya. lalu coba kita bandingkan
dua variabel di dalamnya,
bahwa antara mobile world

dan real world terdapat ‘maya dan nyata’.
pernahkah anda bertanya,
“telah seimbangkah
dunia maya dan nyata gw?”
no hard feeling guys,
karena sebenarnya tolok ukurnya
di sini adalah kehidupan saya sendiri.
saya sedang merasa keseimbangan itu
mulai terganggu. saya mulai tidak terlalu
sensitif dengan hal-hal nyata di
dunia nyata saya.
Semuanya
Sedang

berputar di
sekitar mengetik
alamat-alamat di browser
saya saja. dan itu mengganggu
saya. lalu akhirnya saya putuskan
melepaskan satu ‘keluarga besar’
maya saya yang sangat
saya cintai setahun
terakhir ini. saya menghapus
dan meninggalkan beberapa account saya.

dengan harapan saya
akan berkarya lebih banyak
di dunia nyata. rasa kehilangan tentu
saja muncul dengan hebatnya,
karena dari sana saya
mengenal teman-teman
nyata yang baru. mendapat banyak ilmu,
banyak kata-kata bijak, mengenal
karakter orang, sampai pekerjaan.
ah iya…dan satu lagi,
saya jadi tahu orang-orang mana
saja yang menganggap saya berarti.
orang-orang mana saja yang
menyempatkan pm saya,
menanyakan mengapa saya pergi,
menyatakan sedih ketika saya pergi,
berharap saya segera
kembali, etc.
bahkan saya sungguh
terharu ketika ada yang
membuat kembali account dengan
id lama saya dan memberitahukan
passwordnya pada saya.

saya agak tersanjung sebenarnya.
(hahaaa, biar saja kalo orangnya
membaca ini dan menganggap
saya konyol atau lebai).
tapi memang sebagian besar memilih
diam, tidak peduli. atau lebih tepatnya harusnya
mungkin demikian, bahwa dunia maya tidak boleh pake
hati. karena memang

tidak ada yang lebih menyakitkan
dibanding “dianggap maya”.

thank's be my friend in dumay
tak bisa lagi kubalas pesan yang masuk
mulai malam ini aku masuk rehabilitasi
untuk jantung dan paru-paru

Antoine d'Arcie : De la Bastie Monument


There is a monument
near where I live
built to commemorate a French Knight
by the name of Antoine d'Arcie
Seigneur de la Bastie.

Aparently he was slain
at this spot in the year 1517.

He was appointed
Warden of the Marches
instead of Lord Home.

Lord Home was beheaded
in Edinburgh and his clansman
Home of Wedderburn
sought revenge as he thought
De la Bastie was accessary to
the murder of his chief.

I've often wondered
what a French Knight was doing
in Scotland in 1517?

It must have been a fairly brutal place
to be back then.

Now, in modern times
the Border Marches take on a symbolic role
to commemorate the riding of the bounds
and the protection of the Border towns
of Southern Scotland.

Poster Film “The Hunger Games”

Poster Film “The Hunger Games”

“The Hunger Games” : The Phenomenal Success of Suzanne Collins’s


THE phenomenal success of Suzanne Collins’s “The Hunger Games”, the first part of a bestselling dystopian trilogy for teenagers (and others), made a film adaptation a near certainty. But this posed a problem: what defines and underpins the horrific nature of this imagined society is that its citizens take pleasure in watching young people fight to the death on broadcast television (ie, the so-called Hunger Games). Yet this is disturbingly close to taking pleasure in watching young people fight to the death on screen, which is what the film audience of "The Hunger Games" presumably needs to do. How can such a film divorce the thrills it delivers from the fictional thrill-making that it has to deplore?
The most obvious solution hits the audience pretty early on: an overdone devotion to shaky-cam techniques, quick cuts and fairly extreme close-ups. Gary Ross, the director, clearly intends to immerse and disorient his audience, to ensure we feel rather different from the audience within the film. They see a polished version of the Hunger Games, edited and packaged; we, these camera techniques assure us, are seeing things from the oppressed inside. 
The plot also helps. At the beginning of the actual games about a third of the characters are killed. Removing them allows the film to have basically a set of good guys and bad guys, rather than a full moral spectrum. By depicting this murderous culling as a montage, the film creates another distinction between cinema viewers and the audience within: we perceive the event as a loss, whereas they take it as a thrill. 
The film, like the books, also plays up the outlandish appearance of that in-film audience. This not only leads to what must surely be the longest-ever list of hairstylists in a film's closing credits, it also helps to ensure that we never identify with the in-film audience. While the logic of the film demands that many in both audiences are rooting for Katniss Everdene, the story's hero (played in the film by Jennifer Lawrence), we never really see such support on screen. Essentially, “The Hunger Games” never wants to be confused with Michael Haneke’s “Funny Games”, which directly confronts the titillating, sadistic thrill of watching violence in film.  
The only character who goes some way towards crossing this divide is Caesar Flickerman, the TV presenter of the Games, played by the reliably wonderful Stanley Tucci (pictured). Because he must explain what is going on to both audiences, he is the hinge between them. And his performance is a gem; he is clearly a monster of cruelty who is remarkably good at his television job. 
But the performance that defines the film is Ms Lawrence's. By refusing to be likeable (for the most part), she rejects the affections of the in-show audience but firmly wins ours. Katniss Everdene is a terrific character, brave and decent but also forced by circumstance to be disingenuous and indeed hurtful to some who love her. She is self-critical and confused yet thoroughly admirable. In her books, Ms Collins is able to show this by entering Katniss's head. Ms Lawrence remarkably manages to illustrate this complexity in a near-silent performance. 
And the best may be yet to come. In the first of Ms Collins’s books Katniss’s narration performs very well the function that Mr Ross tries to fulfil with shaky-cams and the like—putting us in her world as she sees it. Later on this unique perspective becomes a shackle, as the story needs to grow beyond her. The film's sequels should let Ms Lawrence’s performance grow, too, if the screenplays allow it. The books tail off from the first, and the films may well do likewise. But there is a possibility that, over four films, Jennifer Lawrence’s already impressive performance will grow into something great.

Tujuh Pembuat Kloningan Paling Meresahkan


Di sini, di blog yang aku pakai, sadar atau tidak sadar banyak aku jumpai kloningan. Satu orang yang sama membuat dan mengelola lebih dari satu alamat blog.
Ada yang tema bahasannya sama, banyak pula yang berbeda. Ada yang menampilkan identitas yang sama, lebih banyak yang memakai identitas samaran.
1. Promosi. Kloningan di blogger biasanya banyak dijumpai pada user yang 'jualan'. Selain membuat blog untuk barang dagangannya, dia juga punya blog pribadi yang saling mendukung.
2. Meramaikan. Ada juga yang memang tujuannya untuk 'memanaskan' suasana. Dia bikin blog baru untuk menyerang blog lain yang beda paham dengan dirinya, atau untuk memasyarakatkan paham yang dianutnya. Andaikata user yang diserangnya tidak senang dan melaporkan kepada pengelola blog, lantas blog itu 'disingkirkan', pembuatnya tidak rugi, dan dia masih bisa bikin blog dengan ID yang baru lagi.
3. Iseng. Namun ada pula kloningan yang hanya untuk iseng. Merasa tulisannya jarang mendapat komentar, lalu dia bikin blog baru dan dipakai untuk mengisi komentar pada blognya sendiri.
4. Bosan. Juga ada yang kadang bingung apa yang diisi pada blog perdananya atau merasa blog barunya kurang bagus, lalu dia bikin lagi alamat lainnya. Bosan, dan bikin lagi yang baru. Begitu seterusnya.
5. Sembunyi. Jarang aku jumpai kloningan yang 'mengaku'. Tapi salah satu kontakku dengan terang-terangan mengakui kalau dia bikin blog lain juga dengan nama yang berbeda. Namun berhubung dia sudah 'ngaku' pada awal terbit kloningannya, maka itu menjadi hiburan sendiri. Dan kontak-kontak lainnya juga tahu kalau pemilik blog itu juga sama dengan sebelumnya dan menjadi biasa.
6. Komentar. Itu hanya sedikit yang aku jumpai di sini. Yang aku tak tahu mungkin lebih banyak. Bisa saja ada suatu tulisan di blog mendapatkan banyak komentar dari user yang itu-itu saja. Sepertinya user itu rajin sekali mengisi komentar. Namun bisa jadi penulis komentar itu adalah kloningan blog itu sendiri. Siapa tahu?
7. Balas Dendam. Dan bisa saja aku di-invite user lain, lantas dia mengacaukan tempat aku. Bisa jadi dia adalah kloningan salah satu kontak aku yang tidak suka dengan tulisan aku. Berhubung dia menjaga nama baiknya, maka dia bikin blog lain dengan nama samaran untuk balas dendam.
Block-ID. Nah kembali ke aku sendiri. Aku memang pernah bikin alamat selain di blog ini, namun sudah lama sekali aku tutup. Pada saat itu blog RMB ini sering tidak bisa masuk membaca tulisan di beberapa blog lainnya. Rupanya ada beberapa blogger yang nge-block ID-ku entah apa sebabnya.
Menyamar. Lalu aku bikin ID baru dengan isi blog yang wajar wajar saja dan berhasil menyusup menjadi kontak mereka dan membaca isinya. Memang isinya berlawanan dengan pribadiku. Aku menyamar di situ dan ikut nimbrung dalam komentar-komentar yang ada.
Capek. Lambat laun capek juga ya bermuka dua hingga duapuluh, dan aku tak banyak dapat manfaat di situ selain membuang waktu saja.
Banyak Blog. Selain di blogger, aku juga bikin beberapa blog di tempat lain. Mungkin ada yang sudah tahu salah satu blog yang aku bikin di luar.
Semua Mungkin. Namun lepas dari semua itu, kita harus tetap sadar. Ini internet. Apa yang tidak mungkin di dunia nyata, di sini bisa menjadi mungkin. Bahkan sangat mungkin.
Selamat membuat kloningan sambil kelonan diiringi bunyi-bunyi klenengan.