Monday, May 20, 2019

22 MEI : TIKET MASUK JAKARTA FAIR CUMA CEPEK AJA, BOSS !!


SIAGA SATU H+5


MARGONDA


LAKI LOE SEJUTA, BINI GUE LIMA JUTA


DOUBLE POWER di tas ransel peserta PEOPLE POWER


ULTRA KANAN

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kaum itu meremah kasih dan kisah di atas aspal jalanan. 
Bagi mereka, panas tak jadi halangan, hujan tak di pusingkan, bahkan moncong  senjata adalah hadiah yang tak terindahkan.
Mereka adalah kisah yang tidak pernah di perhitungkan.
Kisah  yang di anggap "Kejam" bak penjahat jalanan, padahal mereka hanya ingin menyuap rintihan yang tak terjabahkan.
.
"Apakah mereka sosok penjahat?"
.
"Iya, penjahat yang siap menghantam mulut busuk para penguasa."
.
Aku meramu kekesalan antara  benar dan salah, bermandikan rasa bak perang dunia ketiga.
Alhasil ku simpulkan bahwa,
"Kepiawaian mereka telah menyimpan kesan nestapa, kesan yang terlalu keras dalam bercakap kata dan romansa. Jadinya, di buai dengan rasa takut dan resah, takut tragedi kemanusiaan itu terulang kembali dan resah para korban itu tak pulang kembali."
.
Ku tatap. Apakah aku dan mereka termasuk dalam kasta yang sama? atau mereka hanya di kerangkeng oleh kekejaman kata dalam satudawarsa.
Dalam renungku,
"Berjalanlah dalam garis yang sama, walau engkau di telan oleh resah yang tidak di jabah."
Bagiku, resah bukan untuk sekarang,  tapi suatu saat nanti, ketika para cucu-cucu kita bahagia tanpa nelangsa.
"Ini berkat kakek dan nenek kita, kami bangga," kata mereka anak cucu kita.
.
Maksudku, janganlah  berlagak sok berkuasa,  mementingkan kerja atas kekejaman penguasa.
Belajarlah dari pada pendahulu kita, mereka mencintai kita lebih dari biasanya, berkata-kata dengan pikiran seadanya dan tak mementingkan apa-apa.
"Terus berjuang nak, jangan takut dalam lara, kami menunggumu di jurang keistimewaan rubah dunia,"
lirih mereka dalam bait-bait syair untuk kekejaman penguasa.
.
Kenikmatan itu tak menohok pada jumlah uang yang tebalnya bak aspal jalanan dan merobek mata.
Melainkan, saling bertatap bahagia bersama para penghuni petakan di gubuk reot nan renta.
Bahkan kesan itu terkesan santun dan bersahaja, ketika duduk bersama mereka di suguhkan dengan cerita,
"Kisah nasib mereka yang ditutup paksa oleh penguasa."
.
Dalam lamunanku sehari yang lalu. badanku tergelitik minta ampun, mereka berkata dengan segudang teori dari sophies ulung,
"Rubah dunia ketika bersemayam dalam rumah sang penguasa, atau meramu kata  sedurjana mungkin di hadapan mereka."
Tetapi, hasilnya apa? semua tetap sama. Para pembantu negeri tak mendapatkan apa-apa
Kaum itu meremah kasih dan kisah di atas aspal jalanan. 
Bagi mereka, panas tak jadi halangan, hujan tak di pusingkan, bahkan moncong  senjata adalah hadiah yang tak terindahkan.
Mereka adalah kisah yang tidak pernah di perhitungkan.
Kisah  yang di anggap "Kejam" bak penjahat jalanan, padahal mereka hanya ingin menyuap rintihan yang tak terjabahkan.
.
"Apakah mereka sosok penjahat?"
.
"Iya, penjahat yang siap menghantam mulut busuk para penguasa."
.
Aku meramu kekesalan antara  benar dan salah, bermandikan rasa bak perang dunia kedua.
Alhasil ku simpulkan bahwa,
"Kepiawaian mereka telah menyimpan kesan nestapa, kesan yang terlalu keras dalam bercakap kata dan romansa. Jadinya, di buai dengan rasa takut dan resah, takut tragedi kemanusiaan itu terulang kembali dan resah para korban itu tak pulang kembali."
.
Ku tatap.
Apakah aku dan mereka termasuk dalam kasta yang sama? atau mereka hanya di kerangkeng oleh kekejaman kata dalam satudawarsa.
Dalam renungku,
"Berjalanlah dalam garis yang sama, walau engkau di telan oleh resah yang tidak di jabah."
Bagiku, resah bukan untuk sekarang,  tapi suatu saat nanti, ketika para cucu-cucu kita bahagia tanpa nelangsa.
"Ini berkat kakek dan nenek kita, kami bangga," kata mereka anak cucu kita.
.
Maksudku, janganlah  berlagak sok berkuasa,  mementingkan kerja atas kekejaman penguasa.
Belajarlah dari pada pendahulu kita, mereka mencintai kita lebih dari biasanya, berkata-kata dengan pikiran seadanya dan tak mementingkan apa-apa.
"Terus berjuang nak, jangan takut dalam lara, kami menunggumu di jurang keistimewaan rubah dunia,"
lirih mereka dalam bait-bait syair untuk kekejaman penguasa.
.
Kenikmatan itu tak menohok pada jumlah uang yang tebalnya bak aspal jalanan dan merobek mata.
Melainkan, saling bertatap bahagia bersama para penghuni petakan di gubuk reot nan renta.
Bahkan kesan itu terkesan santun dan bersahaja, ketika duduk bersama mereka di suguhkan dengan cerita,
"Kisah tanah mereka yang di rampas paksa oleh penguasa."

Dalam lamunanku sewindu yang lalu. badanku tergelitik minta ampun, mereka berkata dengan segudang teori dari sophies ulung,
"Rubah dunia ketika bersemayam dalam rumah sang penguasa, atau meramu kata  se durjana mungkin di hadapan mereka."
Tetapi, hasilnya apa? semua tetap sama.
Para pembantu negeri tak mendapatkan apa-apa
"Leluconmu tak elok"
"Makan saja lidahmu yang busuk itu"
"Leluconmu tak elok"
"Makan saja lidahmu yang busuk itu"
.
.
.
.
.
.