Tuesday, February 26, 2013

Tuyul Tanpa Wajah di dalam Kutang

Tuyul Tanpa Wajah di dalam Kutang
.
Bip… Bip… Bip…
Alarm ponselku berbunyi tepat pukul 03.13 WIST (Waktu Indonesia bagian Sumatra Timur). Akupun bangkit meninggalkan 9 anak yang asyik berinternet ria. Masuklah aku ke kamar gelap di sisi kanan bilik-bilik warnet. Kalau ada yang tanya ruang apa yang biasa aku masuki ini, kubilang saja gudang dan tak boleh orang lain masuk, selain karyawan.
Kondisi kalajengking-kalajengking yang kutaruh di dalam beberapa toples aman-aman saja, itu berarti anak buahku menjalankan tugasnya dengan sukses. Lalu kubacalah mantra pemanggil tuyul-tuyul yang kusebar ke seantero kampung.
“pat pat gulipat…… si Dullah makan ketupat….. duduk berempat sambil kaki dilipat…..”
Kurapal tujuh kali sambil memejamkan mata. Tak lama muncullah satu persatu anak buahku.
“Hey Aru, dapat berapa malam ini?”
“Pekgo boss”
Kuambil uang itu lalu kumasukkan si Aru ke toples.
“Hey Ara, banyakkah yang kau dapat?”
“Gopek, boss”
“Bagguuuuss….. Nih bonus buat loe”
Kuberi dia darah perawan lalu kumasukkan dalam toples.
“Aro, dapat berapa kamu? Dan kenapa badanmu belepotan cairan kental putih bening begitu?”
“Nopek, boss. Gue nilep duitnya inang-inang penjual sayur di cabang tiga, boss. Tau sendiri kan dimana kalau inang-inang itu simpan duitnya”
“Ya udah, masuk sana ke toples”
“Yes, boss”
Lumayan penghasilan malam ini,  akupun kembali ke ruang jaga warnet dan 9 anak di sana masih asyik online paket kenyang donlot ampe pagi. Seorang anak SMP nanya ke gue.
“Mas, habis ngapain sih. Kok mulutnya belepotan gitu yah?”
Ups…..

Anas Buka Warung Kopi dan Gorengan

JAKARTA - Paska-ditetapkannya Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus suap Proyek Sport Hambalang, tidak sedikit pejabat yang menyambangi rumah lelaki asal Blitar itu untuk memberikan dukungan maupun hanya sekedar bersilaturahmi.
 
Hal itu membuat para pewarta terus berjaga di kediaman Anas di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, untuk meliput siapa saja kolega maupun kerabat yang datang ke rumahnya.
 
Ada pemandangan berbeda di pendopo kecil di bagian luar rumah Anas. Pendopo yang biasa digunakan para pewarta untuk duduk-duduk sambil menunggu siapa saja tamu yang datang berkunjung, siang ini tersedia panganan ringan yang sengaja disiapkan oleh tuan rumah.
 
Di atas dua meja kecil terdapat dua teko kopi panas yang lengkap dengan gelas plastik kecil, ditambah beberapa potongan kue yang tersaji di tiga piring pipih. Tak ketinggalan air mineral kemasan juga tersedia di sana.
 
Meskipun sederhana, namun hal itu sangat berarti bagi para pewarta, mengingat lokasi kediaman Anas yang berada di komplek perumahan yang jauh dari warung. Ditambah cuaca hari ini yang diguyur hujan, kehangatan kopi menambah nikmat sebagai teman berbincang.
 
"Lumayan nih, ini pasti kopi buatan Ibu Anas," terka salah satu wartawan sembari mencicip kue yang dihidangkan.
 
Penjaga rumah Anas yang terlihat keluar masuk juga menyempatkan diri menyapa wartawan dan memastikan panganan ringan itu tercukupi. "Mbak, itu diminum dulu kopinya, masih cukup kan? Nanti kalau kurang panggil saja, saya bikin lagi, " ucapnya kepada salah satu wartawan. (full)

Majikanku dan Pacar Gelapnya

Dua tahun sudah aku tinggal di sini, di suatu kota di Dubai (atau Dumai ya? Ngga tau ah, ngga terlalu ngerti pisan, euy), entah apa nama wilayahnya. Berbagai kebiasaan penghuni rumah megah ini hapal aku rekam dalam memori kecil ini. Pun kejadian sehari-hari yang penting dan ngga penting dan sangat ngga penting pake banget.
Orang yang lalu lalang melewati halaman rumah, tukang sayur yang menawarkan dagangannya ke bi Romlah, tukang bakso yang selalu rajin berlama-lama mangkal di bawah pohon ciprus di muka rumah, atau pengemis perlente segar bugar dengan android di tangan yang sekadar singgah langak-longok saja.
Majikanku pun sangat perhatian dan sayang sama aku. Setiap kali sebelum berangkat kerja ia menyempatkan menyalamiku.
“Baik-baik di rumah ya. Jangan suka usil dan colak-colek bi Romlah!!!”
Aku hanya mengangguk dan memperhatikan majikanku naik ke Jazz putihnya. Katanya sih pemberian suaminya yang entah berada di mana. Makanya dia selalu cari pacar buat pengisi waktu. Tak pernah lebih dari tiga bulan, pasti ganti pacar, dan brondong tentunya.
Kebanyakan sih pacarnya itu mahasiswa kata bi Romlah dan yang terakhir malah katanya anak kelas 12. Kayak apa sih tampangnya? Soalnya majikanku ngga pernah bawa pacar barunya ke sini. Selalu dibawa ke apartemennya di pinggir kota.
Bi Romlah pernah cerita ke tukang mie ayam kalau pacar majikanku itu bapaknya Spanyol, ibunya Solo. Makanya badannya bongsor, putih mulus dan berwajah agak kearab-araban, mirip Kaka lah kalau mau dibayangkan.
Bi Romlah dapat pesan dari majikanku kalau pacar barunya pulang sekolah mau singgah dan makan siang di sini, dia pakai motor matik warna hijau dangdut.
Betul saja, lewat jam satu ada motor matik berhenti di muka rumah dan bi Romlah sengaja memang membuka pintu kecil agar si pacar baru bisa masuk.
Aku amati saja anak bongsor itu masuk dan turun dari motornya, dia tak menyadari keberadaanku. Dasar anak songong.
“Biii….. biiii…… bi Romlah……”
Weleh, weleh, weleh….. suaranya gambreng banget, bikin gatal nih telinga. Dan kok sok akrab banget sama bi Romlah. Aku pun melongok dan menyapanya…….
“Guk….. Guk…. Guk…..”
“Hwaaa….. ada duberman…… kabooor….”
Loh kok malah naik motor lagi dan ngacir keluar rumah……. Anak yang aneh, pikirku. Aku pun kembali ngampleh di gubug kecilku di sudut serambi rumah.

Anas Urbaningrum dan Partai NasDem

JAKARTA - Partai Nasdem sepertinya mulai melirik Anas Urbaningrum untuk bergabung, usai hengkang dari Partai Demokrat (PD).
 
Hal ini ditandai dengan hadirnya, Ketua DPP Bidang Politik Pemerintahan Partai NasDem, Akbar Faizal di kediaman Anas Urbaningrum, pada acara pengajian, Senin (25/2/2013).
 
Menurut Akbar, banyak kader Partai Demokrat yang sudah tidak betah, karena politisasi kepada Anas semakin nyata.
 
"Ya kita bicara banyak hal, banyak kadernya yang mulai gerah, pilihan-pilihan itu ada, termasuk kepada kami, dan tentu saja saya sebagai Ketua bidang politik, ya kita menunggu orang-orang itu yang masih memikirkan bagaimana bangsa ini ke depan," kata Akbar.
 
Namun, Akbar menambahkan, dirinya tidak secara langsung menawarkan kepada Anas dan loyalis untuk bergabung ke NasDem. "Tidak secara langsung (menawarkan), karena dia kan masih fokus pada masalah ini (Hambalang)," sambungnya.
 
Dikatakannya, jika Anas bergabung ke Nasdem, belum tentu diikuti oleh para pendukungnya di PD. "Tapi kalau dari kader, saya lihat BlackBerry-nya masih ada lambang Demokrat. Seperti itu kondisinya," terang Mantan Politisi Partai Hanura itu.
(cns)

Krisdayanti dan Artis-Artis Hot Papan Atas Ngumpul di Hanura

Jakarta - Penyanyi sekaligus diva ternama Indonesia, Krisdayanti telah resmi bergabung ke Hanura. Namun diva pop itu belum dipastikan akan maju sebagai caleg.

"Krisdayanti sudah sejak beberapa waktu lalu sudah bergabung ke Hanura," kata Ketua DPP Hanura, Saleh Husin, saat berbincang dengan detikcom, Senin (25/2/2013) malam.

Saleh mengatakan Krisdayanti telah cukup lama bergabung ke Hanura. Namun pelantun lagu Menghitung Hari itu belum memutuskan apakah akan maju sebagai caleg.

"Masih kita bicarakan," ujarnya.

Bergabungnya Krisdayan menambah kader artis yang bergabung bersama Hanura. Sebelumnya ada Olla Ramlan dan suaminya yang telah merapat ke partai besutan Wiranto itu.

Ahok dan Dokter Kecil Mahar Gizi 2013

Watch "25 Feb 2013 Wagub Bpk. Basuki TP menerima Finalis Tk. Nas Duta Perubahan" on YouTube

Stigmata

Aku melintas lorong ini tiga kali sehari. Seperti minum obat saja.
.
Pagi saat berangkat kerja, saat orang sekampung masih banyak yang terlelap.
.
Sore ketika pulang kerja, saat orang berteduh di bawah atap rumah mereka menyaksikan berita tentang para politikus yang saling membunuh.
.
Lalu malam hari, ketika perut ini tidak ingin kompromi, mendendangkan lagu yang tidak pernah merdu, suara cacing-cacing di dalam sana yang minta diberi nutrisi.
.
Tapi seribu kalipun aku melintas, lorong ini tetap sama. Berukuran lebar hanya sebadan sepeda motor. Dilindungi dinding tinggi gedung mewah. Selalu dingin bagiku.
.
Kecuali sore ini. Ketika seorang gadis kecil muncul dari balik teras rumah yang terletak paling ujung dari lorong. Rumah yang berdiri tepat di pintu masuk lorong. Aku tidak pernah tahu bahwa rumah yang selalu sepi itu berpenghuni.
.
Ia tersenyum padaku. Aku tersenyum, tanpa arti. Sekedar basa-basi. Lalu bergegas berlari. Mengejar bis kota yang melintas paling pagi.
.
Sepanjang hari ini aku menyelesaikan tumpukan surat di atas mejaku. Sebagian besar keluhan konsumen. Ada beberapa surat ucapan terima kasih dan pujian atas produk yang kami jual. Seperti biasa aku menyortir tiap surat, memberi catatan pada tiap keluhan mereka, lalu mengirim ke bagian layanan purna jual.
.
Regina, sang psikolog biasanya tersenyum sambil menggigit pangkal pena saban aku menghampiri mejanya dan meletakkan map keluhan dan pujian konsumen. Sayang, hari ini aku tidak ingin tersenyum padanya. Wajahnya yang lembut tidak pernah berubah. Selalu indah. Berkerut ataupun tegang dahiku, ia selalu tersenyum indah. Heran. Ada bidadari yang jatuh ke bumi kasar bernama kantorku.
.
“Kamu tidak ceria sahabat,” Regina mengangkat satu demi satu map yang kutumpuk.
.
“Kamu tetap indah,” jawabku sekenanya.
.
“Makaciiih..,” ia tersenyum.
.
Aku berbalik. Berjalan ke arah meja kerja. Tenggelam dalam rutinitasku hingga sore. Tapi wajah ini tidak pernah pergi. Wajah gadis kecil berusia belasan tahun. Wajah yang nampak kuyu. Letih. Meski sebuah senyum berupa bergelayut diantara pipi kurusnya. Rambutnya tergerai lusuh. Hampir menutup matanya yang tertanam lebih dalam, namun memancarkan sinar cerah penuh harapan. Wajah ini…menghantuiku sepanjang hari ini.
.
Aku pulang. Melompat dari bis dan berlari masuk lorong. Tepat di teras rumah pertama di mulut lorong aku berhenti. Memandang ke rumah yang sepi. Benar-benar sepi. Aku berdiri beberapa saat. Entah untuk apa. Aku tidak tahu. Hanya ada satu alasan untuk berdiri di depan rumah orang selama sepuluh menit. Wajah. Wajah gadis kecil yang kutemui tadi pagi. Wajah yang menggelisahkanku.
.
Gorden rumah itu terbuka sedikit. Seorang gadis, diiringi batuk seraknya, mengintip dari balik jendela kaca. Ia tersenyum. Aku memandangnya. Ada dorongan kuat dalam hati. Sapa. Sapa. Majulah ke arah jendela. Tanyakan namanya. Tanpa dikomando, aku membuka pintu teras rumah itu. Namun seketika juga gorden tertutup. Wajah itu hilang dalam bayang hijau gorden rumahnya.
.
Aku beranjak meninggalkan teras rumah sang gadis kecil. Sejak itu, dan seterusnya, hidupku tidak pernah tenang. Dimanapun aku berada, wajah gadis kecil itu hadir di hadapanku.
.
Sekarang aku sadar. Aku tidak sendirian di lorong ini. Masih ada orang lain. Orang yang membutuhkan jawaban atas keberadaanku. Orang yang mempertanyakan arti hidupku. Karir, jabatan, kecukupan tabungan, dan kehidupan lelaki muda metropolisku digugat. Aku ditantang untuk mengamati dan memahami wajah orang lain.
.
Nur. Gadis kecil yang tidak menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Terpasung karena TBC. Juga terperangkap dalam problem keluarganya. Ibu dan ayahnya entah dimana. Ia hanya ditemani sang nenek. Nenek yang setiap malam, dengan cinta, membalur tubuh sang cucu dengan minyak gosok. Nenek yang tahu bahwa batuk dapat lenyap jika tubuh sang cucu hangat. Nenek yang tidak bisa berbuat banyak kecuali menerima kiriman uang kakak perempuan Nur setiap bulan untuk membayar kontrakan dan memasak makanan sederhana. Nenek yang mengajariku cara merespons wajah orang-orang tidak beruntung seperti Nur.
.
Aku memegang tangannya dan tersenyum.
.
“Kamu tidak perlu takut Nur. Kamu akan sembuh. Rajin minum obat ya?” Ia mengangguk.
.
Sang Nenek menitikkan air mata. Air mata cinta pada cucunya.
.
Aku berjalan keluar. Sepanjang lorong rumah sakit aku menemukan hidupku. Juga menemukan obat kegelisahanku. Wajah gadis kecil penderita TBC ini akan berubah dalam beberapa bulan ke depan setelah mendapatkan perawaatan intensif. Aku akan menemukan senyumnya yang berbeda. Paling tidak, senyum di mana aku ada di sana. Di hidupnya. Aku sekarang dapat melihat wajahku pada cermin. Wajah yang mau berbagi untuk orang lain.

Verifikasi Akun Voters Solo

LENSAINDONESIA.COM
.
Pelaksanaan Kongres PSSI 17 Maret 2013 merupakan amanat FIFA. Dalam kongres itu diagendakan penyatuan kedua liga, revisi statuta PSSI, pengembalian empat pejabat Exco yang dipecat dan pelaksanaan kongres berdasarkan daftar peserta Kongres Solo (Juli 2011) sesuai Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani pada 7 Juni 2012.
.
Persoalannya, peserta Kongres 17 Maret 2013, dipastikan akan memunculkan polemik. KPSI menilai voters Solo itu sesuai daftar hadir pada KLB Solo Juli 2011 lalu. Namun, PSSI yang dipimpin Djohar Arifin Husin menilai voters Solo adalah lembaga dan bukan perorangan.
.
Menanggapi hal itu, Djohar Arifin Husin mengatakan, verifikasi para peserta kongres harus dilakukan oleh AFC. Menurutnya, AFC memiliki data voters Solo yang sah.
.
“Kami tentunya sepakat bahwa Kongres PSSI yang akan dilaksanakan 17 Maret merujuk pada voters Solo. Tapi, yang perlu digarisbawahi adalah voters Solo itu yang mana?” ujar Djohar saat dihubungi, Selasa (20/02/13).
.
Menurutnya, tentu saja yang sah adalah voters Solo yang diwakili lembaga dan bukan perorangan, agar jelas dasar hukumnya. Datanya, kata Djohar, masih tersimpan di kesekjenan PSSI dan di AFC.
.
Namun Djohar sepakat, verifikasi harus dilakukan PSSI dan KPSI. Pihaknya meminta bantuan AFC (Asian Football Confederation) untuk melakukan verifikasi ini.
.
“Saya pikir, hal ini sangat penting karena saat FIFA menggelar rapat Exco Desember lalu di Jepang, AFC sudah mendapat mandat dari FIFA untuk menyelesaikannya,” tandasnya.
.
@anggi
.
.