Tuesday, February 26, 2013

Stigmata

Aku melintas lorong ini tiga kali sehari. Seperti minum obat saja.
.
Pagi saat berangkat kerja, saat orang sekampung masih banyak yang terlelap.
.
Sore ketika pulang kerja, saat orang berteduh di bawah atap rumah mereka menyaksikan berita tentang para politikus yang saling membunuh.
.
Lalu malam hari, ketika perut ini tidak ingin kompromi, mendendangkan lagu yang tidak pernah merdu, suara cacing-cacing di dalam sana yang minta diberi nutrisi.
.
Tapi seribu kalipun aku melintas, lorong ini tetap sama. Berukuran lebar hanya sebadan sepeda motor. Dilindungi dinding tinggi gedung mewah. Selalu dingin bagiku.
.
Kecuali sore ini. Ketika seorang gadis kecil muncul dari balik teras rumah yang terletak paling ujung dari lorong. Rumah yang berdiri tepat di pintu masuk lorong. Aku tidak pernah tahu bahwa rumah yang selalu sepi itu berpenghuni.
.
Ia tersenyum padaku. Aku tersenyum, tanpa arti. Sekedar basa-basi. Lalu bergegas berlari. Mengejar bis kota yang melintas paling pagi.
.
Sepanjang hari ini aku menyelesaikan tumpukan surat di atas mejaku. Sebagian besar keluhan konsumen. Ada beberapa surat ucapan terima kasih dan pujian atas produk yang kami jual. Seperti biasa aku menyortir tiap surat, memberi catatan pada tiap keluhan mereka, lalu mengirim ke bagian layanan purna jual.
.
Regina, sang psikolog biasanya tersenyum sambil menggigit pangkal pena saban aku menghampiri mejanya dan meletakkan map keluhan dan pujian konsumen. Sayang, hari ini aku tidak ingin tersenyum padanya. Wajahnya yang lembut tidak pernah berubah. Selalu indah. Berkerut ataupun tegang dahiku, ia selalu tersenyum indah. Heran. Ada bidadari yang jatuh ke bumi kasar bernama kantorku.
.
“Kamu tidak ceria sahabat,” Regina mengangkat satu demi satu map yang kutumpuk.
.
“Kamu tetap indah,” jawabku sekenanya.
.
“Makaciiih..,” ia tersenyum.
.
Aku berbalik. Berjalan ke arah meja kerja. Tenggelam dalam rutinitasku hingga sore. Tapi wajah ini tidak pernah pergi. Wajah gadis kecil berusia belasan tahun. Wajah yang nampak kuyu. Letih. Meski sebuah senyum berupa bergelayut diantara pipi kurusnya. Rambutnya tergerai lusuh. Hampir menutup matanya yang tertanam lebih dalam, namun memancarkan sinar cerah penuh harapan. Wajah ini…menghantuiku sepanjang hari ini.
.
Aku pulang. Melompat dari bis dan berlari masuk lorong. Tepat di teras rumah pertama di mulut lorong aku berhenti. Memandang ke rumah yang sepi. Benar-benar sepi. Aku berdiri beberapa saat. Entah untuk apa. Aku tidak tahu. Hanya ada satu alasan untuk berdiri di depan rumah orang selama sepuluh menit. Wajah. Wajah gadis kecil yang kutemui tadi pagi. Wajah yang menggelisahkanku.
.
Gorden rumah itu terbuka sedikit. Seorang gadis, diiringi batuk seraknya, mengintip dari balik jendela kaca. Ia tersenyum. Aku memandangnya. Ada dorongan kuat dalam hati. Sapa. Sapa. Majulah ke arah jendela. Tanyakan namanya. Tanpa dikomando, aku membuka pintu teras rumah itu. Namun seketika juga gorden tertutup. Wajah itu hilang dalam bayang hijau gorden rumahnya.
.
Aku beranjak meninggalkan teras rumah sang gadis kecil. Sejak itu, dan seterusnya, hidupku tidak pernah tenang. Dimanapun aku berada, wajah gadis kecil itu hadir di hadapanku.
.
Sekarang aku sadar. Aku tidak sendirian di lorong ini. Masih ada orang lain. Orang yang membutuhkan jawaban atas keberadaanku. Orang yang mempertanyakan arti hidupku. Karir, jabatan, kecukupan tabungan, dan kehidupan lelaki muda metropolisku digugat. Aku ditantang untuk mengamati dan memahami wajah orang lain.
.
Nur. Gadis kecil yang tidak menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Terpasung karena TBC. Juga terperangkap dalam problem keluarganya. Ibu dan ayahnya entah dimana. Ia hanya ditemani sang nenek. Nenek yang setiap malam, dengan cinta, membalur tubuh sang cucu dengan minyak gosok. Nenek yang tahu bahwa batuk dapat lenyap jika tubuh sang cucu hangat. Nenek yang tidak bisa berbuat banyak kecuali menerima kiriman uang kakak perempuan Nur setiap bulan untuk membayar kontrakan dan memasak makanan sederhana. Nenek yang mengajariku cara merespons wajah orang-orang tidak beruntung seperti Nur.
.
Aku memegang tangannya dan tersenyum.
.
“Kamu tidak perlu takut Nur. Kamu akan sembuh. Rajin minum obat ya?” Ia mengangguk.
.
Sang Nenek menitikkan air mata. Air mata cinta pada cucunya.
.
Aku berjalan keluar. Sepanjang lorong rumah sakit aku menemukan hidupku. Juga menemukan obat kegelisahanku. Wajah gadis kecil penderita TBC ini akan berubah dalam beberapa bulan ke depan setelah mendapatkan perawaatan intensif. Aku akan menemukan senyumnya yang berbeda. Paling tidak, senyum di mana aku ada di sana. Di hidupnya. Aku sekarang dapat melihat wajahku pada cermin. Wajah yang mau berbagi untuk orang lain.