Monday, September 9, 2013

Kepang ala Miss World 2013

Suamiku Ustadz, Preman & Gigolo

Dear, diary....
Kesabaran dan ketabahanku bersuamikan seorang mantan gigolo akhirnya hancur juga. Awal-awal menikah hingga masuk tahun kedua aku sudah terbiasa dengan celoteh para mantan klien suamiku. Pindah kota sedikit menenangkan kehidupanku, pindah negara makin menentramkan jiwaku.
Warna dan bahan saputangan yang diselipkan di saku celananya menjadi perhatianku setiap waktu. Hingga suatu senja, suamiku hendak keluar rumah. Sapu tangan yang dipakai berbahan batik warna biru.
Batik? Biru?
Haruskah kutanyakan artinya? Belum pernah kulihat suamiku memakai yang ini. Maka kuputuskan untuk menguntitnya. Tapi tak jadi. Kuminta saja seorang PI, detektif partikelir untuk membuntutinya.
PI mengirimkan foto dan video suamiku sedang bersama seseorang di sebuah kamar hotel melati. Mereka begitu mesra dan bergelora bagai dirasuki nafsu birahi yang tertahan dua purnama lamanya. Dan yang membuatku murka adalah karena suamiku harus membayar untuk itu.
Aku menunggu saat yang tepat untuk membuat perhitungan. Harus terencana rapi.
..........
"Mbak Sum..... mbak Suuum!!....."
Suara panggilan Agam mengejutkan Sumi yang sedang membaca buku diary Surti, mamanya, yang meninggal 1000 hari yang lalu.
Sumi bergegas meninggalkan kamarnya yang terletak di bagian belakang bersisian dengan dapur.Buku diary sudah aman disimpan di ruang rahasia di bawah kasur. Ruang berukuran 60 cm x 60 cm setinggi 30 cm sepertinya dibuat oleh penghuni sebelumnya yang menempati apartemen di lantai 7 itu. Ditutup oleh permadani tebal, membuat ruang rahasia itu tak terlihat oleh siapapun.
"Iya, den... Den Agam ingin sarapan apa pagi ini?'
"Hmm...... roti panggang isi daging cincang dan jus jeruk enak ngga ya?"
"Cocok itu, den. Kebetulan stok daging masih ada. Lusa mungkin tersisa daging terakhir"
"Taruh saja di meja makan kalau sudah jadi, mbak. Aku mau sholat subuh dulu"
Sumipun menuju dapur sedang Agam melangkah menuju ke kamarnya.Sumi terus mengamati hingga Agam masuk ke kamarnya.
"Tak terlalu ganteng memang, badannya terawat tanpa lemak dengan otot yang begitu keras terutama di bagian perut, sixpack istilahnya, tapi Agam begitu alim, mungkin bisa mengalahkan kealimanpak ustadz yang biasa mengisi tauziah di musholla apartemen The Continent", batin Sumi sambil membayangkan musholla apartemen yang menghadap ke ITC Senayan.
Selesai sholat subuh, Agam ke ruang tengah dan menjatuhkan badannya dalam posisi terlentang, dua tangan di belakang kepala, lalu sit up 33 kali, tiap sit up dia ucapkan Subhanallah. Selesai sit up Agam push up 33 kali, tiap push up dia lafalkan Alhamdulillah. Dilanjutkan dengan sit jump 33 kali yang tiap sit jump dipekikkan Allahu Akbar. Mengakhiri olahraga paginya, Agam mengucapkan sholawat Nabi.
Masih berbalut peluh di sekujur tubuhnya, Agam menuju meja makan.
"Kamu sudah sarapan, mbak Sum? sini makan bareng-bareng"
"Sudah, den. Saya bikin nasi goreng tadi"
Pukul 6 lebih 10, Agam meninggalkan apartemen bernomor 715, sementara Sumi merapikan ruang-ruang di apartemen yang mereka tempati.
Sesekali Sumi pergi meninggalkan apartemen dengan berbagai tujuan dan keperluan, dan diusahakan sampai di apartemen sebelum Agam pulang. Selebihnya Sumi menghabiskan waktunya di depan laptop menyelesaikan beberapa pekerjaan dari kliennya.
Saat-saat Agam pulang ataupun ketika Agam bangun tidur adalah hal yang sangat mendebarkan bagi Sumi. Dia harus selalu siap dan menyimak apapun yang terlontar keluar dari mulut Agam.Seperti kejadian di suatu malam sehabis badai besar menerjang ibukota yang bahkan sampai merobohkan signage di lobi Senayan City. Sumi lelap tertidur di kamar belakang.
Kepulangan Agam tak disadari oleh Sumi walaupun ponselnya selalu standby memonitor keberadaan Agam.
"Mi..... mamiii...... bangun, mi....."
Suara dan belaian Agam mengejutkan Sumi yang sangat lelap tidurnya. Sumi dengan cepat berkonsentrasi untuk mengetahui situasi ini. Melihat pakaiannya yang tersibak, Sumi mulai sadar apa yang telah terjadi.
"Suka sekali sih mami tidur di kamar ini. Pindah yuk....."
Ajakan Agam tak perlu dibantah. Sumi bangun sambil merapikan pakaiannya yang berantakan. Agam pun beranjak keluar kamar. Samar-samar Sumi melihat siluet bayangan tubuh Agam tertimpa cahaya ruang makan. Sumi pun tersenyum, senyum berjuta makna dan rasa.
"Papi duluan saja....... Mau aku buatkan kopi, pi?"
"Boleh, mi. Cepetan ya, istriku yang seksi........"
Sumi pun membuat kopi kesukaan Agam lalu membawanya ke kamar utama yang lebih besar. Agam tampak sedang tiduran dengan posisi terlentang menunggu Sumi dengan sabar. Secangkir kopi yang masih mengepul tercium begitu harum memenuhi ruangan kamar. Menambah sensasi luar biasa bagi Agam.
"Mami taruh saja kopi itu di meja....... Naiklah ke sini......."
Sumi mengerti apa yang diinginkan Agam lalu meletakkan kopi itu di meja. Seperti yang sudah-sudah, kopi itu sudah mulai dingin saat Agam menghirupnya dengan penuh kenikmatan seperti kenikmatan yang telah diberikan Agam kepada Sumi sebelum meraih cangkir kopi itu.
Sesudahnya, Agam tertidur dengan lelap. Sumi pun merapikan kamar itu lalu menutup pintu kamar Agam. Sumi kembali ke kamar belakang. Dibukanya laptop dan menuliskan sesuatu beberapa halaman. Sumi pun tidur setelah menyimpan laptopnya.
..........
"Bi Sum..... Bibi Sumiii!!!"
Sumi tak kaget dengan suara Agam yang memanggilnya dari dalam kamar. Agam bangun kesiangan.
Sumi duduk di ruang tengah saat Agam keluar kamar. Tampaknya Agam sudah mandi dan berpakaian biasa saja pagi ini. Mengenakan t-shirt hitam dan bercelana jeans.
"Tolong buatkan nasi goreng cumi dong, bi Sumi. Dan siapkan juga aspirin ya, entah kenapa saat bangun tidur tadi, kepala ini bagai digodam palu Thorsi Pangeran Kegelapan"
"Iya, den Agam...... tunggu sebentar ya, tak lama kok"
Sumi pun pergi ke dapur menyiapkan nasi goreng pesanan Agam. Dan sementara itu Agam tampak sedang asyik dengan tabletnya. Dari minyak wangi dan kaos yang dikenakan Agam, Sumi mengerti apa yang akan dilakukan Agam hari ini.
Tak lama kemudian, Agam pun menikmati nasi goreng kesukaannya. Lahap sekali makannya, bagai habis mencangkul sawah satu depa. Selesai makan, dilontarkan satu pil aspirin ke mulutnya lalu meneguk air putih.
Sambil berjalan ke ruang tengah, Agam mengeluarkan sapu tangan di saku depan celana jeansnya. Sapu tangan berbahan batik berwarna merah itu dipakai menyeka mulutnya lalu diselipkan kembali ke saku belakang sebelah kanan celana jeansnya. Sapu tangan sedikit menyembul keluar membentuk lipatan segitiga.
Sebuah pesan WA masuk ke ponsel Sumi yang sedang duduk di bar dapur.
'Bagaimana perkembangan pasienmu, dr. Sumi?'
Sumi menghapus pesan itu segera, lalu membalas pesan dari boss Rumah Sakit tempat Sumi bertugas.
'Membaik. Semakin membaik'
Sumi melongok Agam yang kini sedang asyik menyedot rokoknya yang tinggal setengah. Dan tak lama menaruhnya di asbak lalu dimatikan dengan memutar-mutar rokok itu di dasar asbak.
"Aku pergi dulu, bi Sum......"
"Iya, den....... Hati-hati......"
Agam berdiri dan berjalan menuju pintu. Perhatian Sumi tertuju pada sapu tangan berwarna merahyang terselip di saku kanan celana jeans Agam.
Hah!!! Sapu tangan batik berwarna merah? Diselipkan di sebelah kanan? Siapa om-om hidung belang yang hendak dijumpai Agam. Kepala Sumi bekerja keras mengeluarkan memori dalam lipatan-lipatan otaknya.
Setelah menguasai emosinya, Sumi menarik napas dalam-dalam dan tersenyum kecil sesudahnya.
Setelah Agam pergi, Sumi pergi ke kamar belakang mengambil laptop lalu membawanya ke meja makan. Bagian akhir novelnya sepertinya sudah didapat Sumi..... dr. Sumimengganti judul novelnya menjadi : Sang Ustadz, Preman dan Gigolo..... by Sasumi.
...........
Gimana sodara-sodara, ada pertanyaan atas cerita di atas? klo bingung, ngga usah khawatir, gue aja bingung, apalagi loe-loe pade..... Udah dulu ye....... mau ke Korea...... eh Kroya ding......
Dan klo liat cowok pake sapu tangan batik warna merah, jangan asal tuduh mas broo..... bisa-bisa masuk UGD gara-gara dibogem tuh cowok.

Ruud & Melk Penjaga Siang & Malam

Ra Udur Penggenggam Bumi

Siva Penguasa Api Biru

Makam Maria Magdalena Membara Merah Menyala

Wiss World Ikutan Festival Layang-Layang Bali Aga 2013

Senin itu Waktunya Mulangin Mobil ke Rental

Mie Mikri : Not Just a Noddle

"Mie Mikri, Bukan Sekedar Mie"
.
Mie Ayam. Ya, mie ayam. Siapapun pasti pernah mendengar dan mencicipi makanan yang satu ini. Bahkan ketika isu flu burung menghantam negeri ini, para penggila mie ayam tetap setia menyantapnya, walau ayamnya harus diganti dengan jamur atau lainnya. Tak lengkap rasanya hidup ini kalau lambung belum terisi mie ayam barang satu mangkok sekali dua hari.
Dari sekian banyak kedai mie ayam di sudut-sudut negeri ini, ada satu yang boleh dicoba bagi yang tinggal di timur ibukota.
Nama kedainya "Mie Mikri", diambil dari nama pengelola kedai ini, yaitu mpok Mila dan bang Fikri. Kedai ini hanya menyediakan mie ayam, just mie ayam ungkul, not else, mie ayam boleh dengan tambahan bakso atau pangsit rebus atau sosis bakar.
Posisi kedainya cukup strategis, di Jl. Pondok Kelapa Raya, 20 meter dari lampu merah Kali Malang. ................
"Baru segini artikelnya? dan ilustrasinya masih belum menjual tuh. Bikin yang spontan dan alami aja. Jepret secara random, biar faktual dan terpercaya", Zul menyerahkan kembali Tab milik Ryan.
"Hasil eksekusinya ada di laptop, lupa gue kopi PDF-nya. Brosurnya gue bikin lipat dua dan didove. Bagian judul dan gambar mie gue spot UV", ujar Ryan sambil menyeruput es kelapa mudanya.
Sejurus kemudian dua mangkok mie ayam pesanan mereka datang.
"Ini buat mas Ryan, mie ayam pangsit. Ini buat uda Zul, mie ayam sosis bakar balado. Silah......", cekatan sekali wanita ini menyajikan pesanan untuk pelanggannya.
"Makasih, mpok Mila......", Ryan menarik botol saus sambal dan menuang ke mangkok secukupnya.
"Tugas dari kampus kalian sudah jadi? Kalau ada yang kurang, kami siap sedia 24 jam loh", mpok Mila menatap Zul yang belum menyentuh mangkoknya.
"Sudah, mpok. Besok kami kasih dummynya", balas Ryan sambil ikutan melirik ke arah luar yang dilihat oleh Zul.
Sebuah mobil Avanza yang berhenti di seberang jalan rupanya menarik perhatian Zul. Tiga wanita dan seorang pemuda berkaos biru muda sepertinya tak asing bagi mata Zul. Begitu pemuda itu turun, Ryan dan Zul tersenyum tipis saja.
Pemuda itu menyeberang dan masuk ke kedai.
"Pesan apa, den?", tanya mpok Mila yang yakin betul kalau pemuda ini baru tumben ke kedainya.
"Mie ayam bakso, mpok. Kering ya? Thanks......", jawab pemuda yang dipanggil Alung itu sambil menuju meja di sisi kiri bagian tengah.
"Hello, brooo..... Sorry agak telat......", pemuda itu langsung duduk menghadap tembok belakang.
Ryan dan Zul cengar cengir saja, sementara dua gadis berseragam SMA yang duduk di sisi kanan tak sedikitpun melepaskan tatapannya ke Alung.
"Ngos-ngosan banget sih. Kewalahan ya ngadepin mereka?", Zul menyodorkan air mineral ke arah Alung sementara Ryan melirik ke kedua anak SMA yang asyik berbisik-bisik.
"Ganteng banget ya?.....", bisik gadis yang satu.
"Putih, tinggi, atletis....... hmmm...... komplit deh.... mudah-mudahan sinyalnya ngga lelet.....", jawab yang lainnya juga sambil berbisik.
Ryan dan Zul memperhatikan Alung yang sibuk memeriksa saku celana jeansnya.
"Sialan!! Hape gue jatuh kayaknya.....", Alung tampak cemas dan pucat pasi wajahnya.
"Terakhir loe pegang kapan?", Zul ikutan panik, soalnya memorycardnya ada di hape Alung, bisa berabe kalau jatuh ke orang lain.
Tak lama, sebuah Avanza tiba-tiba masuk ke parkiran kedai Mie Mikri, tepat di samping kiri mocin si Zul. Tiga orang wanita tampak di dalamnya dan hanya satu yang turun dan bergegas masuk ke kedai sambil menyapukan pandangannya ke ruang dalam kedai.
"Pesan apa, tante?", tanya bang Fikri ramah.
"Ah, ngga..... Mau ketemu mereka", jawab tante Dela.
Tante Dela langsung memburu Alung.
"Hello, manis...... Ini hape kamu jatuh di mobil", suara manja tante Dela bikin jengah dua gadis SMA yang terbakar cemburu.
"Waduuuh..... makasih, mami. Untung jatuh di mobil", Alung senang sekali hapenya tak jadi hilang.
"Oh iya.... ini bonus dari aku buat Alung yang manis.... bonus atas goyangannya yang maknyuuzzzz......", tante Dela menyodorkan sebuah amplop coklat.
"Asyiiik..... makan gratis kitaaa....", seru Ryan ditimpali salam tos tangan oleh Zul.
"Oh ya, mami.... Ini Zul dan Ryan sohib aku", Alung hampir lupa mengenalkan teman kuliahnya.
Ryan dan Zul pun menyalami tangan halus dan wangi tante Dela. Sementara itu dua gadis SMA itu berbisik-bisik gundah.
"Kapan aku bisa pake kamu lagi, manis?", ucap tante Dela sebelum pergi.
"Rabu malam, bagaimana?", jawab Alung.
"Hmmm...... bagaimana ya?", tante Dela sepertinya tak bisa. Calon suami oyotnya yang super tajir pulang siang itu dari kunjungan kerja di Sidoarjo dan minta dijemput.
"Ganteng sih ganteng..... tapi doyannya sama emak-emak....", bisik gadis SMA.
"Cabut yuk?!!", ajak yang satunya.
Dua gadis SMA itu beranjak dari mejanya, membayar ke bang Fikri lalu pergi meninggalkan kedai.
Karena tante Dela belum memutuskan, Alung pun memberi usulan.
"Terserah kapan mami bisa, aku siap sedia kok. Gimana?"
"Okey. Nanti aku hubungi deh. Ciaoo, manis....", dan tante Dela pun meninggalkan mereka.
Setelah Avanza tante Dela pergi, Zul menyenggol lengan Alung.
"Gimana permainan mereka? Yahud?", selidik Ryan.
Mie ayam pesanan Alung datang.
"Silahkan, den.....", suara ramah mpok Mila menahan jawaban Alung ke Ryan.
"Tengkyu, mbak.... eh mpok.....", Alung rada tertarik sama mpok Mila adiknya bang Fikri.
"Gimana, Lung?!", Zul juga ngga sabar menunggu jawaban si Alung.
"Namanya juga emak-emak, megang raket aja masih harus pake dua tangan. Kayak mau mukul kucing. Belum lagi kalo dikasih bola lambung, malahan lepas raket tenisnya. Cape banget pokoknya melatih mereka", jawab Alung sambil mengunyah mie ayamnya.
"Iya juga sih. Mereka latihan itu kayaknya cuma buat gengsi doang. Apalagi yang ngelatih mahasiswa Borobudur....", celoteh Zul membuat pecah tawa Ryan dan Alung.
"Terus.... proyek loe gimana, Ry?", Alung ingat tugas kampus mereka.
"Dah kelar dong. Tinggal produksi. Tugas kalian nanti nyebarin brosurnya, ya?", Ryan menjawab mantap.
"Ilustrasinya masih belum okey tuh. Gimana kalo pake jepretan loe aja Lung, mau?", Zul masih belum puas.
"Boleh.... ngga masalah", Ryan dan Alung sepertinya sepakat.
"Kalo gitu gue ama Zul cabut duluan. Ada responsi jam 3.... Loe hubungin aja mpok Mila ya?", Ryan melirik Alung yang kadang-kadang mencuri pandang ke mpok Mila.
"Gimana, Lung?!", tanya Zul sambil meninju lengan kiri Alung.
"Oh... ah... wadawww..... okey.... Kalian pergilah sana buruan. Semua gue yang bayar", jawab Alung sambil melihat senyum manis mpok Mila yang ternyata juga mencuri mata ke arah Alung.
Nah, begitulah sodara-sodara sekalian, kisah Satu Perjaka Tiga Janda untuk hari ini. Lain waktu jika yang di atas mengijinkan, gue lanjutin lagi dengan angle dan frame yang berbeda.
Bagaimanakah nasib Alung dan Tiga Janda?
Akankah Alung dan mpok Mila saling mengikat tali kasih?
Sudahkah sodara-sodara makan mie ayam hari ini?
..... SELESAI .....

Android Smartphone, I Can't Live Without You, Even in the Middle of Park

Ramses II Without Her Queen