Tuesday, August 2, 2011

Say Goodby


Siapa peduli Pepih pergi? 

Mohon pamit dari Admin dan melempar tongkat estafet ke Isjet. Kompasianers itu, ya begitu itu, pura puranya memberi komentar bernada haru, nelangsa, pedih duka lara, tapi semua itu basa basi belaka. 

Hanya reaksi biasalah kalau orang mau pamit pergi, peduli setan bahwa dia ini Admin.

Yang komentar seolah memberati dan mengucapkan selamat tinggal ya, sebagian kompasianer yang menghujat dan mengomeli, mereweli Admin saat dikomandoi oleh Pepih. 

Yang kemudian sok-sokan termehek-mehek begitu Pepih pamit meninggalkan Kompasiana.

Sebagian lagi, peduli amat Admin itu mau Pepih mau Isjed, toh dengan segala nama aneh; yang kerandalah, hantu, setan, atau nama ‘bukan manusia’ tetap mengotori rumah yang dibangun oleh Pepih ini. 

Yang mereka dengan seolah seperti, sorry, berak saja, menulis lalu dengan segala akal bulus mengakali seoalah-olah jadi teraktual. Karena nafsu narsis ingin judul postingannya terbaca sepanjang masa….

Memuakan, iya… Menjengkelkan, memang. Dan justru di sinilah kegagalan Admin mengatur warganya. Program verifikasi atau entah apalah sama sekali tak digubris. 

Pepih gagal untuk mengatur dan membuat warganya menulis dengan nama ‘apa adanya’ sesuai KTP. Toh, tetap saja warganya cuek bebek. 

Padahal dengan nama asli dan resmi segala lomba yang diadakan Kompasiana bisa diikuti, menulis di Frezz diganjar HONOR.

Toh, tiap harinya nongol terus nama aneh, dengan postingan judul aneh, menipu judul, judul menipu, yang membuat saya berpikir ini KOMPASIANA apa FACEBOOK? 

Sosial Media model apa ini? Yang membuat orang keliru dan menggerutu saat membuka anak kandung KOMPAS kok, cuma begini ini?  Anak kandung Kompas, lhooo. 

Kompas bacaannya Menteri, Dosen, Kaum Intelektual, bisa berhamburan tulisan ’sampah’ di Kompasiana.

Maka, ketika saya menangis membaca pamitnya sahabat lama saya di Palmerah Selatan… ya, karena Kok, Kompasiana Bisa Jadi Begini? Lalu, Kau tinggal pergi, Sahabatku? MM.

Francaise

Sepulang tarawih, Megu mampir membeli gorengan di pelataran Masjid Agung.
Sambil menunggu dibungkus, bertanya Megu, “Bapak, anaknya berapa??”.

“Oh, baru dua, den”, jawabnya.
“Yang satu di Universitas Indonesia, dan adiknya di dekat sini, Universitas Al-Azhar”, lanjut tukang gorengan.
“Wih, hebat betul bapak ini, anak-anaknya pada kuliah semua. Biaya dari mana, Pak ??”, tanya Megu dengan takjub.

“Ah aden ini bisa aja, Bapak hanya kasih biaya masing-masing 200 ribu aja kok buat bikin gerobak gorengannya”, jawab tukang gorengan sambil memberikan pesanan saya.

(hanya ingin mengeluarkan meme yang menumpuk di kepala, tidak lebih)