Tuesday, June 18, 2013

Ben

Sepi Amat Sih
.
Oleh: Cennots
.
 | 18 June 2013 | 14:10 WIB
.
Ben pun diterpa badai bingung tak berujung. Aneh juga pikirnya. Kok tak ada satu pun pengunjung melongok ke bangsal kelas 2 tempatnya dirawat. Biasanya selepas ‘asar pasien di ujung ruangan paling ramai dikunjungi para pembezuk. Maklum aja, pasien itu kan supervisor pabrik sepatu. Tapi…… kok pasien itu tak ada di situ? Kemana ya?
Disapunya seluruh isi ruangan itu. Ben ternyata hanya seorang diri. Tak ada siapa-siapa.
“Hallooo……. suuus….. susteeer……”
Ben pun melangkah menuju pintu dan keluar sudah. Hanya sepi yang ditemuinya. Tak ada siapa-siapa di lorong, pun suster penjaga. Aneh…..
“Hallooo….. ada orang di sana??!!”
Di ujung lorong dia melihat sekelebatan orang melintas dan masuk ke pantry. Tangannya berlumuran darah dan…….. tanpa kepala. Kepalanya tergeletak di lantai. Glek…. Ben tersedak dan seketika hawa dingin menyelimuti tubuhnya.
“Ben…… Ben…….. Tolong akuuu……”
Sebuah suara lirik datang dari dalam bangsalnya. Ben pun kembali masuk ke kamarnya. Sepi…. sepi….. dan…… si supervisor tampak terbaring di tempat tidurnya.
“Bapak kenapa??”
“Hanya kamu yang bisa menolong Bapak…… atau aku akan terjebak di ruangan ini hingga hari pembalasan”
Ben masih bingung.
“Bapak sudah diambil El Maut”
Ben menyimak ucapan bapak itu sambil mengikuti arah tatapan matanya yang tertuju ke belakang tubuh Ben.
Ben menoleh ke belakang. Dua sosok berjubah hitam dan tinggi besar tepat berdiri di tepi jendela.
“Pak Reguel sudah dalam genggamanku”
Yang satu berkata pelan tapi sangat lantang terdengar di telinga Ben.
“Dan kamu….. Benjamin…… milikku!!”
Sahut yang di sebelahnya.
“Jadi………. aku sudah mati??!!”
Ben terduduk lemas di lantai.
“Sore itu saat dibezuk anak buah Bapak, ada yang memasukkan kaldu udang ke baki makananku. Padahal aku sangat alergi terhadap udang. Dan saat aku santap makanan itu…… jiwaku pun melayang…..”, ungkap Pak Reguel.
Hawa dalam ruangan makin dingin dan Ben menggigil karenanya. Bapak itu mati diracun.
Lalu aku bagaimana? pikir Ben. Dan kepala Ben pun berputar-putar. Aneka warna cahaya menari-nari di atas kepalanya.
“Ben….. Ben….. bangun, Ben…….”
Ben pun tersadar. Suster penjaga dan beberapa orang mengelilinginya.
Rupanya Ben terjatuh dari dipan dan pingsan sesaat.
“Syukurlah kau selamat, Ben”
Ucapan Pak Reguel menyentak kesadaran Ben. Dia masih hidup?? Ben menatap tajam ke arah Pak Reguel.
“Kenapa, Ben?? Kok wajahmu memucat. Kayak habis lihat hantu saja. Memangnya aku hantu ya??”
Ben hanya tersenyum malu. Dan suster penjaga membantu Ben naik ke dipan.
“Siap-siap ya…… waktu bezuk sudah tiba. Akan ada banyak orang ke sini”
Suster pun meninggalkan bangsal itu dan tak lama ‘para pembezuk’ memenuhi ruangan Ben.
“Mami sendiri? Aru dan Aya ngga ikut?”
Ini pertanyaan ke duapuluh yang dilontarkan Ben kepada ibunya. Dan selalu saja hanya secuil senyum jawabannya.
“Besok lusa Aya akan ke sini. Istrimu masih sibuk, Ben. Dan cucu bandelku si Aru lebih senang makan bubur ayam bersama papi di seberang rumah sakit”
Kali ini Ben tak bisa tersenyum. Nyeri di ulu hatinya kian menjadi. Dan tiba-tiba Ben teringat pada Pak Reguel. Dia dalam bahaya. Ya…… itu jelas terlihat. Dua sosok berjubah hitam kini muncul di tepi jendela.
Pak Reguel sedang dibezuk rekan dan anak buahnya. Ben mengawasi baki makanan di bufet kecil. Dan betul saja. Seseorang mendekati baki itu sambil menggenggam sesuatu di tangan kanannya. Terlihat seperti botol kecil. Ben bangkit dari dipannya.
“Mau ke mana, Ben??!!”, mami bertanya gusar.
Ben tak menjawab dan terus saja menghampiri dipan Pak Reguel. Cairan dalam botol sudah tertuang ke makanan Pak Reguel.
Ben merebut botol di tangan orang itu.
“Jangan sentuh makanan itu, Pak Reguel. Wanita ini telah menuang kaldu udang ke dalamnya”
Pak Reguel terperanjat.
“Betul itu, Esther?!”
Yang ditanya tak menjawab malahan berbalik badan dan hendak kabur. Tepat di depan pintu, Esther terpeleset jatuh. Kepalanya membentur lantai dengan keras. Dan satu sosok berjubah hitam menarik rohnya dan membawanya terbang menembus langit-langit ruangan.
Ben melihat ke tepi jendela. Sosok yang satunya hendak mengambil siapa? Ben masih bingung.
Kebingungan Ben tak lama rupanya. Pak Reguel tampak tersengal-sengal, dan sosok berjubah hitam secepat kilat mengambil roh Pak Reguel. Tanpa disadari, Ben tersandung kabel mesin penopang jantung Pak Reguel.
Ketika sadar dia yang menyebabkan Pak Reguel tewas, Ben pun pingsan untuk kedua kalinya.
“Ben….. Ben….. bangun, Ben…….”
Ben pun tersadar. Suster penjaga dan beberapa orang mengelilinginya.
Rupanya Ben terjatuh dan pingsan sesaat.
“Syukurlah kau selamat, Ben”
Bukan ucapan Pak Reguel yang mengagetkannya. Tapi keberadaan sosok berjubah hitamlah yang menakutkannya. Kali ini bukan berdua, tapi memenuhi seluruh ruang di rumah sakit itu.
“Aru ada di seberang jalan tepat di depan pintu masuk rumah sakit ini. Temuilah”
Ben tak tahu sumber suara lirih ini. Ben lupa akan nasib Pak Reguel. Baginya Aru adalah segalanya, putra kesayangannya.
Ben bergegas keluar bangsal dan berjalan cepat keluar rumah sakit. Hanya Aru yang dituju.
Tiba di pintu keluar rumah sakit, Ben melihat Aru melambai ke arahnya, tapi Ben tampak tersentak kaget. Di samping Aru ada sosok berjubah hitam.
Aru berlari menyeberang jalan……. dan……. braak…… sepeda motor yang melaju kencang menghantam tubuh Aru.
Saat itulah Ben melihat semua sosok berjubah hitam bersiap terbang meninggalkan rumah sakit.
Dan……. booom……… rumah sakit itu pun luluh lantak oleh sebuah bom yang terpasang di salah satu pantry.
Ben teringat sosok yang tangannya berlumuran darah di pantry, samar-samar Ben bisa menggambarkan kepala yang tergeletak di lantai, wajahnya mirip dia, mirip Ben. Ben makin bingung. Apakah aku teroris? pikir Ben. 
Dan Ben pun kembali pingsan.
“Ben….. Ben….. bangun, Ben…….”
Ben pun tersadar. Suster penjaga dan tiga orang lelaki mengelilinginya.
Rupanya Ben terjatuh dan pingsan sesaat.
“Syukurlah kau selamat, Ben”
Itu bukan suara Pak Reguel, itu suara suster penjaga. Dan Ben terbangun bukan di bangsalnya, tapi di depan pantry. Ben mulai ingat telah meletakkan tas ransel di sana.
Ben mengamati sekelilingnya. Tak ada sosok berjubah hitam. Tak ada satu pun.
“Sebaiknya kamu kembali ke kamar, Ben. Kalau perlu apa-apa, hubungi kami ya?”
Ben mengangguk.
“Ben…… kali ini kamu melihat berapa sosok berjubah hitam?”
Ben tampak bingung dan hanya menggeleng.
“Kalau dalam dua hari ke depan kamu tak lagi melihat mereka maka kamu boleh meninggalkan rumah sakit ini, Ben. Dan ini tas ranselmu”, ujar suster penjaga.
Tepat pukul 00.00 WIB, semua lampu di koridor ruang isolasi rumah sakit jiwa di pinggiran kota hujan itu pun padam.
“Sepi amat sih…..”
Ucap Ben lirih lima menit setelah lampu padam. Itulah yang diucapkan Ben saat pertama kali menghuni rumah sakit jiwa itu empat tahun lalu dan selalu diucapkannya tiap hari, tiap malam.
Aru, putra Ben satu-satunya, tewas terjatuh dari motor saat kampanye dirinya menjadi caleg. Ben kalah dalam pileg itu dan stress berat. Sam saingannya di pileg kini sedang asyik menghabiskan uang rakyat.
Mau jadi caleg lagi, Ben?