Saturday, April 11, 2015

Tjokro

Setelah lepas dari era tanam paksa di akhir tahun 1800,  Hindia Belanda (Indonesia) memasuki babak baru yang
berpengaruh ke kehidupan masyarakatnya. Yaitu dengan
gerakan Politik Etis yang dilakukan oleh pemerintah
Belanda. Tetapi kemiskinan masih banyak terjadi. Rakyat
masih banyak yang belum mengenyam pendidikan dan
kesenjangan sosial antar etnis dan kasta masih terlihat
jelas.

Oemar Said Tjokroaminoto (Tjokro) yang lahir dari kaum
bangsawan Jawa dengan latar belakang keislaman yang
kuat, tidak diam saja melihat kondisi tersebut. Walaupun
lingkungannya adalah keluarga ningrat yang mempunyai
hidup yang nyaman dibandingkan dengan rakyat kebanyakan
saat itu. Ia berani meninggalkan status kebangsawanannya
dan bekerja sebagai kuli pelabuhan. Dan merasakan
penderitaan sebagai rakyat jelata.

Tjokro berjuang dengan membangun organisasi Sarekat
Islam, organisasi resmi bumiputera pertama yang
terbesar, sehingga bisa mencapai 2 juta anggota. Ia
berjuang untuk menyamakan hak dan martabat masyarakat
bumiputera di awal 1900 yang terjajah. Perjuangan ini
berbenih menjadi awal-awal lahirnya tokoh dan gerakan
kebangsaan.

Tjokro yang intelektual, pandai bersiasat, mempunyai
banyak keahlian, termasuk jago silat, ahli mesin dan
hukum, penulis surat kabar yang kritis, orator ulung
yang mampu menyihir ribuan orang dari mimbar pidato,
membuat pemerintah Hindia Belanda khawatir, dan membuat
mereka bertindak untuk menghambat laju gerak Sarekat
Islam yang pesat. Perjuangan Tjokro lewat organisasi
Sarekat Islam untuk memberikan penyadaran masyarakat,
dan mengangkat harkat dan martabat secara bersamaan,
juga terancam oleh perpecahan dari dalam organisasi itu
sendiri.

Rumah Tjokro di Gang Peneleh, Surabaya, terkenal sebagai
tempat bertemunya tokoh-tokoh bangsa Indonesia kelak. Di
rumah sederhana yang berfungsi sebagai rumah kos yang di
bina oleh istrinya, Suharsikin, Tjokro juga mempunyai
banyak murid-murid muda yang pada akhirnya menetas, dan
mempunyai jalan perjuangannya masing-masing, meneruskan
cita-cita Tjokro yang mulia untuk mempunyai bangsa yang
bermartabat, terdidik, dan sejahtera. Salah satu
muridnya di Peneleh adalah Bapak Proklamator Indonesia,
Soekarno.

"Rakyat Indonesia' yang mana ya ?!

Sepucuk Surat Usang nan Lusuh untuk Rakyat Endonesah

7 hari, 40 hari, 100 hari..... 1000 hari saja......

Kepada Kepala Negara yang Tidak Membaca Apa yang Ia Tandatangani

Novia Riza
11 Apr 2015 | 20:12

Sumber: Joko Widoddo

Sebelumnya saya ingin menjelaskan foto di atas. Foto tersebut saya ambil sendiri dengan kamera HP saya sewaktu tanpa sengaja bertemu Bapak di tengah acara blusukan di Pasar Tanah Abang tahun 2013 lalu. Tentunya pada waktu itu Bapak masih menjabat Gubernur Jakarta. Dan kalau boleh saya tambahkan, Bapak sedang ngetop-ngetopnya waktu itu.

Pak Presiden, sudah agak lama juga tangan saya gatal untuk menulis artikel ini di Kompasiana. Tapi karena beberapa hal, baru terlaksana sekarang. Di samping itu saya memikirkan dampaknya... benarkah akan sampai ke telinga Bapak? Apakah tulisan saya ini setidak-tidaknya menggugah hati Bapak? Saya pernah membaca berita di Kompas.com kalau Bapak lumayan sering membuka laman Kompas.com, sampai-sampai Bapak hapal akun-akun haters Bapak yang sering memberi komentar miring. Jadi, apakah tulisan saya ini punya peluang untuk setidaknya dilirik oleh Bapak mengingat kesibukan Bapak yang menggunung, sampai untuk membaca setiap dokumen negara yang perlu ditandatangani pun Bapak sudah kepayahan?

Tapi ya sudahlah. Mungkin seorang kerabat, kawan atau bawahan Bapak sempat membaca tulisan ini, lantas membisiki intisarinya ke telinga Bapak. Tapi meskipun itu juga tidak, saya tetap ingin menulis untuk mengekspresikan perasaan saya tentang kepemimpinan Bapak, yang mungkin juga merupakan perasaan banyak orang di negeri ini.

Pak Presiden, sebelumnya saya ingin lebih dulu menulis tentang bagaimana ikhwal saya mengenal Bapak yang pernah juga saya tulis di blog pribadi saya. Waktu itu sekitar bulan Desember 2011 saya membaca sekilas profil Bapak yang ditulis di kolom Ultimate U Harian Kompas. Rene Suhardono yang menjadi pengasuh kolom itu bisa dibilang membanggakan Bapak yang menurut dia berhasil menjadikan Solo sebagai kota yang nyaman karena tidak tumpang tindih dengan bangunan komersil. Saya yang dulunya pernah bercita-cita menjadi arsitek karena tertarik dengan tata kota, kontan terinspirasi dan merasa memiliki harapan. Tadinya saya sempat berpikir Indonesia, khususnya Jakarta, sudah tidak punya peluang lagi memperbaiki tata kotanya karena terlanjur semrawut. Dan membaca tulisan tersebut menumbuhkan harapan bahwa ya, masih bisa. Dengan kemauan seorang kepala daerah serta dukungan segenap warga, kota yang nyaman dan berestetika bisa terwujud.

Lalu, tak lama setelah itu Bapak tiba di Jakarta dan segera merebut perhatian dengan segala karakter yang Bapak tampilkan.

Kata orang, jangan menilai seseorang dari perkataannya melainkan perbuatannya. Jadi meskipun harus saya akui saya cukup terkesan dengan segala citra yang Bapak bangun di media, tapi yang benar-benar menggugah hati saya adalah sepotong video tentang Bapak yang diunggah ke Youtube. Dalam video itu Bapak yang masih Gubernur Jakarta secara spontan memindahkan gong yang akan dipukul SBY, Presiden RI saat itu. Terlihat sekali mental "pelayan" di diri Bapak—sesuatu yang selalu Bapak katakan bahwa pejabat adalah pelayan masyarakat.

Lalu, di tengah membumbungnya popularitas Bapak yang tidak hanya di wilayah Ibukota namun sampai ke seluruh Nusantara, partai Bapak mengusung Anda sebagai calon presiden. Dengan segala konflik, rumor sampai fitnah yang menyertai, bagi banyak orang di negeri ini, Pilpres 2014 mungkin adalah pemilu paling ramai. Kotor tapi seru, bukan kah begitu? Rasanya perhatian semua orang negeri ini tersedot pada "perhelatan" nasional tiap 5 tahun sekali ini. Jokowi atau Prabowo. Prabowo atau Jokowi. Nomor satu atau salam dua jari?

Dukungan dari kedua kubu bermunculan di mana-mana. Dari yang dikoordinir partai pengusung sampai yang dikerjakan sukarela. Meski absurd, satu-dua kali kita membaca sebuah cerita di lini massa tentang dua sahabat bertengkar cuma gara-gara beda pilihan capres.

Dan Pak Presiden, menurut pandangan saya sendiri, dukungan kepada Bapak lebih menonjol dan kreatif ketimbang dukungan untuk Pak Prabowo. Di mana-mana bermunculan ikatan-ikatan dan gerakan-gerakan sukarelawan untuk mendukung Bapak menjadi orang nomor satu di negeri ini. Mereka bergerak sendiri-sendiri, tanpa dikomando, dan tentu saja tanpa dibayar. Dalam channel Youtube bisa kita lihat video-video dukungan untuk Bapak dalam berbagai rupa; lagu parodi, lagu khusus untuk Bapak sampai video para artis yang mengemukakan alasan mereka mengapa memilih Bapak.

Dari saya sendiri menilai bahwa tiap-tiap dari mereka tersentuh hatinya oleh sosok Bapak. Bukankah hanya gerak hati yang sudah tergugah, yang mampu membuat kita memperjuangkan sesuatu tanpa pamrih? Alih-alih dibayar, banyak dari mereka yang justru ingin ikut membayari acara kampanye Bapak. Banyak sekali bukan, uang yang masuk ke rekening Tim Sukses Bapak waktu itu?

Lalu jangan lupakan Konser Salam 2 Jari yang diusung band Slank. Betapa ramainya. Betapa antusiasnya. Saya yang menyaksikannya hanya dari TV saja sudah merinding melihat banyaknya yang datang. Kemudian, dengan berlari-lari Bapak naik ke atas panggung. Menggelorakan segenap pendukung yang rela datang meski saat itu masih bulan puasa.

Tentu Bapak bisa mengira apa yang dilihat mereka semua dari sosok Bapak. Harapan. Ya, harapan. Meski lelah dengan beban hidup sehari-hari, meski letih melihat kebobrokan birokrasi negeri ini, meski muak melihat negeri ini tetap tak sejahtera setelah lebih dari setengah abad merdeka, kami semua, rakyat Indonesia, tetap menyimpan harapan akan makmurnya hidup di negeri sendiri. Dan separuh lebih rakyat Indonesia—mengacu dari hasil Pilpres—menggantungkan harapannya di pundak Bapak. Mungkin berlebihan mengharapkan Satria Piningnit benar-benar menjelma, tapi setidaknya di diri Bapak, kami melihat sosok yang berani menerobos dan berani berbuat benar. Indonesia sudah demikian melenceng dari jalan yang benar hingga membutuhkan sosok yang berani meluruskannya kembali. Bukankah itu yang sudah Bapak lakukan di Solo sana?

Sebetulnya, di tengah kasus Tranjakarta berkarat yang masih hangat saat itu, mempercayakan negeri ini ke tangan Bapak, bagi saya adalah sesuatu yang cukup dilematis. Bagaimana Bapak coba berkelit dari tuduhan membuat saya cukup ragu. Tapi, melihat rival Bapak di Pilpres, saya lebih-lebih tidak percaya. Seperi yang  pernah saya tulis di blog saya, memilih Bapak agaknya seperti memilih "yang agak mendingan". Tapi biar bagaimana pun, saya, seperti para pemilih Bapak yang lain, tetap menyimpan harapan besar untuk Indonesia.

Pak Presiden, mohon dipahami, dalam sejarah Bangsa Indonesia, mungkin baru Bapak saja presiden yang tetap memiliki basis pendukung yang kuat setelah keluarnya kebijakan pemerintah yang menciutkan hati. Kalau tidak begitu mana mungkin kondisi negara masih terbilang cukup kondusif sewaktu Bapak menaikan harga BBM di awal-awal pemerintahan Bapak. Demikian juga halnya sewaktu masyarakat melihat siapa-siapa saja yang akhirnya menduduki kursi di kabinet Bapak. Teringat janji "tidak bagi-bagi kue", sebetulnya agak miris melihat kenyataan yang ada: orang-orang dari partai pendukung cukup banyak yang menduduki posisi menteri. Kata seorang pengamat, Bapak Presiden biar bagaimana tetap tidak bisa mengelak dari tradisi politik. Lagi-lagi bisa dibilang tidak ada gejolak yang cukup berarti di tengah masyarakat. Lagipula setelah itu ada berita tentang Menteri Susi yang dengan gagah berani memusnahkan kapal pencuri ikan dari negeri lain. Sebuah berita yang menerbitkan rasa cinta Tanah Air, menurut saya.

Tapi, Pak Presiden, makin ke sini agaknya kebijakan Bapak makin tak berkenan di hati masyarakat—atau setidaknya di hati saya sendiri. Penunjukan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri tunggal, kisruh KPK-Polri, efek Hakim Sarpin, nilai dolar yang melesat sampai soal BBM yang akhirnya diputuskan mengikuti harga pasar. Juga jangan lupakan yang masih hangat, Perpres tentang kenaikan tunjangan uang muka mobil pejabat. Tidak bisa tidak, kebijakan-kebijakan Bapak itu menimbulkan keraguan akan kapasitas Bapak untuk mengidentifikasi masalah negeri ini. Lebih jauh, kepada siapa sebenarnya Bapak berpihak; rakyat atau partai? Dan, kenapa rumor di masa Pilpres yang pernah menghantam Bapak bahwa Bapak adalah bonekanya Megawati, seolah terbukti?

Pak Presiden, mengapa jadi begini? Ada yang bilang bahwa era SBY adalah era auto pilot karena seakan-akan negeri ini berjalan tanpa ada pemimpin. Sementara era Bapak adalah era remote control. Pucuk pimpinan partai Bapak yang selalu mengatakan bahwa tiap-tiap kadernya adalah petugas partai itulah yang memegang remote-nya. Pak Presiden, terus terang saja, opini tersebut tampaknya mendekati kebenaran, tidak peduli sekeras apa Bapak membantahnya.

Pak Presiden, apakah sajak putri Gusdur di acara Mata Najwa beberapa waktu lalu benar adanya? Bahwa Bapak butuh seseorang yang bisa diajak bicara? Jika benar begitu bicaralah pada kami, rakyatmu. Jika Bapak butuh dukungan, datanglah pada kami, rakyatmu. Melihat perjalanan politik Bapak, bisa dilihat bahwa masyarakat Indonesia cukup mudah bersimpati oleh tindakan pejabat yang berani mendobrak cara lama yang berbau KKN. Maka, Pak Presiden, dengan niat baik, lakukanlah lagi. Jangan takut partai atau Ketumnya. Bapak mesti camkan, yang menghantarkan Bapak ke tampuk kekuasaan tertinggi negeri ini adalah rakyat, bukan partai berwarna merah atau biru.

Pak Presiden, tolong jangan melemah. Meskipun dulu berkali-kali Bapak bilang "ndak mikir" urusan Pilpres, namun karena Bapak sudah terjun tentunya Bapak sudah harus mengerti tantangan membangun negeri ini. Bapak tentunya sudah paham siapa atau apa yang akan menyikut Bapak. Lebih dari itu, Bapak mestinya sudah memperhitungkan cara menghadapinya. Kuatlah, tegarlah.

Pak Presiden, kembalilah ke jati diri Bapak yang senang mengecek ke lapangan, bukan ke sosok yang duduk di belakang meja menerima laporan. Seperti yang pernah saya baca di media online kalau Bapak menemui para relawan dan mengatakan pada mereka bahwa kondisi politik Indonesia tidak seseram kelihatannya. Yang benar saja, Pak, kata siapa itu? Staf Andakah yang melapor begitu?

Pak Presiden, sedikit usulan dari saya yang masih gagap bicara politik ini, bicaralah dengan pakar hukum dan tata negara yang mumpuni dan berintegritas. Mulailah dari pembenahan hukum. Tolong jangan lagi ada perkataan, "Masa saya intervensi hukum?" seperti yang terlontar dari mulut Bapak sewaktu kisruh KPK-Polri. Sesungguhnya, Pak Presiden, tidak ada yang meminta Bapak mengintervensi hukum. Rakyat hanya minta Bapak bertanggungjawab atas kegaduhan yang harus Bapak akui bersumber dari keputusan Anda sendiri.

Pak Presiden, ada selentingan kabar bahwa jika keadaan Indonesia begini terus: dolar meroket tajam, harga-harga bahan pokok naik gila-gilaan, institusi semakin ngawur, sementara Bapak terus menerapkan kebijakan yang lebih pro partai—maka akan ada demo besar-besaran meminta Bapak mundur. Berita yang amat bombastis. Tapi melihat keadaan masyarakat bak api dalam sekam, kabar itu bisa saja menjadi kenyataan. Dan, maaf, meskipun selama ini skeptis terhadap demo-demo sekarang ini yang banyak ditunggangi kepentingan segelintir kelompok—agaknya saya tertarik untuk ikut turun. Saya membayangkan akan mengacungkan spanduk "Megawati, Anda Mengerikan".

Pak Presiden, tentu saja, karena belum benar-benar terjadi, semua berita itu baru hanya angan-angan saja. Dan pastinya saya pribadi tidak menginginkan ada kekacauan besar di negeri ini. Seperti yang mungkin selalu menjadi patokan setiap petinggi negeri ini dalam mengambil keputusan, stabilitas nasional adalah segalanya. Segala bentuk kekacauan yang akan mengancam kestabilan negeri ini sedapat mungkin diredam sejak awal.

Pak Presiden, Anda mempunyai staf kepresidenan serta penasehat yang lebih dari cukup untuk memberi masukan terbaik bagi pembangunan bangsa ini. Saran dari saya mustahil lebih canggih ketimbang mereka yang pintar-pintar itu. Harapan saya cuma satu: bahwa tulisan di spanduk yang sekiranya akan saya bawa di demonstrasi kelak terbukti tidak benar hingga saya sama sekali tidak perlu menjunjungnya di tengah ribuan masyarakat yang marah.

saturday is sad day.....