Saturday, May 31, 2014

TOP g+ TIPSTERS this month

selamat malam, pagi

only six cinemania @sensi

relawan jokowi mengemis-ngemis di jalanan ibukota

Pukul 8 tepat. Atau pukul 08.01? Atau pukul 07.59? Berani bilang sekarang pasti pukul 08.00? Don't. You can not say it's absolutely eight o'clock.
Relatif.
Dimensi waktu itu relatif bergerak maju jika dilihat dari sudut pandang tertentu. Ketika ada seorang penumpang angkot bertanya ke Han jam berapa sekarang, lantas Han pun melihat ke smartwatch-nya, pukul 08.00'00", dan dijawab.....
"Jam delapan lebih dua detik"
Penumpang yang duduk di samping Han hanya mengangguk sambil menyisakan tanya soal 'lebih dua detik' yang diucapkan Han.
"Kiri, bang!!"
Han turun tepat di depan kiosnya di samping kantor cabang pembantu Bank Mega Kramat Jati.
Teng... teng... teng... genta dan lonceng telah dibunyikan, rutinitas pun harus dilakoni Han sejak masuk ke kios hingga pulang pukul lima sore. Senin hingga Sabtu.
"Minta sedekahnya, tuaaan......."
Itulah salah satu rutinitas yang sering menyapa Han saat menjaga kios pulsa. Hapal betul Han pada tiap-tiap pengemis yang hinggap. Di sudut dinding kanan kios tertempel 19 foto pengemis dan tanda turus kehadiran pengemis di depan hidung Han.
Paling sedikit punya 13 turus, pengemis berwajah datar.... terbanyak, pengemis tanpa emosi dan intonasi..... entah berapa turus yang tertera di bawah fotonya, mirip coretan turus di bilik sel penjara milik om Anas.
Jika ada wajah baru, Han langsung putar ulang CCTV yang terpasang di atas etalase lalu di-screenshoot.
Menjelang siang, Uni mengantarkan sebungkus nasi Padang isi rendang untuk Han.
"Tiga belas ribu......."
"Naik lagi, Uni?"
"Menjelang pilpres dan puasa, harga daging kian menjulang, uda....."
Teng... teng... teng...
Tersisa empat suapan ketika seorang pengemis singgah. Han hanya menggeleng. Tak pernah ada uang atau sesuatu diterima sang pengemis. Han tak suka pengemis. Han benci pada orang berpredikat pemalas.
"Kasihan, tuaaan....... saya belum makaaan......"
Siapa pun dia yang barusan meminta-meminta dan menghiba-hiba, Han anggap angin lalu saja, semuanya ada stempel di jidatnya : pengemis, dengan segudang cara dan gaya menghipnotis targetnya agar memberi seribu dua ribu saja.
@
Pukul 8 tepat..... ups...... sekitar pukul 8, dua hari kemudian. Han baru saja terbebas dari titian terakhir JPO shelter busway Mangga Dua. Inginnya sih membeli sparepart ponsel yang hendak diservice.
Lima langkah kemudian..... di dekat deretan tiga tukang ojek.
"Ojek?!"
Han ragu, naik mikrolet atau ojek?
"ITC..... berapa?"
"13.000"
Naik mikrolet hanya noceng, sudah sampai ITC dan menemui koh Aseng pemilik toko sparepart langganannya, bisa hutang, bisa juga pinjam.
"13.000..... mau? diantar sampe pintu masuk loh!"
Han menggeleng sambil menjauh tiga langkah dan memeriksa tas pinggangnya.
OMG!
Ada sayatan pisau cutter...... dan isi tasnya kosong sudah. Uang, ponsel dan surat-surat.
OMG!
Dompet di kantong celana jeans pun raib entah kemana.
OMG!
Jam dan gelang tak lagi melingkar di tangan kirinya.
OMG!
Sepatu kirinya terinjak kotoran kucing.
Han menoleh ke tukang ojek. Han bingung. Han kalut. Kepala Han semrawut awut-awutan.
"Awas lubang!"
Hampir saja Han terperosok ke lubang galian serat optik, atau galian PLN? atau galian pipa gas? atau galian iseng untuk menghabiskan sisa anggaran?
"Arrrgghhh......."
Han menoleh ke orang yang memperingatkannya. Lusuh. Pengemiskah?
"Mau ke ITC? Hati-hati kalau di busway, mas"
'Pengemis' itu melihat tas pinggang Han yang terkoyak.
"Semuanya dicopet!! Amblas!!"
"Ada ongkos pulang?"
Han diam saja. Orang itu mengamati wajah Han. Ekspresi wajah Han dan pupil mata Han telah meyakinkan orang itu. Mendekatlah ia sejarak dua jengkal dari Han.
"Ini....... terimalah......"
Cepat sekali orang itu memberi uang ke tangan Han. Mikrolet jurusan Pademangan pun membawanya pergi.
Han cepat tersadar. Tapi mikroletnya sudah menghilang. Dilihatnya uang-uang dalam genggamannya. Selembar lima ribuan, tiga lembar dua ribuan, selembar seribuan dan..... gopek dua keping.
@
Empat puluh hari berlalu.
Pukul 10.05. Han melihat ke jam dinding di kiosnya. Pukul 10.05 selalu menjadi icon untuk iklan jam. Why? Gak perlu dijawab laaah..... Han lagi bingung kok.
Bingung?
Belakangan ini Han tak melihat satu pengemis pun yang melintas. Malahan Uni yang tiba-tiba nongol berdiri menutupi pandangan Han.
"Nih....."
Han menyodorkan selembar seratus ribuan.
"Gak bawa kembalian, udaaa......."
Han mengusap saku kemeja putihnya.
"Itu recehan kan?!"
Han mengangguk. Selembar lima ribuan, tiga lembar dua ribuan, selembar seribuan dan gopek dua keping. Recehan ini kadang siap sedia di saku Han.
Sejurus kemudian sesaat setelah Uni pergi membawa bayaran makan siang Han........
"Kasihan, tuaaan....... saya belum makaaan......"
Han terdiam sejenak.
"Kasihan, tuaaan....... saya belum makaaan......"
Han terkesiap seperti orang terbangun dari mimpu buruk.
Lalu....
"Ini...... kumohon..... terimalah......"
Han mengangguk dengan segaris senyum untuk meyakinkan pengemis itu.
WhatsApp dari Uni masuk.
"Jika ingin memberi, berilah dengan ikhlas, tak perlu embel2 dan rasa penyesalan di kemudian hari...... copas dari grup sebelah.... hehehehe...."
Han hanya membalas dengan satu icon......

HATI-HATI...!! timses dan relawan pasang CCTV di WC Umum dan Kuburan

AWAS!! kebaktian dipantau pasukan MAWAR

mulai besok pasukan PALANG ikut pengajian dan jum'atan

timun di tangan janda

nguras balong

riding giraffe

jokowi vs prabowo

flying boy

jokowi PENGEMIS

the PHILOSOPHERS

kapan terakhir kali pasang/ganti foto profile dan tulis status di WhatsApp?

jennifer lawrence

Muhammad Ali and Michael Jordan

man all pink

misrata

lady gaga on apple

stair way to heaven

men of the strip

erik shinseki resigned, Mr. O

man on blue

13,000 hari lagi

at beach we play

all about woman

Friday, May 30, 2014

sooo sweeeet......

malam ini lampu depan sengaja tak dinyalakan

jogging @ kalibata apartement park

jokowi lagi baca BLOG BADMAN

my keyboard

your keyboard not like this?

prabowo-jokowi siap menang TAPI GAK SIAP KALAH...... PASTI NGAMUUUK......

Kampanye di Media Sosial
.
Dianing Widya
novelis dan pegiat sosial, @dianingwy
.
Keberadaan media sosial tidak hanya memudahkan orang untuk saling berinteraksi, tapi juga menjadi media untuk mempengaruhi. Salah satunya seperti yang dilakukan tim pemenangan para calon presiden yang akan bertarung pada 9 Juli nanti. Mereka terus menampilkan "iklan-iklan" yang bisa mendongkrak popularitas atau tingkat keterpilihan calonnya. Apa pun kegiatan positif yang dilakukan oleh calon presiden, langsung dikabarkan pada detik itu juga melalui media sosial.

Ironisnya, mereka (para pendukung) tidak hanya mengabarkan sisi positif calon yang didukungnya, tapi juga menciptakan fitnah dan desas-desus yang menghantam calon lain. Akibatnya, kita tidak banyak tahu apa saja program calon tersebut. Bahkan, tim media sosial mereka (yang dibayar oleh tim pemenangan calon) ataupun pendukung di luar struktur tim resmi (tak dibayar), lebih banyak mengobarkan "perang" lewat media sosial.

Anggota "tim bayaran" maupun "tim gratisan" ini nyaris lebih banyak tenggelam dalam perdebatan yang tak produktif. Mereka lupa bahwa dirinya adalah "wakil" dari calon yang mereka dukung. Dalam relasi ini, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh tim sukses (termasuk tim media sosial) merepresentasikan apa yang dipikirkan sang calon. Ia merupakan perpanjangan tangan sang calon.

Boleh saja sang calon menyatakan tidak tahu-menahu soal aktivitas tim media sosial atau relawannya. Namun publik tidak perlu tahu apakah yang dilakukan itu improvisasi mereka sendiri atau atas "petunjuk" sang calon. Dengan kata lain, publik tidak mau tahu terhadap proses karena yang mereka tahu adalah hasil atau apa yang terlihat dan berada di permukaan.

Walhasil, apa yang muncul di hadapan publik, termasuk di media sosial, akan dilihat masyarakat sebagai hal yang sesungguhnya terjadi. Tidak mudah memilah apakah sang calon "tahu" atau "tidak tahu" ihwal aktivitas pendukungnya. Sejauh tidak ada sanggahan dari sang calon, apa yang dilakukan oleh tim suksesnya bisa dilihat sebagai sesuatu yang telah disetujui oleh calon tersebut.

Maka, ketika ada tim media sosial dan relawan salah satu calon yang menyerang relawan calon lain, bisa ditafsirkan itu dilakukan atas kehendak-atau setidak-tidaknya persetujuan-calon tersebut. Hubungan "yang diwakilkan" dengan "yang mewakilkan" memang merupakan sebuah ikatan yang dibingkai oleh satu visi dan tujuan. Mereka bergerak berdasarkan komando, bukan sekehendak hatinya.

Dalam konteks inilah, terbuka kemungkinan bagi calon yang merasa diserang untuk melapor ke polisi, terutama jika menghadapi fitnah-fitnah yang serius. Memang, melakukan hal itu amat melelahkan dan menguras energi. Namun tidak ada salahnya jika satu-dua kasus dilaporkan sebagai bagian dari pembelajaran bagaimana berdemokrasi yang sehat.

Sebab, jika masih dalam tahap pencalonan saja sudah membiarkan pendukungnya melakukan aktivitas yang melawan hukum dan menodai demokrasi, apa jadinya jika sang calon itu terpilih nanti? Apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang menertibkan pendukungnya saja tidak bisa? Bagaimana kelak jika ia terpilih?

Jadi, kampanye hitam, termasuk lewat media sosial, tak bisa dipandang sebelah mata. Itu menjadi cermin yang memantulkan seperti apa nanti wajah Indonesia.

tabloid OBOR RAKYAT made by JOKOWI LOVERS

10:14 today.... will shake you

Mahommed Street Jerusalem

22441

gak boleh petik bunga sembarangan

wonder woman and the eagle