Saturday, April 14, 2012

Freedom For Free DOM, Bebas Untuk Bebas


Freedom Writers



Kisah ini sangat menakjubkan dan mengritik para tenaga pengajar yang kebanyakan melakukan generalisasi pada anak didik. Erin Gruwell telah melakukan pendidikan yang humanis, membebaskan, dan beralaskan kasih. Ini adalah kisah nyata tentang kelas 203, dimana Erin Gruwell melakukan pendidikan yang benar-benar menakjubkan. Gruwell telah mendobrak paradigma pendidikan dan memberi pandangan baru sebagai solusi.
Kelas 203. Ia masih lengang meskipun bel tanda masuk telah berdering. Meja para murid penuh coretan. Beberapa halaman buku pelajaran hilang bekas sobekan. Papan tulis penuh dengan kotoran debu. Penutup jendela kelas rusak. Kelas 203 lebih mirip sebuah bui daripada ruang pendidikan. Mayoritas guru melihat kelas itu sebagai ruang gelap tanpa harapan. Rapor akademik kelas itu merah. Kata “pendidikan” absen dari ruang itu. Yang ada cuma “pendisiplinan.” Satu per satu murid memasuki kelas karena digiring petugas piket sekolah. Mereka harus dipaksa belajar karena mereka tidak memiliki hasrat sedikit pun akan pendidikan. Para guru mengibarkan bendera putih. Para murid akan menghilang satu per satu dari ruang kelas untuk selamanya.
Kelas 203 kontras dengan kelas di seberangnya. Para guru sudah hadir di kelas sebelum jam tatap muka mulai. Ia sudah menuliskan materi pelajaran di papan tulis. Hanya guru dengan predikat teladan mendapatkan izin mengajar di kelas itu. Meja para murid tertata rapi dan bersih dari coretan. Tahun ajaran baru ditandai dengan buku pelajaran baru. Para murid bergegas memasuki kelas begitu bel masuk berbunyi. Ruang kelas itu hanya terbuka bagi para murid dengan rapor akademik istimewa. Mayoritas murid berkulit putih dengan perkecualian segelintir murid dari ras lain. Mereka tak pernah menginjakkan kaki mereka di kelas seberang karena terbentang sekat pemisah di antara keduanya.
Para murid kelas 203 melihat Erin Gruwell, guru baru mereka, dengan tatapan kebencian pada hari-hari pertama tahun ajaran. Mereka memandangnya sebagai sipir bui yang berdiri di depan kelas untuk mendisiplinkan para narapidana sekolah. Ia menjadi bagian dari struktur sekolah yang melihat para murid sebagai barang antik. Ia dianggap sama saja dengan para guru sebelumnya yang selalu mengeluarkan kartu merah untuk mendisiplinkan perilaku mereka. Ia terlibat dalam institusi pendidikan yang terperosok dalam dosa. Profesi guru telah lama hilang dari ruang kelas itu. Gruwell mencita-citakan sebuah rumah pendidikan bagi para muridnya. Rumah pendidikan di atas pondasi guru, murid, administrasi, dan dunia sekitarnya.
Gruwell tidak mulai dengan pelajaran tata bahasa, melainkan tata bangsa Amerika. Sekat pembatas antarmanusia itu tercipta antarruang kelas dan bahkan dalam satu ruang kelas. Para muridnya berasal dari latar belakang imigran, manusia perahu, korban penggusuran, pengedar obat terlarang, pernikahan dini, dan mereka yang terpinggirkan dari komunitasnya. Kelas didesain berdasar sekat-sekat pembatas. Menyeberang sekat menimbulkan ancaman kehidupan bagi penghuni sekat lain. Gruwell mencabut jerat-jerat penyekat itu dari ruang kelas. Ia mendesain ulang kelas itu menjadi jaring-jaring perjumpaan. Ia membuka mata terhadap konteks hidup para muridnya. Ia mendambakan kelas itu berubah dari penjara menjadi rumah. Jika Holocaust adalah nama sebuah sekat masa lalu dalam sejarah dunia, rasialisme adalah sekat modern dalam masyarakat Amerika. Pendidikan tak akan berlangsung selama rasialisme menjadi salah satu pilarnya.
Gruwell mengalami reorientasi atas profesinya sebagai pendidik saat ia membaca fragmen kehidupan para muridnya. Fragmen hidup dalam buku harian itu bergenang air mata. Ketulusan Gruwell dalam mendampingi mereka mengembalikan identitasnya sebagai guru. Drama pendidikan mencapai klimaks ketika Gruwell dan para murid membongkar model pendidikan lama yang deformatif dan mendesain model pendidikan baru yang transformatif. Para guru lain dan dewan sekolah mencecar Gruwell dengan tanggapan pedas, “Kelas 203 adalah kasus khusus yang sulit diterapkan di tingkat pendidikan yang setara. Metode pendidikanmu sangat tidak praktis.” “Saya ingin menyalakan lilin di ruang gelap pendidikan. Saya berani mengambil risiko menerapkan metode pendidikan yang didakwa tidak praktis ini, karena hidup para murid berharga di mata saya sebagai seorang guru,” demikian Gruwell menuliskan dalam buku hariannya.

Hanya Logo, Masalah Berooo?


Jadilah Penjaga Bayi Yang Baik


Suatu Senja Di Bawah Patung Pancoran, Aku Sedang Pasang Baliho Dan Melihat Pacarku Di Sana


Saiful Jamil, Derita Tanpa Akhir


Apa Kata Cleverbot Tentang Syahrini?


Setelah Bebas Ariel Jualan Ketoprak Ngga Pake Humor


Internet Di Mata Seorang Ahli Kimia Molekuler


Kenapa Pusat Tata Surya Hanya 1 Matahari?


Perjaka Senja Di Simpang Senayan


Lontong Medan Khusus Alay dan Jablay


Ciri-Ciri Fisik dan Pakaian Seorang Gigolo

Menguak Kejanggalan dalam Film G30S/PKI . Lubang Buaya, 1 Oktober 1965, seorang wanita mengambil silet yang terselip pada dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Lalu silet itu disayatkannya kepada wajah seorang yang tengah duduk terikat. “Penderitaan itu pedih jenderal. Sekarang rasakan sayatan silet ini. Pedih! Tapi tidak sepedih penderitaan rakyat,” ujar wanita itu dengan dingin. . Adegan selanjutnya tidak kalah sadis. Para jenderal dipukuli dan disiksa hingga tewas. Sementara penyiksanya tertawa-tawa bengis sambil menyanyikan lagu “Genjer-genjer”. “Teken jenderal,teken!”, teriak para tentara pro-komunis dan para aktivis pemuda rakyat dan Gerwani itu. (Merdeka.com, 2/09/2012). . Penggalan kisah di atas adalah kutipan dari adegan film G30S/PKI yang dibuat pada tahun 1982 oleh sutradara Arifin C Noer. Konon, adegan seram dalam film itu mengalahkan film horor Indonesia manapun. Musik latarnya yang pelan dan menyayat, yang digubah oleh Embi C Noor, sangat terasa mencekam dan berbanding selaras dengan narasi film tersebut yang sangat kaku dan dingin. . Belum lagi setting film tersebut yang berpindah-pindah. Dari mulai Istana Bogor, rumah panglima, TK Ade Irma Suryani, ruang-ruang sempit nan gelap yang digambarkan sebagai tempat rapat PKI yang remang-remang, dan tentu saja Lubang Buaya, turut menunjang suasana mencekam film besutan Arifin C Noer itu. . Kakak saya, ketika ditanya mengenai film G30S/PKI berujar bahwa bulu kuduknya merinding takkala mendengar dialog-dialog yang -menurutnya- terasa dingin dan penuh penekanan. Salah satu dialog dalam film G30S/PKI yang terekam baik di memori kakak ialah, “Darah itu merah jenderal seperti amarah”, dan “Bukan main wanginya minyak wangi jenderal. Begitu harum. Sehingga mengalahkan amis darah sendiri.” . Dari kakak pula saya mengetahui bahwa film ini sempat menjadi tontonan wajib bagi rakyat Indonesia dan para siswa selama rezim Orde Baru berkuasa. Namun sejak 1998, entah dengan alasan apa, film “wajib” Orde Baru itu tidak lagi ditayangkan seperti biasanya, yaitu pada malam 30 September. . Ada berbagai alasan yang mencuat di seputar penghentian film G30S/PKI. Salah satu yang sempat terdengar ialah adanya protes dari pihak Angkatan Udara (AU) yang merasa keberatan karena memberi kesan memojokkan AURI. . Tidak hanya protes dari AU, pasca tambangnya Orde Baru, film itu juga menuai banyak kritikan, karena dianggap tidak sesuai dengan fakta sejarah. Alasan inilah yang paling sering disebut-sebut sebagai lantaran dari penghentian film “wajib” Orde Baru yang mengisahkan kekejaman PKI. . Sejarawan Indonesia, Dr Asvi Warman Adam, dalam tulisannya “Film Sebagai Agen Sejarah” mengatakan, film G30S/PKI banyak mengandung kelemahan historis. Doktor sejarah lulusan Paris, Perancis, itu mencontohkan beberapa hal. Salah satunya adalah peta Indonesia yang berada pada ruang KOSTRAD yang memuat wilayah Timor-Timur. Faktanya, pada tahun 1965/1966 Timor-Timur belum berintegrasi ke pangkuan wilayah Ibu Pertiwi. . Tidak hanya soal peta, penggambaran berbagai tokoh pun dinilai berlawanan dengan fakta sejarah. Aidit, misalnya, digambarkan sebagai pria perokok berat. Dalam film itu nyata terlihat bagaimana Aidit berulangkali menghisap dalam-dalam rokoknya. Kesannya, Aidit tengah gelisah, tidak tenang. Faktanya, Aidit bukan sosok perokok berat. Kejanggalan peristiwa G30S/PKI juga merambah pada hasil otopsi terhadap mayat para jenderal di Lubang Buaya. Pada film digambarkan bagaimana tubuh para jenderal habis terkena sayatan silet, bahkan dicungkil matanya. Hal ini berbanding lurus dengan berita-berita yang dirilis oleh berbagai harian di Indonesia pada waktu itu. . Harian Angkatan Bersenjata, edisi 6 Oktober 1965, menulis, “Matanya dicungkil.” Sementara itu, Berita Yudha, edisi 10 Oktober 1965, menulis, “Ada yang dipotong alat kelaminnya.” . Namun, apa yang digambarkan pada film dan yang ditulis pada berita-berita pada saat itu tampak janggal takkala dihadapkan pada hasil “visum et repertum”. Kala itu ada 5 ahli yang dilibatkan oleh Presiden Sukarno untuk mem-visum jenazah para jenderal, yaitu Dr. Arief Budianto (Lim Joey Thay), Dr. Brigjen Roebiono Kertopati, dr. Kolonel Frans Pattisiana, dr. Sutomo Tjokronegoro, dan dr. Liau Yang Siang, yang merupakan rekan dari dr. Arief Budianto di Ilmu Kedokteran Hakim FK-UI. . Hasil visum terhadap jenazah para jenderal itu kemudian direkam dengan baik oleh Ben Anderson dan dituangkan dalam artikelnya yang diberi tajuk “How Did The General Die”. Artikel itu dimuat pada Jurna Indonesia edisi April 1987. Artikel, yang kabarnya membuat Suharto berang, ini memuat hasil “visum et-repertum” yang menyatakan tidak diketemukannya adanya tanda-tanda pencukilan mata dan pemotongan alat kelamin. Dari tujuh Pahlawan Revolusi yang di-visum, enam di antaranya tewas akibat luka tembak, dan satu lagi, yakni Mayjen MT Haryono, tewas akibat luka tusukan. . Kini, seiring dengan berpulangnya satu-persatu saksi hidup G30S/PKI, dapat dipastikan bahwa kebenaran sejarah tentang peristiwa itu makin menguap entah Kemana. Dari siapa yang melatarbelakangi, motif hingga tokoh-tokoh mana saja yang terlibat dalam gerakan pada dini hari di penghujung September itu. . Satu yang pasti, bawah film mempunyai pengaruh besar dalam dan untuk membentuk opini masyarakat. Dr Asvi Warman Adam bahkan lebih dalam dengan menyebut “Film Sebagai Agen Sejarah”. Film turut menentukan arah jarum jam sejarah kemudian hari. . Mengenai G30S/PKI, saya yang terlahir belakangan, tidak pernah mengetahui sejarah yang sebenarnya. Jangankan soal film dan narasi sejarah, bahkan penulisan G30S-pun berubah-ubah sesuai dengan zaman dan kepentingan. Agaknya kita perlu sejarah yang ditulis ulang mengenai G30S. Rumitnya, siapa yang harus dan berhak menulis ulang? Kemudian, adakah keinginan dari bangsa ini untuk menulis sejarahnya? . . . .

Soetan Batoegoena Mau Besanan Sama Tifatul?


Book : The Killer Stand-Up Comedy System


Trik Mempercepat Performa Ubuntu 11.10 - Oneiric Ocelot



Agar kerja komputer lebih maksimal khususnya yang pakai Ubuntu 11.10 - Oneiric Ocelot, perlu disetting seperti langkah-langkah di bawah ini:
Buka terminal (applications-accessories- lalu pilih terminal) lalu masukkan kode ini:
cat /proc/sys/vm/swappiness     (enter)
Fungsinya untuk mengecek nilai swappiness, sehingga akan keluar seperti kode ini:
arie@arie:~$ cat /proc/sys/vm/swappiness
60
Selanjutnya untuk mengganti nilai swappiness, masukkaan kode ini:
sudo sysctl vm.swappiness=11  (enter)
Hasilnya:
arie@arie:~$ sudo sysctl vm.swappiness=11
[sudo] password for arie:
vm.swappiness = 11 
Agar perubahan bersifat permanent silahkan edit file/etc/sysctl.conf dengan perintah (masukkan kode) ini:
gksudo gedit /etc/sysctl.conf  (enter)
(selanjutnya akan keluar kotak dialog edit file/etc/sysctl.conf)
Kemudian cari baris vm.swappiness kalau tidak ada tambahkan sendiri baris berikut di bagian bawah file:
vm.swappiness=11
Jika sudah selesai, simpan file tersebut kemudian restart system anda.
Selamat mencoba, SEMOGA SUKSES.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kalo gagal? BODO AMAT, EMANG GUE PIKIRIN.