Wednesday, April 15, 2015

THE MESSENGER OF DEAD

7 2 0 702

presiden dan pesinden dan pere siden

Kontroversi pasca Kongres PDIP IV di Bali, bagi saya, merupakan indikasi ketidakpekaan Megawati juga PDIP dalam membaca fenomena perpolitikan di Indonesia. Saya melihat ketidakpekaan ini berdasarkan isu-isu spesifik yang diperdebatkan publik pasca Kongres tersebut.

Pertama, ‎Jokowi diundang bukan sebagai Presiden RI melainkan sebagai kader utama PDIP. Tidak heran, Jokowi tidak mendapatkan porsi untuk menyampaikan pidato dalam kongres tersebut. Tentu ada apologetika (pembelaan) yang dapat dikemukakan pihak PDIP terkait hal ini. Tanpa menafikan kekuatan apologetika mereka, seharusnya PDIP cukup bijak untuk menghindari kontroversi ini dengan mengundang Jokowi sebagai Presiden RI.

Ada tiga alasan utama untuk hal di atas, yaitu:

Jabatan "presiden" yang sekarang disandang Jokowi merupakan jabatan yang lebih "tinggi" dari predikat sebagai "kader utama" partai. Ketika seseorang menyandang jabatan rangkap dalam kondisi seperti ini, menurut etiket profesionalisme, ia harus diundang menurut jabatan atau predikat tertinggi yang disandangnya. Analogi untuk keharusan etiket seperti ini adalah penggunaan gelar akademis. Orang tidak perlu mencantumkan gelar master misalnya, jika ia telah menyandang gelar doktoral. Penggunaan gelar tertinggi mengasumsikan gelar-gelar yang terendah. Demikian pula, pencantuman jabatan atau predikat tertinggi mengasumsikan predikat-predikat di bawahnya.
‎Jusuf Kalla diundang mendampingi Jokowi sebagai Wakil Presiden RI. Kehadiran JK dengan predikat semacam ini bersama dengan Jokowi "mengharuskan" Jokowi diundang sebagai Presiden RI.
PDIP sudah seyogyanya peka untuk menyadari fenomena opini publik berkait hubungan Jokowi dan Megawati atau PDIP sejak Pilpres beberapa waktu lalu. Propaganda "hitam" yang tidak bisa disepelekan pembentukan opini publiknya adalah bahwa Megawati memandang "sebelah mata" terhadap Jokowi. Dalam kondisi seperti ini, mengundang Jokowi bukan sebagai presiden sepertinya memberi kesan penguat terhadap opini publik tersebut. Tidak heran, begitu kongres tersebut berakhir, isu ini kembali menguat di kalangan publik.
Kedua, penggunaan istilah "petugas partai" dalam intonasi yang "garang" oleh Megawati ketika Jokowi hadir di dalam Kongres itu bukan sebagai presiden melainkan sebagai kader utama PDIP. Megawati tampaknya gagal memperhitungkan efek pilihan istilah yang pada era Pilpres kemarin digunakan sebagai isu yang melemahkan karakter Jokowi di hadapan publik. Jokowi digambarkan sebagai "boneka partai" ketika waktu itu Megawati menggunakan istilah yang sama bagi Jokowi.

Saya sendiri percaya bahwa ada nuansa positif dalam istilah "petugas partai". Tetapi kepekaan politik mesti mengemuka di sini. Mengapa menggunakan sebuah istilah yang sangat mudah menyulut api kontroversi yang sejujurnya kontraproduktif terhadap reputasi Megawati, Jokowi dan PDIP di hadapan publik?

Lagi pula, Megawati seharusnya sadar bahwa kisruh berkepanjangan berkait pencalonan Budi Gunawan yang belum lama berselang, masih menyisakan tanda tanya besar di benak publik berkait hubungan Megawati - Budi Gunawan. Dalam suasana seperti ini, istilah "petugas partai" memang sangat mudah memicu (atau: dimanfaatkan untuk memicu) kontroversi.

Poin saya adalah PDIP gagal memperhitungkan bagaimana para lawan politiknya memanfaatkan isu-isu spesifik di atas untuk semakin kuat menanamkan propaganda "hitam" di benak publik. Ini bukan soal PDIP tidak dapat memberikan argumen klarifikatif. Ini soal kecerdasan politik untuk menghindari kontroversi yang kontraproduktif.

Ada beberapa pertimbangan mengapa ketidakpekaan di atas kontraproduktif. Pertama, ketidakpekaan di atas secara tidak langsung memberi "alasan" bagi para lawan politik Jokowi untuk ‎semakin memperlemah karakter Jokowi di hadapan publik. Publik akan semakin dibombardir dengan kesan bahwa Jokowi adalah pemimpin yang punya otoritas kecuali kalau di hadapan Megawati. Tentu Megawati maupun PDIP tidak menginginkan hal semacam ini. Tetapi inilah yang sedang terjadi pasca Kongres tersebut.

Kedua, ketidakpekaan di atas juga kontraproduktif bagi ‎karakter PDIP di hadapan publik. Tanpa mengurangi peran Megawati dan PDIP, mereka seharusnya sungguh menyadari bahwa kemenangan Jokowi (terutama) bukan karena PDIP melainkan karena sosok Jokowi sendiri. Rakyat memilih Jokowi bukan karena partainya adalah PDIP melainkan karena rekam jejak dan kualifikasi personal Jokowi. Rakyat mencintai Jokowi, bukan partainya.

Ketiga, nama besar Bung Karno yang membayangi kiprah Megawati secara tidak langsung akan ikut terseret. Dengan adanya situasi opini publik di atas, rakyat akan sangat mudah untuk diprovokasi semakin gerah dengan Megawati dan dengan begitu mereka akan melihat bahwa Megawati lebih kuat menjual bayang-bayang nama besar Bung Karno ketimbang kualifikasi personalnya sendiri sebagai seorang politikus.

Dan keempat, publik akan semakin mudah diprovokasi untuk meragukan kelegowoan Megawati dalam mengusung Jokowi sebagai capres bahkan telah mendudukkannya di atas singgasana Kepresidenan.

Sayangnya adalah api kontroversi itu telah tersulut. Dan dengan tangannya sendiri Megawati membawa obor untuk menyulut tumpukan kayu yang telah tersiram bensin sekian lama. Megawati dan PDIP tentu tidak berdiam melihat kobaran kontroversi ini. Tetapi bagi saya, adalah ketidakpekaan yang lain untuk mencoba memadamkannya dengan pembelaan-pembelaan. Gigihnya pembelaan-pembelaan dalam konteks seperti ini akan dipandang tidak lebih dari pembenaran-pembenaran.

Harus ada cara yang lain. Mungkin bisa dimulai dengan menjawab pertanyaan ini. Kapan terakhir kali Jokowi diperlakukan sebagai presiden oleh Megawati? Saya sendiri tidak ingat kapan itu terjadi. Megawati dan atau PDIP mungkin memiliki jawabannya. Semoga!

Saturday, April 11, 2015

Tjokro

Setelah lepas dari era tanam paksa di akhir tahun 1800,  Hindia Belanda (Indonesia) memasuki babak baru yang
berpengaruh ke kehidupan masyarakatnya. Yaitu dengan
gerakan Politik Etis yang dilakukan oleh pemerintah
Belanda. Tetapi kemiskinan masih banyak terjadi. Rakyat
masih banyak yang belum mengenyam pendidikan dan
kesenjangan sosial antar etnis dan kasta masih terlihat
jelas.

Oemar Said Tjokroaminoto (Tjokro) yang lahir dari kaum
bangsawan Jawa dengan latar belakang keislaman yang
kuat, tidak diam saja melihat kondisi tersebut. Walaupun
lingkungannya adalah keluarga ningrat yang mempunyai
hidup yang nyaman dibandingkan dengan rakyat kebanyakan
saat itu. Ia berani meninggalkan status kebangsawanannya
dan bekerja sebagai kuli pelabuhan. Dan merasakan
penderitaan sebagai rakyat jelata.

Tjokro berjuang dengan membangun organisasi Sarekat
Islam, organisasi resmi bumiputera pertama yang
terbesar, sehingga bisa mencapai 2 juta anggota. Ia
berjuang untuk menyamakan hak dan martabat masyarakat
bumiputera di awal 1900 yang terjajah. Perjuangan ini
berbenih menjadi awal-awal lahirnya tokoh dan gerakan
kebangsaan.

Tjokro yang intelektual, pandai bersiasat, mempunyai
banyak keahlian, termasuk jago silat, ahli mesin dan
hukum, penulis surat kabar yang kritis, orator ulung
yang mampu menyihir ribuan orang dari mimbar pidato,
membuat pemerintah Hindia Belanda khawatir, dan membuat
mereka bertindak untuk menghambat laju gerak Sarekat
Islam yang pesat. Perjuangan Tjokro lewat organisasi
Sarekat Islam untuk memberikan penyadaran masyarakat,
dan mengangkat harkat dan martabat secara bersamaan,
juga terancam oleh perpecahan dari dalam organisasi itu
sendiri.

Rumah Tjokro di Gang Peneleh, Surabaya, terkenal sebagai
tempat bertemunya tokoh-tokoh bangsa Indonesia kelak. Di
rumah sederhana yang berfungsi sebagai rumah kos yang di
bina oleh istrinya, Suharsikin, Tjokro juga mempunyai
banyak murid-murid muda yang pada akhirnya menetas, dan
mempunyai jalan perjuangannya masing-masing, meneruskan
cita-cita Tjokro yang mulia untuk mempunyai bangsa yang
bermartabat, terdidik, dan sejahtera. Salah satu
muridnya di Peneleh adalah Bapak Proklamator Indonesia,
Soekarno.

"Rakyat Indonesia' yang mana ya ?!

Sepucuk Surat Usang nan Lusuh untuk Rakyat Endonesah

7 hari, 40 hari, 100 hari..... 1000 hari saja......

Kepada Kepala Negara yang Tidak Membaca Apa yang Ia Tandatangani

Novia Riza
11 Apr 2015 | 20:12

Sumber: Joko Widoddo

Sebelumnya saya ingin menjelaskan foto di atas. Foto tersebut saya ambil sendiri dengan kamera HP saya sewaktu tanpa sengaja bertemu Bapak di tengah acara blusukan di Pasar Tanah Abang tahun 2013 lalu. Tentunya pada waktu itu Bapak masih menjabat Gubernur Jakarta. Dan kalau boleh saya tambahkan, Bapak sedang ngetop-ngetopnya waktu itu.

Pak Presiden, sudah agak lama juga tangan saya gatal untuk menulis artikel ini di Kompasiana. Tapi karena beberapa hal, baru terlaksana sekarang. Di samping itu saya memikirkan dampaknya... benarkah akan sampai ke telinga Bapak? Apakah tulisan saya ini setidak-tidaknya menggugah hati Bapak? Saya pernah membaca berita di Kompas.com kalau Bapak lumayan sering membuka laman Kompas.com, sampai-sampai Bapak hapal akun-akun haters Bapak yang sering memberi komentar miring. Jadi, apakah tulisan saya ini punya peluang untuk setidaknya dilirik oleh Bapak mengingat kesibukan Bapak yang menggunung, sampai untuk membaca setiap dokumen negara yang perlu ditandatangani pun Bapak sudah kepayahan?

Tapi ya sudahlah. Mungkin seorang kerabat, kawan atau bawahan Bapak sempat membaca tulisan ini, lantas membisiki intisarinya ke telinga Bapak. Tapi meskipun itu juga tidak, saya tetap ingin menulis untuk mengekspresikan perasaan saya tentang kepemimpinan Bapak, yang mungkin juga merupakan perasaan banyak orang di negeri ini.

Pak Presiden, sebelumnya saya ingin lebih dulu menulis tentang bagaimana ikhwal saya mengenal Bapak yang pernah juga saya tulis di blog pribadi saya. Waktu itu sekitar bulan Desember 2011 saya membaca sekilas profil Bapak yang ditulis di kolom Ultimate U Harian Kompas. Rene Suhardono yang menjadi pengasuh kolom itu bisa dibilang membanggakan Bapak yang menurut dia berhasil menjadikan Solo sebagai kota yang nyaman karena tidak tumpang tindih dengan bangunan komersil. Saya yang dulunya pernah bercita-cita menjadi arsitek karena tertarik dengan tata kota, kontan terinspirasi dan merasa memiliki harapan. Tadinya saya sempat berpikir Indonesia, khususnya Jakarta, sudah tidak punya peluang lagi memperbaiki tata kotanya karena terlanjur semrawut. Dan membaca tulisan tersebut menumbuhkan harapan bahwa ya, masih bisa. Dengan kemauan seorang kepala daerah serta dukungan segenap warga, kota yang nyaman dan berestetika bisa terwujud.

Lalu, tak lama setelah itu Bapak tiba di Jakarta dan segera merebut perhatian dengan segala karakter yang Bapak tampilkan.

Kata orang, jangan menilai seseorang dari perkataannya melainkan perbuatannya. Jadi meskipun harus saya akui saya cukup terkesan dengan segala citra yang Bapak bangun di media, tapi yang benar-benar menggugah hati saya adalah sepotong video tentang Bapak yang diunggah ke Youtube. Dalam video itu Bapak yang masih Gubernur Jakarta secara spontan memindahkan gong yang akan dipukul SBY, Presiden RI saat itu. Terlihat sekali mental "pelayan" di diri Bapak—sesuatu yang selalu Bapak katakan bahwa pejabat adalah pelayan masyarakat.

Lalu, di tengah membumbungnya popularitas Bapak yang tidak hanya di wilayah Ibukota namun sampai ke seluruh Nusantara, partai Bapak mengusung Anda sebagai calon presiden. Dengan segala konflik, rumor sampai fitnah yang menyertai, bagi banyak orang di negeri ini, Pilpres 2014 mungkin adalah pemilu paling ramai. Kotor tapi seru, bukan kah begitu? Rasanya perhatian semua orang negeri ini tersedot pada "perhelatan" nasional tiap 5 tahun sekali ini. Jokowi atau Prabowo. Prabowo atau Jokowi. Nomor satu atau salam dua jari?

Dukungan dari kedua kubu bermunculan di mana-mana. Dari yang dikoordinir partai pengusung sampai yang dikerjakan sukarela. Meski absurd, satu-dua kali kita membaca sebuah cerita di lini massa tentang dua sahabat bertengkar cuma gara-gara beda pilihan capres.

Dan Pak Presiden, menurut pandangan saya sendiri, dukungan kepada Bapak lebih menonjol dan kreatif ketimbang dukungan untuk Pak Prabowo. Di mana-mana bermunculan ikatan-ikatan dan gerakan-gerakan sukarelawan untuk mendukung Bapak menjadi orang nomor satu di negeri ini. Mereka bergerak sendiri-sendiri, tanpa dikomando, dan tentu saja tanpa dibayar. Dalam channel Youtube bisa kita lihat video-video dukungan untuk Bapak dalam berbagai rupa; lagu parodi, lagu khusus untuk Bapak sampai video para artis yang mengemukakan alasan mereka mengapa memilih Bapak.

Dari saya sendiri menilai bahwa tiap-tiap dari mereka tersentuh hatinya oleh sosok Bapak. Bukankah hanya gerak hati yang sudah tergugah, yang mampu membuat kita memperjuangkan sesuatu tanpa pamrih? Alih-alih dibayar, banyak dari mereka yang justru ingin ikut membayari acara kampanye Bapak. Banyak sekali bukan, uang yang masuk ke rekening Tim Sukses Bapak waktu itu?

Lalu jangan lupakan Konser Salam 2 Jari yang diusung band Slank. Betapa ramainya. Betapa antusiasnya. Saya yang menyaksikannya hanya dari TV saja sudah merinding melihat banyaknya yang datang. Kemudian, dengan berlari-lari Bapak naik ke atas panggung. Menggelorakan segenap pendukung yang rela datang meski saat itu masih bulan puasa.

Tentu Bapak bisa mengira apa yang dilihat mereka semua dari sosok Bapak. Harapan. Ya, harapan. Meski lelah dengan beban hidup sehari-hari, meski letih melihat kebobrokan birokrasi negeri ini, meski muak melihat negeri ini tetap tak sejahtera setelah lebih dari setengah abad merdeka, kami semua, rakyat Indonesia, tetap menyimpan harapan akan makmurnya hidup di negeri sendiri. Dan separuh lebih rakyat Indonesia—mengacu dari hasil Pilpres—menggantungkan harapannya di pundak Bapak. Mungkin berlebihan mengharapkan Satria Piningnit benar-benar menjelma, tapi setidaknya di diri Bapak, kami melihat sosok yang berani menerobos dan berani berbuat benar. Indonesia sudah demikian melenceng dari jalan yang benar hingga membutuhkan sosok yang berani meluruskannya kembali. Bukankah itu yang sudah Bapak lakukan di Solo sana?

Sebetulnya, di tengah kasus Tranjakarta berkarat yang masih hangat saat itu, mempercayakan negeri ini ke tangan Bapak, bagi saya adalah sesuatu yang cukup dilematis. Bagaimana Bapak coba berkelit dari tuduhan membuat saya cukup ragu. Tapi, melihat rival Bapak di Pilpres, saya lebih-lebih tidak percaya. Seperi yang  pernah saya tulis di blog saya, memilih Bapak agaknya seperti memilih "yang agak mendingan". Tapi biar bagaimana pun, saya, seperti para pemilih Bapak yang lain, tetap menyimpan harapan besar untuk Indonesia.

Pak Presiden, mohon dipahami, dalam sejarah Bangsa Indonesia, mungkin baru Bapak saja presiden yang tetap memiliki basis pendukung yang kuat setelah keluarnya kebijakan pemerintah yang menciutkan hati. Kalau tidak begitu mana mungkin kondisi negara masih terbilang cukup kondusif sewaktu Bapak menaikan harga BBM di awal-awal pemerintahan Bapak. Demikian juga halnya sewaktu masyarakat melihat siapa-siapa saja yang akhirnya menduduki kursi di kabinet Bapak. Teringat janji "tidak bagi-bagi kue", sebetulnya agak miris melihat kenyataan yang ada: orang-orang dari partai pendukung cukup banyak yang menduduki posisi menteri. Kata seorang pengamat, Bapak Presiden biar bagaimana tetap tidak bisa mengelak dari tradisi politik. Lagi-lagi bisa dibilang tidak ada gejolak yang cukup berarti di tengah masyarakat. Lagipula setelah itu ada berita tentang Menteri Susi yang dengan gagah berani memusnahkan kapal pencuri ikan dari negeri lain. Sebuah berita yang menerbitkan rasa cinta Tanah Air, menurut saya.

Tapi, Pak Presiden, makin ke sini agaknya kebijakan Bapak makin tak berkenan di hati masyarakat—atau setidaknya di hati saya sendiri. Penunjukan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri tunggal, kisruh KPK-Polri, efek Hakim Sarpin, nilai dolar yang melesat sampai soal BBM yang akhirnya diputuskan mengikuti harga pasar. Juga jangan lupakan yang masih hangat, Perpres tentang kenaikan tunjangan uang muka mobil pejabat. Tidak bisa tidak, kebijakan-kebijakan Bapak itu menimbulkan keraguan akan kapasitas Bapak untuk mengidentifikasi masalah negeri ini. Lebih jauh, kepada siapa sebenarnya Bapak berpihak; rakyat atau partai? Dan, kenapa rumor di masa Pilpres yang pernah menghantam Bapak bahwa Bapak adalah bonekanya Megawati, seolah terbukti?

Pak Presiden, mengapa jadi begini? Ada yang bilang bahwa era SBY adalah era auto pilot karena seakan-akan negeri ini berjalan tanpa ada pemimpin. Sementara era Bapak adalah era remote control. Pucuk pimpinan partai Bapak yang selalu mengatakan bahwa tiap-tiap kadernya adalah petugas partai itulah yang memegang remote-nya. Pak Presiden, terus terang saja, opini tersebut tampaknya mendekati kebenaran, tidak peduli sekeras apa Bapak membantahnya.

Pak Presiden, apakah sajak putri Gusdur di acara Mata Najwa beberapa waktu lalu benar adanya? Bahwa Bapak butuh seseorang yang bisa diajak bicara? Jika benar begitu bicaralah pada kami, rakyatmu. Jika Bapak butuh dukungan, datanglah pada kami, rakyatmu. Melihat perjalanan politik Bapak, bisa dilihat bahwa masyarakat Indonesia cukup mudah bersimpati oleh tindakan pejabat yang berani mendobrak cara lama yang berbau KKN. Maka, Pak Presiden, dengan niat baik, lakukanlah lagi. Jangan takut partai atau Ketumnya. Bapak mesti camkan, yang menghantarkan Bapak ke tampuk kekuasaan tertinggi negeri ini adalah rakyat, bukan partai berwarna merah atau biru.

Pak Presiden, tolong jangan melemah. Meskipun dulu berkali-kali Bapak bilang "ndak mikir" urusan Pilpres, namun karena Bapak sudah terjun tentunya Bapak sudah harus mengerti tantangan membangun negeri ini. Bapak tentunya sudah paham siapa atau apa yang akan menyikut Bapak. Lebih dari itu, Bapak mestinya sudah memperhitungkan cara menghadapinya. Kuatlah, tegarlah.

Pak Presiden, kembalilah ke jati diri Bapak yang senang mengecek ke lapangan, bukan ke sosok yang duduk di belakang meja menerima laporan. Seperti yang pernah saya baca di media online kalau Bapak menemui para relawan dan mengatakan pada mereka bahwa kondisi politik Indonesia tidak seseram kelihatannya. Yang benar saja, Pak, kata siapa itu? Staf Andakah yang melapor begitu?

Pak Presiden, sedikit usulan dari saya yang masih gagap bicara politik ini, bicaralah dengan pakar hukum dan tata negara yang mumpuni dan berintegritas. Mulailah dari pembenahan hukum. Tolong jangan lagi ada perkataan, "Masa saya intervensi hukum?" seperti yang terlontar dari mulut Bapak sewaktu kisruh KPK-Polri. Sesungguhnya, Pak Presiden, tidak ada yang meminta Bapak mengintervensi hukum. Rakyat hanya minta Bapak bertanggungjawab atas kegaduhan yang harus Bapak akui bersumber dari keputusan Anda sendiri.

Pak Presiden, ada selentingan kabar bahwa jika keadaan Indonesia begini terus: dolar meroket tajam, harga-harga bahan pokok naik gila-gilaan, institusi semakin ngawur, sementara Bapak terus menerapkan kebijakan yang lebih pro partai—maka akan ada demo besar-besaran meminta Bapak mundur. Berita yang amat bombastis. Tapi melihat keadaan masyarakat bak api dalam sekam, kabar itu bisa saja menjadi kenyataan. Dan, maaf, meskipun selama ini skeptis terhadap demo-demo sekarang ini yang banyak ditunggangi kepentingan segelintir kelompok—agaknya saya tertarik untuk ikut turun. Saya membayangkan akan mengacungkan spanduk "Megawati, Anda Mengerikan".

Pak Presiden, tentu saja, karena belum benar-benar terjadi, semua berita itu baru hanya angan-angan saja. Dan pastinya saya pribadi tidak menginginkan ada kekacauan besar di negeri ini. Seperti yang mungkin selalu menjadi patokan setiap petinggi negeri ini dalam mengambil keputusan, stabilitas nasional adalah segalanya. Segala bentuk kekacauan yang akan mengancam kestabilan negeri ini sedapat mungkin diredam sejak awal.

Pak Presiden, Anda mempunyai staf kepresidenan serta penasehat yang lebih dari cukup untuk memberi masukan terbaik bagi pembangunan bangsa ini. Saran dari saya mustahil lebih canggih ketimbang mereka yang pintar-pintar itu. Harapan saya cuma satu: bahwa tulisan di spanduk yang sekiranya akan saya bawa di demonstrasi kelak terbukti tidak benar hingga saya sama sekali tidak perlu menjunjungnya di tengah ribuan masyarakat yang marah.

saturday is sad day.....

Thursday, April 9, 2015

blue grey material design dialer for Galaxy Note 4

TELKOMSEL Google Play Direct Carrier Billing Terms of Service

Google Play Direct Carrier Billing Terms of Service

1. You must be using Telkomsel carrier's network (2G/3G), not wireless for the initial authentication. However, the download can be done over WiFi.

2. You must purchase from Google Play on your device, not on the web.

3. Your device must be provisioned for use with direct carrier billing

4. App purchase and/or in-app purchase is made in Indonesian Rupiah currency (IDR)

5. You are allowed to purchase UP to a maximum of IDR 2,000,000 worth of Google Play items per month.

6. There will be additional data charges when accessing Google Play Store and downloading application from Google Play Store. In addition, your Internet quota will be decreased due to downloading the application from Google Play, unless you use WiFi for downloading the application.

7. There will be additional charge 10% for Tax and 2% for Service charge, for any application that you purchase.

8. Telkomsel assumes that the usage of Google Play account, username and password, for purchasing application is used by customer.

9. Telkomsel could not guarantee that Google Play Store will be accessible or will not be interrupted, always on time, safe, exempt from error, and robust.

10. Any queries related to Direct Carrier Billing please contact 0807-1-811-811, or 155 / 188 (simPATI, Kartu AS, LOOP) and 133 (Kartu HALO)

Google Play Direct Carrier Billing Syarat dan Ketentuan

1. Kamu harus menggunakan jaringan Telkomsel saat proses pembelian. Download aplikasi bisa dilakukan melalui WiFi.

2. Kamu harus membeli aplikasi melalui Google Play yang terdapat dalam smartphone atau tablet kamu, bukan melalui website.

3. Smartphone atau Tablet kamu harus menggunakan jaringan Telkomsel.

4. Pembelian aplikasi dan/atau in-app dalam mata uang Rupiah.

5. Pembelian aplikasi atau buku elektronik melalui Google Play, untuk setiap bulannya maksimum mencapai Rp 2,000,000.

6. Kamu akan terkena biaya penggunaan data ketika akses ke Google Play dan download aplikasi yang dibeli melalui Google Play Store. Selain itu, apabila kamu menggunakan paket Internet yang menggunakan kuota, maka kuota kamu akan berkurang ketika mendownload aplikasi dari Google Play Store, kecuali kamu mendownload aplikasi melalui WiFi.

7. Untuk setiap pembelian aplikasi akan terkena beban pajak (PPN) sebesar 10% dan biaya jasa sebesar 2%.

8. Telkomsel mengasumsikan penggunaan akun Google Play Store, username dan password, untuk pembelian aplikasi adalah dilakukan oleh kamu.

9. Telkomsel tidak menjamin bahwa Google Play Store selalu bisa diakses atau akan selalu tepat waktu, aman, bebas kesalahan, dan dapat diandalkan.

10. Pertanyaan terkait Direct Carrier Billing silahkan hubungi 0807-1-811-811

Meninjau Karir Jokowi Selama Enam Bulan

Ada beberapa artikel menarik yang menceritakan perihal dinamika karir Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia dan juga masih ada nekat melihat Jokowi bak seorang superhero yang jika ada yang menyentilnya langsung di cap sebagai sampah.

Masa-masa berkabut saat kampanye pilpres sudah usai. Tidak ada lagi yang dinamakan capres A dan capres B. Fakta membuktikan baik secara legal yuridis maupun sosial Jokowi adalah presiden negara ini. Suka atau tidak suka. Tidak penting lagi membahas Prabowo sebagai pesaing karena toh pada sebuah momen malahan Jokowi melakukan tindakan politik praktis untuk 'mengundangnya' masuk dalam pusaran pragmatika politik di saat gaduhnya pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Terpilihnya Jokowi menurut Effendi Gozali tidak pelak menyebutkan campur tangan media yang intens atah bahkan secara agresif memasarkan pria kelahiran Solo bak seorang ksatria Piningit yang membangun Indonesia menuju level gemah ripah loh jinawi. Mass media tidak boleh berkelit atas fakta ini. Effendi bahkan berani menyebutkan bahwa Jokowi adalah seorang selebritas. Yah, selebritas politik. Selebriti memang lebih kuat gaung pencitraan yang kamuflase, imitatif dan cenderung jauh dari logika umum.

Pada masa kampanye salah satu fitur canggih yang kerap dibawa oleh Jokowi adalah program Nawacita. Program yang kelak menurutnya akan menjadikan Indonesia mampu meraih harapan-harapan yang terpendam di lubuk sanubari rakyat Indonesia. Penulis masih gagap untuk menyajikan antara program dengan realitas-nya dan berharap ada dari kompasianer mau meluangkan waktunya untuk menyajikan artikel terkait hal ini.

Menurut sebagian rakyat, Indonesia membutuhkan presiden baik hati dan tidak sombong. Namun bagi sebagian yang lain, baik hati saja tidak cukup namun harus memiliki integritas (tidak suka bohong dan asal mangap). Disamping itu harus memiliki kemampuan mengelola konflik. Silang sengketa antara Menhumkam dengan hasil munas Bali pada kongres yang diselenggarakan oleh Golkar atau bahkan yang terakhir dengan membatalkan perpres terkait DP untuk kendaraan dinas pejabat menunjukkan kelas Jokowi saat mengendalikan konflik.

Penulis pribadi sampai pada level untuk bungkam terkait pernyataan Menteri ESDM dan Menko Ekuin yang dengan gagah dan lugas mengatakan harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar terkait harga minyak mentah dunia dan mulai untuk meng-edukasi rakyat terkait potensi naik turunnya harga BBM di kemudian hari. Tidak perlu mendiskusikan lagi terkait orientasi para pembantu Jokowi mengenai filosofi ekonomi mereka.

Jokowi tengah melangkah di karpet merah Nusantara. Pilihan sikap yang ksatria adalah membiarkannya hingga sampai di ujung karpet tersebut. Membiarkannya berjalan sesuai dengan langgamnya.

Memutuskan koneksi antara rakyat dengan pemimpinnya adalah pilihan yang paling masuk akal. Hidup lebih hemat karena semua piranti sosial tengah menaikkan harganya. Elpiji naik, tarif dasar listrik rumah tangga akan naik, sembako apalagi. Semua tengah menekan kepala rakyat. Harapan yang pernah ditasbihkan entah mengapung dimana. Menyerahkan ke Jokowi seperti salah mengirimkan alamat surat. Ya sudahlah.

Enam bulan berlalu.

Hiruk pikuk Ibukota antara Ahok dan DPRD masih saja nyaring. Senayan pecah kendali. Mereka sibuk mengurusi internal interestnya. Jaksa Agung pun saat ini tidak lagi dapat tugas untuk memecah konsentrasi rakyat dengan dramaturgi eksekusi mati karena dua orang penjahat ternyata warga Australia yang mengancam akan mengekspos hasil rekapitulasi suara pilpres lalu.

Enam bulan baru menghasilkan hiruk pikuk dan peningnya rakyat di dera kenaikan beberapa harga kebutuhan.

Penulis hanya sekedar recall betapa para pendukung Jokowi dulu sangat membenci teori konspirasi namun belakangan ini malahan rajin membuat skema dan tebak-tebakan terkait adanya upaya-upaya sistemik dari ring satu Jokowi yang akan menjungkalkannya sebagai Presiden. Entah itu melalui JK atau Puan Maharani. Dan bahhkan mulai berani menuding KIH dan bahkan PDI Perjuanganlah yang paling bertanggung jawab terhadap kinerja memble dari presiden ke tujuh ini.

Ahai, itu lah potret politik Indonesia berikut dengan potret sosial politiknya.

Ternyata, jika hanya membutuhkan orang baik, seharusnya bukan Jokowi yang jadi presiden tapi mungkin yang paling pantas adalah seorang ibu yang mau menyerahkan ginjalnya untuk kesembuhan anaknya. Dengan harapan bahwa sisa ginjal yang ada bisa membuat Indonesia menjadi semakin baik dan tidak terpuruk seperti saat ini.

Salam Anti Orang Jahat!

Fast and Furious 7: Gabungan Petualangan, Dendam, dan Misi Rahasia

Bagi penggemar film-film laga, romantika urban, petualangan dan drama, Fast and Furious (Furious 7) adalah film yang wajib ditonton. Kelihaian Chris Morgan dalam menulis skenario yang mengandung keempat unsur tersebut membuat jalinan cerita menjadi mudah dicerna oleh para penggemar karakter Dominic Toretto (Vin Diesel) dan kawan-kawan. Sebagai penulis skenario berpengalaman yang turut membidani beberapa seri Fast and Furious sebelumnya, Chris Morgan kali ini menawarkan kisah petualangan pembalap jalanan yang terlibat dalam suatu misi rahasia untuk menyelamatkan seorang ahli komputer bernama Ramsey (Nathali Emmanuel). Ahli komputer ini berhasil menciptakan program canggih yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan intelijen. Misi penyelamatan ini menjadi sangat beresiko karena Toretto dan kawan-kawannya juga diburu oleh sosok mantan anggota pasukan komando Inggris yang jago berkelahi. Kisah ini diolah untuk menjadi suatu film yang sangat menarik oleh Sutradara James Wan dengan visualisasi dukungan duet sinematografer kawakan Stephen F Windon dan Marc Spicer.

Penggemar film Fast Furious yang telah menonton seri sebelumnya tentu sudah dapat menebak siapa musuh besar Toretto, Brian O’Conner (Paul Walker), Roman Pearce (Tyrese Gibson), Tej Parker (Chris Bridges), Letty Ortiz (Michelle Rodriguez) dan Luke Hobbs (Dwayne “The Rock” Johnson) dalam film ini. Pada akhir film Fast and Furious 6 ditampilkan mobil Han (Sung Kang) yang hancur lebur ditabrak oleh sosok yang diperankan oleh Jason Statham di jalanan Tokyo.

Fast and Furious 7 dibuka dengan aksi kalap Deckard Shaw (Jason Statham) yang mengobrak-abrik sebuah rumah sakit di London hanya untuk mengunjungi adiknya, Owen Shaw (Luke Evans). Owen Shaw terbujur lemah karena luka parah akibat pertarungan maut sebagaimana dikisahkan dalam seri sebelumnya. Deckard sangat marah melihat kondisi adiknya dan bertekad untuk memburu orang-orang yang mencelakakan dia.

Dengan rasa penuh percaya diri, Deckard akhirnya mendatangi kantor Diplomatic Security Service (DSS) di Los Angeles untuk mencuri data tentang siapa saja yang turut mencelakakan adiknya. Deckard mengetahui bahwa data tersebut tersimpan dalam komputer Hobbs. Penyusupan Deckard dipergoki oleh Hobbs dan pertarungan seru pun terjadi. Kantor Hobbs porak-poranda dan dia mengalami luka-luka karena terjatuh dari gedung.

Dengan data yang ada di tangannya, Deckard melanjutkan misi dendamnya. Satu sobat karib Toretto, Han, dibunuh di Tokyo. Pembunuhan tersebut hampir bersamaan waktunya dengan meledaknya bom paket di rumah Toretto yang hampir mencelakakan dirinya beserta Brian dan Mia Toretto (Jordana Brewster). Bom meledak sesaat setelah Dominic Toretto menerima telepon dari Deckard. Rumah keluarga Toretto hancur lebur akibat bom itu.

Dominic Toretto merasakan bahwa Dendam kesumat Deckard adalah ancaman nyata bagi dia dan keluarga serta sobat-sobat karibnya. Brian terpaksa mengungsikan Mia dan anaknya untuk menghindari Deckard. Toretto juga memperingatkan sobat-sobat karibnya agar waspada terhadap kekalapan Deckard ini.

Pertemuan pertama antara Deckard dan Toretto terjadi setelah pemakaman Han. Aksi kejar-kejaran dengan menggunakan mobil antara Toretto dan Deckard pun terjadi hingga mobil mereka beradu dalam aksi saling tabrak. Untungnya Toretto yang hampir ditembak oleh Deckard tertolong oleh kedatangan pasukan khusus pimpinan Frank Petty (Kurt Russel). Akibatnya Deckard menjadi terpojok dan terpaksa harus melarikan diri.

Kemunculan Petty yang mengepalai satu satuan tugas operasi khusus ternyata didasari oleh satu kepentingan. Petty butuh bantuan Toretto dan kawan-kawan untuk mencari program komputer God’s Eye sekaligus menyelamatkan penemunya yang bernama Ramsey. Ahli komputer ini diculik oleh sekelompok tentara bayaran pimpinan Jakande (Djimon Honsou). Berdasarkan informasi intelijen yang diperoleh Petty, Ramsey akan dibawa Jakande melewati pegunungan Kaukasus. Sebuah operasi pencegatan ala operasi pasukan Para-Komando dirancang oleh Petty, Toretto dan kawan-kawan. Dengan mengendarai mobil masing-masing, Toretto, Brian, Letty, Roman dan Tej diterjunkan dari pesawat angkut militer. Aksi-aksi petualangan dan pertarungan yang semakin seru pun dimulai dari pelaksanan misi rahasia dengan dukungan pemerintah AS melalui otorisasi aparat operasi khusus bernama Frank Petty ini.