Saturday, July 14, 2012

CERPAN (cerita panjaaaaaaaang)


created by Dr. Haroe Soemaedie, MSF
durasi : 6 menit.
lebar : 1543 kata.


Bu Lili Guru Kimiaku, I Love You
Cinta itu kadang melampaui batas aturan suku, agama, ras, golongan, tempat dan usia. Tiada yang kuasa membendung gelora dan gemuruhnya, kecuali Dia Yang Maha Kuasa atas segala dimana langit dan bumi dalam genggaman-Nya.
(1)
Musim salju pun turun menutupi jalan-jalan, atap-atap, mobil-mobil dan areal di sekitarnya di tahun keempat Fauzi tinggal di kota ini. Dan empat tahun pula Fauzi tinggal satu kost dengan Joko dan Wahid.
Joko ambil jurusan Biologi - asli kelahiran Semarang, sedang Wahid mengambil program studi Matematika Murni - teman SMAnya dulu.
Dari Wahid-lah Fauzi mendapat segala informasi tentang berita terakhir sekolah mereka. Boleh dibilang, Wahid ini Google berjalan.
Sejauh mata memandang, sepanjang tangan membentang, hamparan rumput di lapangan upacara kini hanya putih semata tertutup lapisan-lapisan putih, putih dan putih. Sungguh musim salju yang unik. Mobil-mobil yang berjajar di tempat parkir pun terkena serpihan-serpihan putih itu, dan setiap kali pula sang sopir yang menunggu majikannya membersihkan lapisan-lapisan putih yang menutupi mobilnya.
Di Indonesia ada musim salju?
Ah tidak, tentu saja tidak kan? Ini hanya istilah yang sering dipakai oleh anak-anak muda dan warga kota ini tatkala musim panas menjelang dan dengan serta merta pula buah-buah dari pohon randu pecah bijinya, merekah menganga selebar-lebarnya. Saat pecah itulah keluar serabut-serabut halus berwarna putih lalu terbang ke mana pun angin membawanya dan di manapun mereka hinggap sesudahnya. Itulah salju ala mereka. Salju made in kapok randu, Ceiba petandra.
“Heh, Zee!! Nama kamu dipanggil tuh”
Joko menepuk pundak Fauzi yang sedang melayang-layang pikirannya entah sedang berada di mana saat ini. Antrian mahasiswa yang akan mengambil toga memang lumayan banyak pagi ini, setelah itu pun harus antri lagi untuk foto pengisi ijazah.
Fauzi melangkah malas ke loket dan pikirannya masih saja sedang melanglang buana. Ke tempat yang nun jauh di sana, saat ia masih di tahun pertama SMA. Saat-saat terindah dalam hidupnya.
(2)
“Silahkan tutup buku kalian dan masukkan ke laci meja, keluarkan kertas ulangan”
Kalimat pertama itulah yang diucapkan Bu Lili saat masuk ruangan dan matanya pun menyapu seluruh isi kelas, dan selalu berhenti di barisan paling kanan bangku paling tengah, Fauzi tersenyum saat Bu Lili memandangnya. Senyum klimis berbalut selapis kumis tipis.
Mungkin inilah yang membuat bu Lili ingin berlama-lama di kelas itu, tak ingin rasanya mendengar bel berbunyi tanda pergantian pelajaran, tak ingin rasanya meninggalkan senyum klimis dari si kumis tipis.
“Hwaaa…..”, serentak warga III-A1-5 berteriak.
“Jangan buuu…. Belum siaaap”, rengek Frida yang diamini oleh para betina lainnya. Para betina yang sangat alergi dengan Kimia, Matematika dan Fisika. Tapi kok milih A1 ya?
Seperti biasa tak ada yang bisa menolak sabda pandito ratu bu Lili guru Kimia si killer fakir senyum. Semua manyun, ngedumel, misuh-misuh, mewek-mewek dan cembetut. Hanya satu orang saja di kelas itu yang tetap tersenyum, Fauzi. Senyum yang dua kali seminggu mengiris hati teman-temannya.
Bagaimana tidak, setiap ulangan, hanya Fauzi yang selalu dapat nilai sempurna, kadang ada juga sih satu dua di kelas itu yang beruntung dapat nilai hampir 10. Selebihnya, tengkurep, nyungsep, jungkir balik, dapat angka mirip bangku, cangkul, kumis atau semanggi.
Sejak kelas I, entah kenapa, Fauzi begitu gemilang di kelasnya. Selalu rangking satu, kadang dua. Dan tiap-tiap semester, di raportnya tak ada angka 7. Kimia selalu bernilai sempurna, Matematika menjadi makanan utama, Fisikalah segala-galanya.
Kenapa sih dia begitu gila Kimia? Hanya Wahid yang tahu.
(3)
“Kamu selalu beruntung. Lihat nih, set toga yang aku dapat udah lusuh gini, dan kamu dapat yang baru”
Joko mencoba menukar jatah pinjaman toga dari kampus.
“Kamu mau?”
Fauzi menyodorkan jatah pinjamannya, tapi Joko bukan type orang yang seperti itu, dia hanya mengeluh saja, tak ingin dan tak mau ia mengurangi dan merampas keberuntungan orang lain, terlebih kalau orangnya adalah Fauzi, sohib karibnya yang paling dermawan. Dan mereka berdua tersenyum dan tertawa sambil melangkah ke ruang foto di lantai dua.
“Tuh lihat, kamu dapat nomor antrian 31 untuk foto, sedang aku dapat nomor 42”, Fauzi mencoba menghibur Joko yang matanya jelalatan mencari tempat duduk yang strategis, yang banyak mahasiswi cantiknya.
“Pinjam hape kamu dong. Buat ambil gambar cewek-cewek itu”, Joko mulai keluar isengnya.
“Ngga bawa!!!”, jawab Fauzi acuh.
Fauzi duduk di belakang paling pojok dan tampaknya kini Joko sedang asyik ngobrol sama anak Fisika Murni. Sambil menunggu panggilan, Fauzi membuka buku hariannya yang masih tersimpan rapi di dalam lapisan-lapisan otaknya.
(4)
“Zee, pinjam PR Kimia dong”
Wahid langsung memburu Fauzi yang baru masuk kelas.
“Kalau belum satu nomorpun kamu kerjakan, ngga bolehlah kamu pinjam buku PR-ku”
“Tinggal 5 nomor lagi nih. Please, beib. Pleaaseee......”
Rayuan dan rengekan Wahid meluluhkan hati Fauzi. PR cuma 7 soal doang, yang dikerjakan baru 2 biji? Yo opo rek……… Begitulah..... Wahid tetap Wahid, paling nomor Wahid dah.
“Nih…..”
Fauzi berjalan ke bangkunya dan langsung melonjorkan kakinya, melepas lelah dan pegal setelah berjalan panjang. Maklum tiap hari ia harus naik KRL untuk ke sekolah pergi pulang.
“Naah, gitu dong. Masak anak cewek aja yang dipinjemin PR”
Wahid mulai membolak-balik buku PR Fauzi. Dan pandangannya terhenti saat membuka halaman paling belakang. Di cover belakang ada tulisan yang ngga jelas, kayaknya pakai bahasa Latin. Apa ya artinya?
Yang namanya Wahid itu orang yang paling ingin tahu tentang segala hal, rasa ingin tahunya kadang melampaui tingginya langit lapis ke tujuh, menyentuh jurang terdalam Samudra Atlantik. Beyond your imagination.
Saat jam istirahat, langsung aja Wahid ke lab Komputer dan mencari arti kata yang tertulis di buku Fauzi. Dan tertawanya pecah memenuhi lab saat tahu apa arti kalimat itu.
Bu Lili, hatiku selalu beku dan kelu saat melihatmu menyibak pintu dan masuk ke kelasku. Bu Lili, I love you. Tapi mungkinkah itu?..........
“Sstttt…….”
Hampir bersamaan beberapa orang menyuruh Wahid jangan berisik. Wahid pun keluar lab sambil terus tertawa kecil dan senyum-senyum tipis. Senyum ala Wahid, senyum hambar, garing dan sotoy.
Sesudahnya hanya Wahid-lah yang tahu hubungan antara Fauzi dan guru Kimianya, bu Lili.
(5)
Selesai berfoto-foto ria, Fauzi dan Joko meninggalkan gedung Rektorat lalu berjalan ke arah kantin.
“Aku belum dapat kiriman nih. Kamu yang bayarin dulu ya, Zee?”
Fauzi hanya mengangguk dan mereka pun memesan makan siang ala mahasiswa. Nasi yang banyak, sambal yang banyak, sepotong bacem, teri kacang balado dan sayur asem. Minumnya?
Mbak Sri membawa es teh manis pesanan mereka dengan baki yang bulat. Gelas pertama disodorkan ke Joko dan gelas kedua dihampirkan ke Fauzi, dan……. Tumpah setumpah-tumpahnya menutupi sekeliling lantai di dekat meja Fauzi.
“Duuh, maaf mas Fauzi. Ngga sengaja, nanti aku ganti ya”
“Ngga apa-apa mbak Sri, itu salah aku kok yang mendadak bergerak menyenggol kamu. Masukkan aja ke dalam tagihan”
Kayaknya Fauzi ngga nyenggol mbak Sri deh, pikir Joko yang hanya melihat saja saat mbak Sri membersihkan lantai yang basah oleh tumpahan es teh. Dan Joko ini rada klenik otaknya.
“Perasaan aku kok ngga enak. Kenapa ya?”
Joko merasa sesuatu akan menimpa dirinya. Atau menimpa Fauzi? Atau menimpa mereka berdua? Jangan-jangan..... jangan-jangan...... jangan tewel.
Bib bib bib. Nada sms masuk. Dari Wahid.
Jok, kamu ada di mana?
Joko langsung menjawab secepat kilat, maklum juara 1 lomba sms cepat se-kampus.
di kantin Rektorat di tepi danau, tapi mau ke gedung wisuda sebentar lagi, kita ketemu di sana aja.
Langsung dibalas oleh Wahid.
Okey, aku ke sana. Please, wait 4 me.
Selesai makan dan membayar tagihan, Joko dan Wahid berjalan menyusuri kawasan Arboretum yang maha rindang sejuk segar menuju gedung Wisuda. Gedung yang selalu mereka lihat setiap masuk ke kawasan kampus, sejak mula pertama mereka diterima di sini. Mereka hanya mengecek posisi duduk mereka saat hari H nanti. Tak kurang tak lebih. Masa’ sih? Yuk kita tengok.......
Hanya ada panitia dan beberapa petugas gedung di dalam sana. Dan di lantai atas tampak anak paduan suara kampus sedang latihan nyanyi.
Abel, salah seorang anak paduan suara melambaikan tangan ke Fauzi.
“Kaaak….. Kak Ojiii!!”
Fauzi hanya membalas dengan senyum tipis saja, padahal hatinya begitu bergelora bagai ombak di selat Madura. Salah satu tujuannya ke gedung itu tercapai sudah, lega dan penuh suka cita rasanya melihat Abel terpilih. Malahan sekarang Joko yang sibuk melambai-lambaikan tangannya ke anak paduan suara.
“Huuuuuu”, teriak mereka serempak ke arah Joko.
Tak lama Wahid datang dari pintu utara. Langsung menghampiri Fauzi.
“Zee, loe kenal kan sama Tiara yang sekarang kuliah di IKJ, mahasiswa abadi di sana, kakak kelas kita dulu. Nah dia tuh kalo hari Sabtu kan suka kasih latihan Paskibra di sekolah kita”
Fauzi hanya mengangguk.
“Nah dia itu tadi pagi kirim pesan via WhatsApp ke gue. Nih loe baca deh”, Wahid menjelaskan.
Fauzi mengambil ponsel Wahid. Tapi kayaknya Fauzi agak gaptek juga sama ponsel punya si Wahid ini, maklum ponsel pintar keluaran terbaru. Fauzi tak bisa membuka ponsel Wahid yang model layar sentuh. Dan layarnya itu loh, selebar-lebar acan, gimana kalo lagi telpon-telponan ya?
Setelah bisa, Fauzi menekan icon WhatsApp lalu masuk ke menu utama yang backgroundnya bergambar cewek seksi. Dasar Wahid. Dicarinya contact bernama Tiara dan langsung membaca isi pesan dari Tiara.
Hid, tolong kasih tahu ke Oji dong. Penting nih. Gue dapat kabar dari anak Paskibra dan udah gue kroscek ke Pembina OSIS. Bu Lili meninggal karena kecelakaan mobil.
Pandangan Fauzi seketika mulai kabur dan gelap. Gelap. Gelap. Dan gelap.
Lamat-lamat terdengar alunan lagu yang dilantunkan oleh paduan suara kampus. Abel tampak melantunkan lagu itu dengan hidmat dan penuh perasaan sambil tak pernah melepaskan pandangannya ke Fauzi, kakaknya.
.........
Gaudeamus igitur, Juvenes dum sumus.....
Gaudeamus igitur, Juvenes dum sumus.....
Post icundum iuventutem, post molestam senectutem.....
Nos habebit humus.....
Nos habebit humus.....
..........
Untuk Zee.