Wednesday, April 15, 2015

THE MESSENGER OF DEAD

7 2 0 702

presiden dan pesinden dan pere siden

Kontroversi pasca Kongres PDIP IV di Bali, bagi saya, merupakan indikasi ketidakpekaan Megawati juga PDIP dalam membaca fenomena perpolitikan di Indonesia. Saya melihat ketidakpekaan ini berdasarkan isu-isu spesifik yang diperdebatkan publik pasca Kongres tersebut.

Pertama, ‎Jokowi diundang bukan sebagai Presiden RI melainkan sebagai kader utama PDIP. Tidak heran, Jokowi tidak mendapatkan porsi untuk menyampaikan pidato dalam kongres tersebut. Tentu ada apologetika (pembelaan) yang dapat dikemukakan pihak PDIP terkait hal ini. Tanpa menafikan kekuatan apologetika mereka, seharusnya PDIP cukup bijak untuk menghindari kontroversi ini dengan mengundang Jokowi sebagai Presiden RI.

Ada tiga alasan utama untuk hal di atas, yaitu:

Jabatan "presiden" yang sekarang disandang Jokowi merupakan jabatan yang lebih "tinggi" dari predikat sebagai "kader utama" partai. Ketika seseorang menyandang jabatan rangkap dalam kondisi seperti ini, menurut etiket profesionalisme, ia harus diundang menurut jabatan atau predikat tertinggi yang disandangnya. Analogi untuk keharusan etiket seperti ini adalah penggunaan gelar akademis. Orang tidak perlu mencantumkan gelar master misalnya, jika ia telah menyandang gelar doktoral. Penggunaan gelar tertinggi mengasumsikan gelar-gelar yang terendah. Demikian pula, pencantuman jabatan atau predikat tertinggi mengasumsikan predikat-predikat di bawahnya.
‎Jusuf Kalla diundang mendampingi Jokowi sebagai Wakil Presiden RI. Kehadiran JK dengan predikat semacam ini bersama dengan Jokowi "mengharuskan" Jokowi diundang sebagai Presiden RI.
PDIP sudah seyogyanya peka untuk menyadari fenomena opini publik berkait hubungan Jokowi dan Megawati atau PDIP sejak Pilpres beberapa waktu lalu. Propaganda "hitam" yang tidak bisa disepelekan pembentukan opini publiknya adalah bahwa Megawati memandang "sebelah mata" terhadap Jokowi. Dalam kondisi seperti ini, mengundang Jokowi bukan sebagai presiden sepertinya memberi kesan penguat terhadap opini publik tersebut. Tidak heran, begitu kongres tersebut berakhir, isu ini kembali menguat di kalangan publik.
Kedua, penggunaan istilah "petugas partai" dalam intonasi yang "garang" oleh Megawati ketika Jokowi hadir di dalam Kongres itu bukan sebagai presiden melainkan sebagai kader utama PDIP. Megawati tampaknya gagal memperhitungkan efek pilihan istilah yang pada era Pilpres kemarin digunakan sebagai isu yang melemahkan karakter Jokowi di hadapan publik. Jokowi digambarkan sebagai "boneka partai" ketika waktu itu Megawati menggunakan istilah yang sama bagi Jokowi.

Saya sendiri percaya bahwa ada nuansa positif dalam istilah "petugas partai". Tetapi kepekaan politik mesti mengemuka di sini. Mengapa menggunakan sebuah istilah yang sangat mudah menyulut api kontroversi yang sejujurnya kontraproduktif terhadap reputasi Megawati, Jokowi dan PDIP di hadapan publik?

Lagi pula, Megawati seharusnya sadar bahwa kisruh berkepanjangan berkait pencalonan Budi Gunawan yang belum lama berselang, masih menyisakan tanda tanya besar di benak publik berkait hubungan Megawati - Budi Gunawan. Dalam suasana seperti ini, istilah "petugas partai" memang sangat mudah memicu (atau: dimanfaatkan untuk memicu) kontroversi.

Poin saya adalah PDIP gagal memperhitungkan bagaimana para lawan politiknya memanfaatkan isu-isu spesifik di atas untuk semakin kuat menanamkan propaganda "hitam" di benak publik. Ini bukan soal PDIP tidak dapat memberikan argumen klarifikatif. Ini soal kecerdasan politik untuk menghindari kontroversi yang kontraproduktif.

Ada beberapa pertimbangan mengapa ketidakpekaan di atas kontraproduktif. Pertama, ketidakpekaan di atas secara tidak langsung memberi "alasan" bagi para lawan politik Jokowi untuk ‎semakin memperlemah karakter Jokowi di hadapan publik. Publik akan semakin dibombardir dengan kesan bahwa Jokowi adalah pemimpin yang punya otoritas kecuali kalau di hadapan Megawati. Tentu Megawati maupun PDIP tidak menginginkan hal semacam ini. Tetapi inilah yang sedang terjadi pasca Kongres tersebut.

Kedua, ketidakpekaan di atas juga kontraproduktif bagi ‎karakter PDIP di hadapan publik. Tanpa mengurangi peran Megawati dan PDIP, mereka seharusnya sungguh menyadari bahwa kemenangan Jokowi (terutama) bukan karena PDIP melainkan karena sosok Jokowi sendiri. Rakyat memilih Jokowi bukan karena partainya adalah PDIP melainkan karena rekam jejak dan kualifikasi personal Jokowi. Rakyat mencintai Jokowi, bukan partainya.

Ketiga, nama besar Bung Karno yang membayangi kiprah Megawati secara tidak langsung akan ikut terseret. Dengan adanya situasi opini publik di atas, rakyat akan sangat mudah untuk diprovokasi semakin gerah dengan Megawati dan dengan begitu mereka akan melihat bahwa Megawati lebih kuat menjual bayang-bayang nama besar Bung Karno ketimbang kualifikasi personalnya sendiri sebagai seorang politikus.

Dan keempat, publik akan semakin mudah diprovokasi untuk meragukan kelegowoan Megawati dalam mengusung Jokowi sebagai capres bahkan telah mendudukkannya di atas singgasana Kepresidenan.

Sayangnya adalah api kontroversi itu telah tersulut. Dan dengan tangannya sendiri Megawati membawa obor untuk menyulut tumpukan kayu yang telah tersiram bensin sekian lama. Megawati dan PDIP tentu tidak berdiam melihat kobaran kontroversi ini. Tetapi bagi saya, adalah ketidakpekaan yang lain untuk mencoba memadamkannya dengan pembelaan-pembelaan. Gigihnya pembelaan-pembelaan dalam konteks seperti ini akan dipandang tidak lebih dari pembenaran-pembenaran.

Harus ada cara yang lain. Mungkin bisa dimulai dengan menjawab pertanyaan ini. Kapan terakhir kali Jokowi diperlakukan sebagai presiden oleh Megawati? Saya sendiri tidak ingat kapan itu terjadi. Megawati dan atau PDIP mungkin memiliki jawabannya. Semoga!