Saturday, June 11, 2011

Sate Gendong dan Bakso Mang Gojing Bandung

Seorang sahabat, Kang Hatta, sedang bertandang ke Bandung menjemput sang istri tercinta yang berdinas di kota itu. Saat beristirahat, ia sempatkan makan di suatu tempat favorit mereka. Sang istri memesan Bakso Mang Gojing, sedangkan Kang Hatta memesan 15 tusuk Sate Gendong.
Dengan kebaikan hatinya dia mengirimkan saya oleh-oleh walaupun hanya berupa gambarnya saja. Tapi bagi saya ini sudah lebih dari cukup. Kadang gambar itu menyiratkan ribuan makna. Terima kasih Kang, dan juga buat Teteh Ilma Nurweli atas sumbangan tulisannya.
Sate Gendong yang sedang dibakar

Bakso Mang Gojing, ... mak nyuuuush

Sate Gendong (oleh Ilma Nurweli)
HUJAN tak kunjung turun. Tanah makin kerontang dan berdebu. Keringnya hawa tak menyurutkan candanya. Yah, dia adalah seorang perempuan penjual sate gendong. Perempuan itu adalah Bu Hadi Welas (70). Acap orang memanggilnya Mbok Hadi atau Nek Hadi.
Siang adalah waktu yang tepat untuk berjualan. Untuk membunuh waktu, katanya. “Setiap siang saya hanya berteman bakul sate dan selendang”, ujarnya memperkenalkan penganan yang setia dia jajakan sejak 30 tahun silam.
Usianya sudah menaiki tangga dekade ketujuh. Sebagai perempuan, dia tak mau hanya bisa berpangku tangan. Apalagi dia tak bersuami. Di usianya yang tak muda lagi Mbok Hadi Welas masih semangat untuk bekerja. Dia isi hari-harinya untuk berkarya. Berkarya untuk dirinya dan keluarganya yang sangat dia cintai.
Mbok hadi memang sudah lama berprofesi sebagai penjual sate gendong. Setiap harinya dia selalu berada di sekitar jalan Tirtayasa atau di sekitar jalan-jalan kecil di belakang sekolah Alloysius Bandung dari jam 2 sampai jam 5 sore. Namun khusus hari Minggu dia berjualan di Lapangan Gazeboo, Bandung. Menurutnya, pada hari Minggu Gasibu memang tempat yang strategis untuk menjajakan sate gendongnya karena ramai pengunjung. “Kalo minggu di sini mah rame neng, jadi penghasilannya juga lumayan”, tuturnya ceria.
Mbok Hadi, begitulah dia disapa tak merasa malu karena hanya menjual sate gendong. Setiap harinya, ada saja pembelinya. Anak-anak sekolah, tukang becak, ibu-ibu rumah tangga, atau pemuda. Walau tak seberapa hasilnya, dia tetap riang mengisi harinya dengan berjualan sate gendong.
Realita hidup yang dialami Mbok Hadi Welas memang terbilang sangat sederhana. Di samping kesederhanaannya ternyata nenek penjual sate gendong ini mempunyai empat orang anak. Tiga orang laki-laki dan satu perempuan. Dan dengan sate gendong inilah dia berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi.
Mbok Hadi bercerita kalau Ari (35), anak pertamanya adalah lulusan Fakultas Peternakan Unpad. Dan kini telah berkeluarga dan bekerja di Dinas Peternakan. Anak bungsunyapun kini telah menikah dengan seorang pria yang aktif di Kantor Kelurahan. Dan menantunya inilah yang selalu setia untuk antar-jemput Nenek Welas dalam bekerja. Kebetualan menantunya ini telah memiliki kendaraan pribadi.
Nenek asli Klaten ini tak pernah ingin berhenti untuk berjualan sate gendong sampai ajal menjemputnya. Menurutnya, sate gendong adalah hidupnya. Karena melalui sate gendong ini dia bisa menikmati hidup yang lebih hidup. Melihat anak-anaknya yang telah meraih kesuksesan adalah suatu kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dan semua ini adalah berkat kegigihannya dalam berjualan sate gendong.
Biasanya dalam sehari, Mbok Hadi menyiapkan 5 kg daging sapi dan ayam untuk dijadikan sate. Dan hasil dari penjualannnya biasanya untuk kebutuhan anak-anaknya, namun karena sekarang anak-anaknya telah meraih keberhasilannya masing-masing maka uangnya dia gunakan untuk memberi hadiah pada cucu-cucunya. Seperti mobil-mobilan dan boneka.
Dengan keringat yang masih menempel di mukanya, mbok Hadi mengaku sepulangnya berjualan sate gendong dari Gazibu dia akan langsung bermain dengan cucu-cunya di rumah, sambil menunggu kantuk menjelang sore.

Sapta Pesona Soeharto Center

Tak ada niat apapun dalam hal melakukan sesuatu demi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua dilakukan hanya demi kesejahteraan masyarakat. Padahal dalam aqidah sebagian besar warga bangsa ini seperti mengakui kalau segala sesuatu harus diawali dengan niat (yang baik tentunya), lalu dibarengi dengan usaha, karya nyata dan kesungguhan. Jadi kalau ada pernyataan tak ada niatan apapun, pasti bukan dari golongan orang yang beraqidah.

Lalu alih-alih dengan tujuan demi kesejahteraan masyarakat, saya setuju banget itu, karena pasti orang akan membuat tujuan yang sangat tinggi, dan hampir mustahil terpenuhi. Pencapaian tertinggi suatu lembaga adalah kesejahteraan dan mungkin kalau mau ditambah keadilan, sesuatu harapan yang memang sengaja dibuat agar tak akan pernah bisa tercapai.

Kalau dikatakan demi kesejahteraan ‘masyarakat’, tentu ini sesuai definisi ‘masyarakat’ menurut versi masing-masing pembuat lembaga.  Masyarakat menurut mereka pastilah masyarakat dari golongan mereka sendiri, bukan di luar lembaga yang mereka buat.

Probosutedjo mendirikan Pusat Kajian Soeharto Center di lantai dua Universitas Mercu Buana, Jakarta Barat, sebagai pusat diskusi pengkajian rencana pembangunan perekonomian bangsa.

"Soeharto Center berfungsi untuk menggali pemikiran bapak Soeharto yang telah berhasil memimpin selama 32 tahun dan dijadikan acuan bagi pemerintahan sekarang dalam rangka pembangunan nasional," kata Probosutedjo usai acara sarasehan pembentukan Soeharto Center  di Hotel Le Meredian Jakarta. 

Dikatakannya, dalam Soeharto Center nantinya juga akan dilakukan diskusi terkait isu nasional yang berkembang saat ini. Diharapkan, hasil pemikiran tersebut, dapat dijadikan solusi bagi pemerintah. 
Probosutedjo juga menyebutkan, ada kebijakan dan program nasional yang dihasilkan dari kontribusi pemikiran untuk pembangunan bangsa  dan negara.

Pertama, garis-garis besar haluan negara yang merupakan ketetapan MPR sebagai rencana pembangunan nasional  jangka panjang. 

Kedua, trilogi pembangunan nasional dengan menyeimbangkan stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan sebagai arah dan tujuan pembangunan. 

Ketiga, delapan jalur pemerataan seperti pemerataan kebutuhan pokok rakyat, kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan, pembagian pendapatan dan lainnya. 

Keempat, program ketahanan pangan dan swasembada pangan hingga akhirnya Indonesia meraih medali emas pada 21 Juli 1986 dan banyak negara belajar mengenai pembangunan. 

Kelima, program kependudukan dan keluarga berencana yang dapat mencegah terjadinya ledakan penduduk.

Keenam, sepuluh program pokok PKK seperti penghayatan dan pengamalan pancasila, gotong royong, pangan, sandang dan lainnya. 

Ketujuh, pos pelayanan terpadu atau Posyandu yang merupakan sistem pelayanan yang dipadukan antara satu program dengan program lainnya. Kedelapan, kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa yang merupakan kegiatan pertemuan untuk petani dan nelayan dengan mengikutsertakan petani-petani berprestasi. 

"Kebijakan yang telah ditelurkan, kiranya sangat baik bila diterapkan kembali pada era saat ini. Karena, terbukti telah banyak masyarakat yang menikmati kesejahteraan," katanya.  

Selain itu, Probosutedjo juga membantah bila pembentukan Soeharto Center sebagai wadah dalam menumbuhkan Soehartoisme. Melainkan sebagai pusat kajian dalam mengambil keberhasilan pembangunan yang telah dilakukan dalam pemerintahan saat itu. 

"Tidak ada niatan apa pun dalam pembuatan ini selain sebagai pusat kajian dengan tujuan kesejahteraan masyarakat," katanya.