Sunday, June 19, 2011

Kisah Selembar Karpet dan Ibu Rumah Tangga

Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih, bersih & teratur dan suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya.

Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu:

"Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan"

Ibu itu kemudian menutup matanya.

"Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?"Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.

Virginia Satir melanjutkan; "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka.”

“Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi".

Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, nafasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.

"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu".

Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb.

"Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya

"Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?"

Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Aku tahu maksud anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif".

Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudutpandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif,

salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.

Menjadi Presiden di Indonesia itu susah

Menjadi seorang presiden di Indonesia memang susah, bukan susah menuju ke RI-1 nya itu, tapi susah menjalankannya. Kalau menuju RI-1 nya asal punya uang, pengaruh, banyak pendukung, dan punya partai politik bisa dapat kans-lah. Yang penting ada uang, uang, dan uang. Selama manusia itu masih butuh uang, semua beres dan bisa diatur, setuju, setuju, setuju.

Tulisan singkat  ini tak ingin menelusuri seberapa banyak dana yang harus dikeluarkan dan dengan cara apa timnya Pak SBY itu membawa beliau ke panggung RI-1 tersebut. Selain pusing menelusurinya, saya pun tak mau ikut campur, apalagi saya hanya seorang rakyat biasa, yang biasa nontoni mereka di televisi. Saya juga bukan anggota KPK apalagi reporter seperti Carl Bernstein ataupun Bob Woodward yang berhasil menjungkirbalikkan President Nixon dalam skandal Watergate tiga dekade yang lalu.

Dalam tulisan ini saya cuma mau berkata, “Menjadi Presiden di Indonesia itu susah”. Susahnya menjadi Presiden di Indonesia itu bisa dilihat dari kantung mata Pak SBY yang semakin tebal. Matanya pun makin memperlihatkan tanda-tanda kelelahan yang amat sangat. Tak heran suatu saat kemarin beliau diisukan sakit. Pak SBY banyak diwariskan persoalan-persoalan bangsa yang memang sudah terjadi sejak keruntuhan Orde Lama. Tabiat korupsi sudah mendarah daging, beranak pinak, dan berakar hingga menembus sel-sel darah para pelakunya. Hingga akhirnya menjadi suatu mental dan karakter. Mental dan karakter korupsi itu terus diturunkan secara turun-temurun. Dan saya yakin, para pelaku korupsi itu juga pasti punya orang tua yang dulunya juga doyan korupsi. Hukum karma selalu berlaku, anak yang diberi makan dengan hasil korupsi tentu suatu hari akan korupsi juga. Ingatlah kata pepatah, “Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya”.

Saya juga suka tertawa sendiri, ada partai yang dulu sangat berkuasa pada masa Orde Baru, sekarang berteriak-teriak sebagai partai anti korupsi yang akan memerintah negeri ini dengan bersih. Bahkan menuding pemerintahan sekarang tak berdaya melawan korupsi. Malah korupsi di negeri ini makin parah dan menjangkiti semua lini, begitu kata mereka.

Twiiing, lha, bukankah mereka sendiri yang menciptakan kondisi semacam itu di saat mereka berkuasa. Ini sama saja ketika Presiden Barack Obama dituntut oleh Partai Republik untuk menghentikan Perang Afghanistan, dan menganggap Obama tak mampu mengatasi perang tersebut. Padahal, perang itu dulunya warisan dari George W. Bush, Presiden AS dari Partai Republik sendiri. Si Bush mengirim ribuan pasukannya ke Afghanistan. Dunia pun boleh tertawa untuk kasus ini. Kasarnya, Partai Republik yang buang kotoran, Presiden Obama yang disuruh membersihkannya.

Situasi di Indonesia pun tak jauh berbeda dengan kondisi di AS sekarang. Semua calon Presiden AS tahun 2012 mendatang menganggap dirinya bersih semua dan paling cakap. Gejala-gejala ini sudah terlihat pula di Indonesia, apalagi menjelang pilpres 2014 nanti. Semua politisi merasa dirinya bersih, paling pantas, dan cakap, apalagi yang akan maju menjadi calon Presiden kelak. Jadi, siapa pun yang akan menjadi presiden di 2014 nanti, Anda akan mendapat warisan dari pendahulu - pendahulu Anda. Anda akan diwarisi kotoran-kotoran di masa lalu yang tak pernah tuntas dibersihkan. 
( Susahnya Menjadi Presiden Indonesia : Abdi Husairi Nasution)