Thursday, April 9, 2015

Meninjau Karir Jokowi Selama Enam Bulan

Ada beberapa artikel menarik yang menceritakan perihal dinamika karir Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia dan juga masih ada nekat melihat Jokowi bak seorang superhero yang jika ada yang menyentilnya langsung di cap sebagai sampah.

Masa-masa berkabut saat kampanye pilpres sudah usai. Tidak ada lagi yang dinamakan capres A dan capres B. Fakta membuktikan baik secara legal yuridis maupun sosial Jokowi adalah presiden negara ini. Suka atau tidak suka. Tidak penting lagi membahas Prabowo sebagai pesaing karena toh pada sebuah momen malahan Jokowi melakukan tindakan politik praktis untuk 'mengundangnya' masuk dalam pusaran pragmatika politik di saat gaduhnya pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Terpilihnya Jokowi menurut Effendi Gozali tidak pelak menyebutkan campur tangan media yang intens atah bahkan secara agresif memasarkan pria kelahiran Solo bak seorang ksatria Piningit yang membangun Indonesia menuju level gemah ripah loh jinawi. Mass media tidak boleh berkelit atas fakta ini. Effendi bahkan berani menyebutkan bahwa Jokowi adalah seorang selebritas. Yah, selebritas politik. Selebriti memang lebih kuat gaung pencitraan yang kamuflase, imitatif dan cenderung jauh dari logika umum.

Pada masa kampanye salah satu fitur canggih yang kerap dibawa oleh Jokowi adalah program Nawacita. Program yang kelak menurutnya akan menjadikan Indonesia mampu meraih harapan-harapan yang terpendam di lubuk sanubari rakyat Indonesia. Penulis masih gagap untuk menyajikan antara program dengan realitas-nya dan berharap ada dari kompasianer mau meluangkan waktunya untuk menyajikan artikel terkait hal ini.

Menurut sebagian rakyat, Indonesia membutuhkan presiden baik hati dan tidak sombong. Namun bagi sebagian yang lain, baik hati saja tidak cukup namun harus memiliki integritas (tidak suka bohong dan asal mangap). Disamping itu harus memiliki kemampuan mengelola konflik. Silang sengketa antara Menhumkam dengan hasil munas Bali pada kongres yang diselenggarakan oleh Golkar atau bahkan yang terakhir dengan membatalkan perpres terkait DP untuk kendaraan dinas pejabat menunjukkan kelas Jokowi saat mengendalikan konflik.

Penulis pribadi sampai pada level untuk bungkam terkait pernyataan Menteri ESDM dan Menko Ekuin yang dengan gagah dan lugas mengatakan harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar terkait harga minyak mentah dunia dan mulai untuk meng-edukasi rakyat terkait potensi naik turunnya harga BBM di kemudian hari. Tidak perlu mendiskusikan lagi terkait orientasi para pembantu Jokowi mengenai filosofi ekonomi mereka.

Jokowi tengah melangkah di karpet merah Nusantara. Pilihan sikap yang ksatria adalah membiarkannya hingga sampai di ujung karpet tersebut. Membiarkannya berjalan sesuai dengan langgamnya.

Memutuskan koneksi antara rakyat dengan pemimpinnya adalah pilihan yang paling masuk akal. Hidup lebih hemat karena semua piranti sosial tengah menaikkan harganya. Elpiji naik, tarif dasar listrik rumah tangga akan naik, sembako apalagi. Semua tengah menekan kepala rakyat. Harapan yang pernah ditasbihkan entah mengapung dimana. Menyerahkan ke Jokowi seperti salah mengirimkan alamat surat. Ya sudahlah.

Enam bulan berlalu.

Hiruk pikuk Ibukota antara Ahok dan DPRD masih saja nyaring. Senayan pecah kendali. Mereka sibuk mengurusi internal interestnya. Jaksa Agung pun saat ini tidak lagi dapat tugas untuk memecah konsentrasi rakyat dengan dramaturgi eksekusi mati karena dua orang penjahat ternyata warga Australia yang mengancam akan mengekspos hasil rekapitulasi suara pilpres lalu.

Enam bulan baru menghasilkan hiruk pikuk dan peningnya rakyat di dera kenaikan beberapa harga kebutuhan.

Penulis hanya sekedar recall betapa para pendukung Jokowi dulu sangat membenci teori konspirasi namun belakangan ini malahan rajin membuat skema dan tebak-tebakan terkait adanya upaya-upaya sistemik dari ring satu Jokowi yang akan menjungkalkannya sebagai Presiden. Entah itu melalui JK atau Puan Maharani. Dan bahhkan mulai berani menuding KIH dan bahkan PDI Perjuanganlah yang paling bertanggung jawab terhadap kinerja memble dari presiden ke tujuh ini.

Ahai, itu lah potret politik Indonesia berikut dengan potret sosial politiknya.

Ternyata, jika hanya membutuhkan orang baik, seharusnya bukan Jokowi yang jadi presiden tapi mungkin yang paling pantas adalah seorang ibu yang mau menyerahkan ginjalnya untuk kesembuhan anaknya. Dengan harapan bahwa sisa ginjal yang ada bisa membuat Indonesia menjadi semakin baik dan tidak terpuruk seperti saat ini.

Salam Anti Orang Jahat!