Saturday, July 9, 2011

Last Return : The Fifty Post

The Fourth Estate


Hobi gw selain menulis, filatelis, numismatis, grafis, naik bis, tidur, makan, ngopi, tidur lagi, nulis lagi, adalah baca novel. Syarat novel yang gw baca pertama harus tebal minimal 551 halaman, kalo tipis males bacanya, cepet kelar, jadi cepet nganggur. Syarat kedua harus fresh (bukan minjem), soalnya ngga bakalan ketemu dalam radius 5 km orang yg punya novel, apalagi yg tebal. Syarat ketiga harus pengarang impor bukan lokal, misalnya Allan Folsom, Jhon Grisham, Dan Brown, James Patterson, Tom Clancy, Jeffrey Archer, etc etc etc. Syarat ke-empat (The Fourth) adalah dibeli dengan uang hasil keringat sendiri.

Konon pada jaman dahulu kala, tiap bulan saya pasti menyisihkan uang untuk beli satu novel yang paling tebal yang berjejer di rak toko buku. Uang ini hasil bayaran cuap-cuap sembilan puluh menit di hadapan tiga orang bocah nakal yang minta diajarin Bahasa Indonesia (eh salah, Fisika ding).

The Day After Tomorrow (Demi Esok Lusa) bikinan Allan Folsom keren banget, berkisah tentang rencana kebangkitan Hitler yang menyiapkan seorang atlet yang super untuk dipenggal kepalanya diganti sama kepala Hitler, yang konon kepala ini diawetkan hingga dibawa ke gunung tertinggi di Swiss, Gohrnjungfrau (mungkin, agak lupa). Tapi bukan buku ini yang akan saya ulas.

Buku yang akan saya ulas sedikit saja ini adalah karya Jeffrey Archer : The Fourth Estate, yang sepertinya ada seorang tokoh nasional yang mencoba peruntungannya meniru gaya pemeran utama buku ini. Tapi karena sepak terjang sang tokoh nasional yang kurang matang dan kurang simpatik di mata masyarakat, kayaknya nasibnya akan seperti pemeran lain dalam buku ini.

The Fourth Estate

Novel karya Jeffrey Archer besutan 1996 ini bercerita tentang hidup matinya dua kaisar media, Richard Armstrong dan Keith Townsend. Mereka memiliki latar belakang kehidupan yang sangat bertolak belakang. Yang satu pria sederhana keturunan Yahudi dan yang lainnya tinggal di Australia sebagai keluarga terpandang di sana.

Richy kecil terbiasa hidup bersahaja, tetapi mempunyai insting dan jiwa bisnis yang luar biasa. Untuk mencari uang dia rela menjaga kios koran milik pak tua dengan bayaran ala kadarnya, tetapi dengan kelihaiannya mengelola kios malahan akhirnya ia bisa memiliki kios tersebut.

Saat dewasa ia masuk dinas militer dan jiwa bisnisnya tetap tak hilang, ia selalu ingin menguasai media di mana dia hinggap.

Keith kecil selalu hidup berkecukupan, apa saja dia punya, hingga akhirnya dia bisa memegang perusahaan media ayahnya.

Cerita mengerucut hingga persaingan kedua tokoh sentral ini yang ingin menguasai media. Pernah pula sang tokoh memborong koran yang akan terbit esok harinya, hanya karena agar berita keburukannya tak sampai ke para pembaca. Lain waktu menerbitkan buku seorang wanita berpengaruh, hanya agar lolos verifikasi.

Begitu terkenalnya satu tokoh ini, konon di suatu restoran terkenal, dia punya meja khusus yang tak boleh orang lain duduk di sana, dan di dapur chef restoran tersedia saus kegemaran sang tokoh. Kata sichef master, konon inilah restoran satu-satunya yang menyediakan saus dalam botol beling kehijauan asli dari tempat kelahiran sang tokoh.

Akhir cerita, salah satu tokoh berhasil menguasai media dengan jalan yang berliku, terseok-seok, jatuh bangun, dan pada akhirnya tercapai tujuannya.

Dan tokoh lainnya ditemukan tewas di tepi sungai. Ia terjun, bunuh diri dari atas kapal pesiar mewah yang melaju pelan membelah kegelapan malam Amerika.

(bila ada kesalahan dalam tulisan ini, harap maklum, karena penulisnya sudah rada pikun)