Thursday, March 21, 2013

Nyepi

Mengapa Tahun Baru Saka Dirayakan Pada Bulan ke-10?
.
.REP.
.
 | Rabu, 20 Maret 2013 | 20:05 WIB Dibaca: *101 *   Komentar: *0*   0 bermanfaat
.
Di Indonesia, perhitungan tahun Saka telah dikenal sejak jaman dahulu. "dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi" (seperti dikutip dari blog Den Carik). Menurut Ketut Wiana, Pemberlakuan penghitungan dengan tahun Saka untuk kali pertama digunakan di India atas kesepakatan Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi Pada tahun 79 Masehi. Secara sejarah, pemberlakuan kalender saka tersebut merupakan tonggak penanda bagi usainya permusuhan antar suku bangsa di India.
Seperti yang kita ketahui, di Indonesia dalam merayakan pergantian tahun baru Saka, dirayakan dengan cara yang unik. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi. Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup. Nyepi diperingati pada tanggal 1 bulan ke-10 (Penanggal apisan, sasih kedasa/Wesakhamasa). Yang menjadi pertanyaan, mengapa tahun baru Saka dirayakan pada bulan ke-10 (Wesakhamasa), mengapa tidak pada bulan pertama (Srawanamasa)?.
Mengenai pertanyaan tersebut yang ditanyakan oleh seseorang pada sebuah diskusi, saya memberikan jawaban asumsi, bahwa perayaan tahun baru Saka dirayakan dengan Nyepi karena peringatan Tahun baru Saka untuk merayakan keberhasilan suku Saka menyatukan suku-suku yang bertikai. Tak puas dengan asumsi sendiri, saya mencoba menelusuri di Internet. Ada beberapa pendapat yang memiliki kesamaan atas asumsi saya.
Anom Sastrawan menuliskan dalam blog Radheya Suta, ia menyebutkan; pada sekitar tahun 70-an Masehi, India tidak pernah lepas dari konflik dan perang antara Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya. Perang tidak ada habisnya, sampai akhirnya Suku Saka memenangkan pertikaian di bawah kepemimpinan raja Kaniskha I. Sejak itu, diberlakukan sistem penanggalan Saka sebagai penanggalan resmi yang berlaku di wilayah itu, yaitu tanggal 1 (sehari setelah bulan mati kesembilan) bulan 1 (Caitramasa) tahun Saka. Sistem ini diterima oleh semua suku yang dulu bertikai. Menurut versi ini, hari pertama tahun Saka adalah hari perdamaian, kerukunan, kebersamaan, juga kebangkitan dan pembaharuan. Disebut hari perdamaian karena pada hari itu, semua suku menghentikan pertikaian. Sementara disebut sebagai hari kebangkitan dan pembaharuan, karena sejak hari itu semua aspek kehidupan beragama dan bermasyarakat di India ditata ulang supaya tidak ada lagi konflik antar kepercayaan dan keyakinan. Dari sini dapat diketahui bahwa peringatan pergantian tarikh saka adalah hari keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda. Sejak tahun 78 Masehi itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun Saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut Caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tarikh Masehi dan Sasih Kesanga dalam tarikh Jawa dan Bali di Indonesia. Sejak itu pula kehidupan bernegara, bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang. Oleh karena itu peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional. Keberhasilan ini disebar-luaskan keseluruh daratan India dan Asia lainnya bahkan sampal ke Dwipantara (Indonesia).
Penjelasan tersebut tampak membingungkan, karena perayaan tahun baru Saka (Nyepi) tidak pada bulan Cetramasa (kesanga/bulan kesembilan) melainkan pada tanggal 1 bulan ke-10 (Wesakhamasa) atau di Jawa dan Bali disebut sebagai penanggal apisan, sasih kadasa. Yang dirayakan pada bulan kesembilan/Cetramasa adalah Tawur Agung dan Melasti.
Ada pula asumsi lain, mengapa Nyepi/tahun baru saka dirayakan pada bulan ke-10. Drs Wayan Wirta menyebutkan (seperti dikutip dari situs sumut.kemenag.go.id), Pergantian tahun berlangsung pada tilem ke Sanga (bulan ke sembilan). Mengapa pergantian tahun Saka terjadi pada bulan ke Sanga (bulan ke sembilan)? Secara filosofis, angka sembilan adalah angka terbesar dalam system bilangan, sedangkan angka sepuluh (10) adalah pengulangan dari angka satu dan nol. Itulah makanya nyepi jatuh pada tanggal 1 sasih ke desa (bulan ke sepuluh). Selain beberapa asumsi diatas, dalam diskusi di HDNet dinyatakan, setelah kegiatan melasti, selanjutnya tibalah Tilem atau dalam Veda disebut Amavashya. Amavashya adalah hari yang sejak jaman dahulu kala diperuntukkan untuk melaksanakan persembahan yang disebut Tarpanam. Tarpana berarti memberi kesejukan, kelegaan, atau kesenangan. Tarpanam terutama memang dipersembahkan kepada Pitri, roh nenek moyang yang telah mendahului kita. Namun sesungguhnya Tarpanam adalah persembahan kepada setiap jiwa yang memiliki hubungan karma dengan kita, dan itu berarti semua bentuk kehidupan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, yang tanpanya kita tak mampu hidup dengan baik di dunia ini.
Dari pernyataan itu, saya berkesimpulan bahwa perayaan Nyepi tersebut mengimplementasikan ajaran Veda, yaitu dengan melaksanakan ritul Tarpana atau lebih umum dikenal dengan upacara Sraddha seperti disebutkan didalam Manawa Dharmasastra. Tarpana dalam bahasa local disebut medara yang berasal dari katamedaar/makan. Dalam hal ini medara bertujuan untuk mempersembahkan sesajen kepada leluhur. Medara ini dilaksanakan sehari sebelum Nyepi. Selain Medara juga dilakukan Mecaru untuk para Bhuta.
Dari uraian keseluruhan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perayaan tahun baru saka diperingati pada tanggal 1 bulan ke sepuluh, pertama; untuk memperingati keberhasilan suku Saka menyatukan suku-suku yang berkonflik, dibawah kepemimpinan raja Kaniskha I. Kedua, pergantian bulan kesanga (kesembilan) ke bulan kadasa (ke sepuluh), dianggap sebagai pergantian bulan keramat. Dan ketiga, karena pada bulan kesembilan panglong 15 dianggap hari baik memuja leluhur sehingga dilakukan upacara tarpana yang merupakan bagian dari upacara Sraddha (di Jawa disebut Nyadran, di Bali disebut Medara), kemudian hari berikutnya (pananggal 1 wesakhamasa) diperingati dengan hari tanpa aktivitas "Nyepi", dengan dilaksanakannya catur brata penyepian.