Thursday, March 21, 2013

Dinasti Syailendra Abad XXI Abadi Sepanjang Masa

Isu tentang politik dinasti masih menjadi perdebatan rumit dalam pembahasan Rancangan undang-undang (RUU) Pilkada. Pasalnya, sangat sulit merumuskan formula regulasi terhadap pembatasan politik kerabat ini. Ada kontradiksi yang mengitari regulasi politik dinasti. Di satu sisi, politik dinasti dianggap berpotensi menciptakan kepemimpinan kroni dan nepotis. Di sisi lain, regulasi ini juga akan membatasi hak politik warga Negara untuk dipilih dalam demokrasi.

Fenomena kepala daerah yang “mewariskan” jabatan kepada para kerabatnya, merupakan fenomena yang semakin menjamur dalam konstelasi politik di negeri ini. Di beberapa daerah, banyak para Bupati dan kepala daerah yang ketika masa jabatannya habis dan tidak bisa mencalonkan lagi, maka mereka menggunakan kekuatan incumbent-nya untuk mengorbitkan para kerabat dan keluarganya. Hal ini, lambat laun menjadi sebuah kecenderungan umum, yang sedikit banyak mempengaruhi sistem politik.
 
Sesungguhnya, politik dinasti ini lahir dari kecenderungan liberalisme politik yang menjadi efek demokrasi. Artinya, ketika demokrasi meniscayakan adanya kebebasan individu untuk mendapatkan hak politiknya sebagai pemimpin, maka siapapun dia, mendapatkan hak yang sama. Dan inilah yang kemudian menyuburkan politik dinasti. Di samping karena kedekatan dengan posisi petahana yang disandang kerabatnya, alasan kapital yang kuat juga mendukung kecenderungan ini. sehingga tak heran jika politik dinasti ini tidak hanya berbentu vertikal, tapi juga horisantal. Disebut vertikal bila garis dinasti ini “diwariskan” dalam periode yang berbeda, pada jabatan yang sama. Sedangkan horizontal jika kroni dinasti ini menyebarkan cengkraman guritanya kepada daerah lain. Secara demokrasi, barangkali hal ini sesuatu yang sah dan wajar. Namun jika politik dinasti ini jatuh pada pihak yang tidak profesional dan kompeten, maka hanya akan menjadi petaka dalam demokrasi.

Persoalan selanjutnya, bisakah politik dinasti ini dibatasi? Pertanyaan tersebut barangkali yang menjadi isu utama dalam pembahasan RUU Pilkada yang akhir-akhir ini sedang dibahas. Ada beberapa argumentasi tentang pembendungan politik dinasti ini. Misalnya dengan memberikan masa sela atau durasi selama satu kali periode. Imcumbent hanya boleh mencalonkan anggota keluarganya pasca masa jabatannya selesai, setelah satu kali periode yang telah diselingi oleh pejabat lainnya. Namun argument ini juga mendapat kritikan yang tajam, karena dianggap mengekang hak warga Negara untuk berpolitik.

Profesionalisme Politik

Salah satu anomali demokrasi adalah bahwa demokrasi memiliki watak yang bebas. Kelayakan jabatan politik jika dipandang dari sudut pandang demokrasi, itu diukur dari seberapa besar pemilih yang memilihnya, bukan karena kompetensi atau profesionalitasnya. Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan. Ketika demokrasi memberi kesempatan ‘dinasti” untuk berperan dalam ranah politik, maka profesionalime menjadi luntur. 
Politik dinasti yang menggurita, semakin memungkinkan anggota dinasti tersebut untuk berkuasa, dengan satu alasan: jaringan politik. Sampai derajat ini, profesionalisme kemudian menjadi persoalan yang tampak lain dalam politik. Dengan serta merta, lahirlah para penguasa dan politisi karbitan, yang mereka memperoleh kekuasaan karena warisan. 

Selanjutnya, politik dinasti akan menemukan relevansinya ketika dimainkan oleh orang-orang yang profesional dan mempunyai integritas yang tinggi. Memang hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil, namun ini tampaknya sangat sulit. Sehingga profesionalisme politik menjadi tawaran dalam kecenderungan politik dinasti yang semakin menggurita.

Adalah Sayyidina Umar bin Khattab RA yang sangat berhati hati menjaga politik dinasti ini. Konon, ketika para sahabat mengusulkan putranya, Abdullah bin Umar menjadi gubernur di salah satu daerah, maka dengan tegas sang Amirul Mukminin ini menyatakan, “cukup satu Umar yang jadi pemimpin”. Padahal, pada saat itu para sahabat menganggap Abdullah bin Umar merupakan figur yang paling cakap dan layak untuk menjadi gubernur. Sangat kontras dengan keadaan zaman sekarang. Setiap pemimpin, mengorbitkan kerabatnya untuk menjadi pemimpin berikutnya, atau menjadi pemimpin dalam kekuasaan lainnya. 

Muhamad Mustaqim, M.M., M.Pd.I
Dosen STAIN Kudus, aktif di kajian sosial pada "The Conge Institute"