Tuesday, August 19, 2014

PEREMPUAN RIMBA YANG TAK BOLEH DISEBUT NAMANYA

Sambil bersila di atas lantai kayu, kumakan singkong dan mujair goreng. Rasanya enak banget karena aku sedang sangat kelaparan dan kelelahan.

Di depanku, Ibu yang memberiku makanan sedang asyik mengunyah daun sirih sampai bibirnya merah seperti darah. Ibu yang belakangan kutahu namanya Binggo. Nama yang asing di telingaku. Sebenarnya Binggo nama suaminya. Dan ibu itu saat kutanya siapa namanya, ia bilang namanya Bu Binggo.

"Ibu berdua saja di sini dengan bapak?"

Bu Binggo mengangguk. "Tinggal sedikit orang saja di kampung ini, tinggal yang tua-tua."

"Apa ada orang-orang yang lain? Mereka ke mana?"

"Banyak yang mati karena digulung tsunami. Dan sejak tsunami itu banyak orang kampung sini yang hilang secara misterius, terutama anak-anak muda."

"Ceritakan tentang kampung ini, Bu?"

"Dulu di sini adalah sebuah kampung yang tanahnya subur. Kami lempar biji-bijian saja, ia akan tumbuh sendiri. Air yang bersih juga mudah didapat. Setelah diterjang tsunami, keadaan tanah menjadi buruk. Banyak tanaman rusak. Pohon cokelat diserang hama dan tidak bisa dikendalikan. Air bersih menjadi langka. Kami harus mencari air ke tempat yang sangat jauh."

"Di mana orang-orang lain yang masih bertahan di kampung ini?"

"Seperti kami, mereka tinggal di rumah-rumah panggung. Jarak antar rumah kami sangat jauh, tersebar di berbagai tempat di tengah hutan."

"Bagaimana ibu dan bapak bertahan hidup?"

"Kami menanam singkong untuk dimakan, dan sekali waktu memancing ikan mujair di danau."

"Sekali waktu?"

"Iya. Kami tidak berani terlalu sering ke danau. Dulu danau adalah sumber kehidupan kami. Banyak orang sini mencari penghidupan sebagai nelayan. Menjaring ikan di danau dan menjualnya di pasar. Sejak tsunami, danau sebagai sumber kehidupan tinggal cerita masa lalu. Danau kini menjadi sumber bencana. Sebisa mungkin kami menghindari danau."

"Bagaimana keluar dari kampung ini? Saya harus pergi ke kota."

"Dulu ada kapal yang berlayar seminggu sekali dari kampung ini ke kota. Sejak tsunami, tak ada lagi kapal semacam itu. Orang-orang nekat menggunakan perahu kecil menuju kota, namun banyak di antara mereka tidak pernah kembali."

"Apa yang harus saya lakukan?"

"Tinggallah di sini. Itu lebih aman."

"Saya tidak mungkin selamanya di sini."

"Kamu tidak bisa pergi kemana-mana. Tak ada jalan keluar."

"Pasti ada jalan keluar."

"Istri saya benar. Tak ada jalan keluar," Pak Binggo muncul dengan setumpuk kayu bakar yang kemudian ia letakkan di sebelah tungku.

"Kami kehilangan anak perempuan. Kalau dia hidup, tentu ia sebesar kamu. Sepertinya Tuhan mengirim kamu untuk kami," Bu Binggo menyentuh pipiku.

"Di sini kamu aman," Pak Binggo meyakinkanku.

"Mereka akan mencariku."

"Siapa?"

"Paula."

"Sssttt jangan sebut nama itu lagi," Pak Binggo menyentuhkan telunjuk di bibirnya yang kering.

"Pak Binggo pernah dengar nama itu?"

Pak Binggo mengangguk. "Dinding kayu ini punya telinga. Orang yang menyebut nama itu biasanya akan hilang. Jangan sebut nama itu lagi."

"Apa yang bapak tahu tentang 'jangan sebut nama itu lagi'?"

"Dia adalah kekuatan jahat yang datang setelah gelombang tsunami surut. Dia menjadi mimpi buruk warga kampung sini."

"Apa Bapak pernah bertemu dengannya?"

"Tidak pernah, dan jangan sampai. Hanya dengar-dengar, suara-suara yang disampaikan secara bisik-bisik. Tidak ada yang berani bicara dengan keras tentang 'jangan sebut nama itu lagi'."

"Ada yang cerita, dia memanggil warga kampung sini dengan sebutan 'kambing hitam'," sambung Bu Binggo sambil terus mengunyah daun sirih.

"Dia?" aku ingin meyakinkan siapa yang Bu Binggo maksud.

"Iya dia... 'jangan sebut nama itu lagi'."

***

Malam yang dingin dan mencekam. Aku tidak bisa tidur. Berisik sekali suara sekelompok babi hutan di bawah rumah panggung ini. Pak Binggo bilang, babi hutan itu akan pergi sebentar lagi. Aku tidak perlu mencemaskan babi-babi itu. Hanya suaranya saja yang mengganggu."

Pagi hari Bu Binggo mengajakku ke kebun singkong di lereng bukit. Kami memanen singkong untuk persediaan beberapa hari ke depan. Juga kupetik daun singkong yang muda-muda untuk dimasak. Dan Bu Binggo memotong-motong pohon singkong untuk ditanam lagi, menggantikan tanaman singkong yang sudah dicabut.

Kumasukkan singkong dan daun singkong ke dalam karung. Bu Binggo mengajariku menjunjung sekarung singkong di atas kepala.

Kami makan singkong rebus dan daun singkong rebus.

Sekarang lagi musim kemarau. Persediaan air bersih tinggal sedikit. Pada siang hari Bu Binggo mengajakku berjalan jauh ke sungai untuk mencari air bersih.

"Pada saat musim hujan, kami mengeluarkan ember-ember untuk menampung air hujan," cerita Bu Binggo.

Bolak-balik mengangkut air dari sungai ke rumah itu jaraknya jauh dan itu sangat melelahkan. Capek sekali, tapi entah mengapa aku merasa senang.

Banyak warga kampung mencari air bersih ke sungai. Dan benar, mereka semua cukup tua usianya. Tak ada satu pun kulihat anak muda. Apakah ini kampung yang terancam punah?

***