Saturday, March 23, 2013

Seorang Dukun Santet yang Menjelajah Daratan Eropa untuk Mencari Elmu

Sebetulnya, persoalan rancangan peraturan tentang ‘ilmu hitam’ atau santet tidak akan seheboh ini diperbincangkan publik jika berita yang lebih lanjut tidak mengejutkan. Maksudnya, jika para anggota DPR itu tidak berniat sejak awal untuk sengaja ke Belanda untuk melakukan studi banding perancangan peraturan ini, akan jadi sekadar pencecap selera humor belaka. Nah, karena DPR kita saat ini acapkali dicap sebagai pelawak, maka jadilah “prosedur” ke Negeri Kincir Angin ini diolok-olok khalayak Twitter.
Portal-portal berita santer mewartakan rencana kunjungan para anggota dewan dari Komisi III yang akan menyasar Belanda untuk ber-“konsultasi” soal setidaknya tiga poin penting yang jadi masalah pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebagaimana diketahui, KUHP sendiri yang pertama kali disahkan pada 1918 dan terakhir kali diperbaharui pada 1958 .Belum lagi hingga sekarang. Pakar hukum nampaknya setuju usulan pemutakhiran ini, karena ada banyak kejahatan “nyeleneh” yang timbul di tengah-tengah masyarakat sementara penegak hukum harus mencari pasal yang cocok. 
Setidanya dua perkara pasal akan diboyong konsultasi ke Eropa oleh DPR: perzinahan dan ‘ilmu hitam’. Yang kedua ini dianggap lucu karena publik Twitter (tentu saja mereka yang kontra) menganggap bahwa santet yang selama ini dipakai sebagai istilah praksis ‘ilmu hitam’ di Indonesia tergolong kasus superstisius, irasional dan tradisional. Santet bukanlah perkara hukum kasat mata dan tidak mudah untuk diidentifikasi. Jikalau santet sesuai rancangan KUHP terbaru diartikan “praktik ilmu hitam yang dapat menyebabkan seseorang sakit, meninggal, dan atau terganggu secara fisik dan mental”, maka segala sesuatu yang berbau superstisi tapi tidak mengandung akibat-akibat diatas tidak akan terjerat hukum. Dengan kata lain, apa yang disebut ‘ilmu putih’ dianggap aman-aman saja.
Idenya: Jika praktik ‘ilmu hitam’ dianggap pelanggaran, maka ‘Ilmu putih’ tidak. 
‘Ilmu putih’ bisa berbentuk kemampuan telepati, misalnya. Atau praktik pengobatan alternatif (yang sebagiannya dengan terang-terangan menggunakan alat-alat sama yang digunakan praktik ‘ilmu hitam’) dan dukun tradisional tetap dianggap tidak melanggar aturan.
Santet lantas jadi momok legal karena diangkat dari legenda masyarakat soal bagaimana ilmu kedokteran modern tidak mampu melawan paku, mur-baut berkarat ataupun beling kaca di dalam telur. Santet diangkat sebagai hukum legal katanya untuk membatasi pergerakan pelaku-pelaku ‘ilmu hitam’ sekaligus menghindarkan masyarakat dari pengaruh buruk kontrol jarak jauh yang akibat rusaknya jauh lebih berbahaya dan unik ketimbang perampokan, penganiayaan atau perkosaan. Santet yang dalam tradisi banyak daerah Indonesia lantas disamaratakan sebagai praktik sedemikian rupa yang melibatkan mantra dan alat-alat, dengan tujuan merusak kehidupan seseorang. Hal semi-abstrak yang yang dikonkretkan.
Lebih anehnya lagi, demi santet para anggota DPR menggunakan dana rakyat untuk berkunjung ke Belanda. Negeri yang sangat rasional dan mendasarkan tata-kelola masyarakatnya atas hukum legal yang nyata dan nalar. Belanda memang punya legenda de Amsterdam Knight atau cerita-cerita di balik kehidupan moyang Beatrice. Tapi hukum legal yang mencakup seluruh rakyatnya tak sekalipun memasukkan ilmu hitam sebagai noktah pasal. 
Khalayak Twitter yang mengkritik keputusan DPR memberangkatkan timnya ke Belanda mengaggap bahwa kunjungan itu akan sia-sia saja kalau ditujukan untuk mengonsultasikan santet yang hampir pasti tidak dijamah oleh hukum modern di sana. Sebagian berpendapat bahwa kalau mau belajar ‘ilmu hitam’, superstisi ataupun eksorsisme, mendingan berangkatnya ke Rumania, negara dengan rekam jejak mistisisme yang lebih kental ketimbang Belanda. Opsi-opsi kurang strategis ini yang dianggap hanya akan menghambur-hamburkan uang dan energi rakyat semata.
Rok Mini di Korea
Di saat penyusun draf kitab kode hukum Indonesia sedang sibuk memperdebatkan santet, di bagian Asia lain sebuah negara serba-modern juga terhimpit debat konservatif yang menyinggung tradisi dan keputusan personal rakyatnya. 
Minggu ini parlemen bersama pemerintah Korea Selatan di Soul meratifikasi undang-undang perlindungan masyarakat yang juga dianggap nyeleneh: melarang setiap perempuan dewasa (di atas 17) untuk mengenakan rok mini di ruang publik. Undang-undang baru itu akan mengenakan sanksi 50 dolar Amerika bagi setiap pelanggarnya, sebagaimana dengan tegas dinyatakan presiden terbaru Park Guen-hye, Kamis (21/3/2013).
Rok mini? Jadi ingat sesuatu? Ya. Di Indonesia khususnya Jakarta, isu rok mini sempat jadi tajuk utama seminggu hingga diangkat ke unjuk rasa belasan perempuan cantik di Bundaran HI September 2011 lantaran menyeletuk bahwa kasus pemerkosaan yang marak terjadi di ibu kota berawal dari keputusan perempuan suka berpakaian serba mini. Kontan saja publik risih, mengapa pejabat sampai mau mengurusi cara berpakaian masyarakatnya. Nah, hal sama jadi alasan golongan kontra di Seoul minggu ini.
Pemerintah Korea Selatan punya alasan sendiri untuk mempertahankan pendapatnya. Mereka mengklaim, aturan pembatasan visual rok mini di ruang publik ditujukan bukan untuk urusan pemilihan jenis pakaian, tetapi moral ataupun spiritual rakyat, hal yang memang dianggap telah kebablasan di kalangan mudanya saat ini. 
Tapi, bagaimana K-POP –industri yang mengangkat derajat ekonomi Korea Selatan lima tahun belakangan ini– tanpa rok mini?
Kalau mau ditarik garis nasib yang sama, perkara santet di Indonesia dan rok mini di Korea sama-sama dianggap kemunduran dalam penerapan hukum. Santet yang sifatnya irasional dianggap dipaksa sebagai aspek rasional dalam hukum legal, dan rok mini yang sifatnya personal dipaksa sebagai hukum publik yang mengikat. Ini membuktikan bahwa tidak ada beda negara berkembang dan negara maju jika sudah bersentuhan dengan penerapan hukum legal yang unik, nyeleneh dan kontroversial.
Kewajiban negara yang melindungi segenap rakyat, termasuk pendapat dan kebebasan berpikirnya sontak dipertanyakan pemenuhannya. Mungkin anggota DPR-RI paham betul bahwa tujuan pelolosan santet ke dalam KUHP akan jadi buah baik bagi pembatasan tindak pidana kejahatan yang marak tidak terdeteksi selama ini. Akan tetapi bukankah dengan mengakui santet sebagai kejahatan legal, membuat kita sebagai bangsa yang percaya sihir? 
Tidak mengherankan jika Bangkok Post mengangkat berita santet dan DPR Indonesia dengan gambar ilustrasi poster film Harry Potter and the Deathly Hallows part II, dan harian Sydney Morning Herald mengulasnya dengan kalimat “white magic would remain legal.” 
Perancangan KUHP versi terbaru sudah dimulai sejak 18 Maret, tapi diperkirakan belum akan selesai hingga Pemilihan Presiden tahun 2014 mendatang.