Saturday, March 23, 2013

Lubang Kecil di WC Umum

Dari Jendela Pesawat
.
Oleh: Indri Hapsari
.
 | 23 March 2013 | 16:54 WIB
.
Dear kamu,
Ketika kamu membaca surat ini, mungkin saya tak akan ada lagi di sampingmu, di sini, atau di manapun tempat yang kamu tahu. Saya memutuskan, sudah saatnya bagi saya untuk menepi.
Saya tahu, mungkin kamu baru tahu saat ini, bahwa saya punya perasaan lain ke kamu. Lebih dari teman, lebih dari sahabat, lebih dari mahasiswi bandel yang ngga ngerti-ngerti kalau diajar asdosnya. Ya, saya memang tak pernah ungkapkan ini ke kamu. Karena saya takut, kalau saya mengatakannya, kamu akan menjauhi saya. Tentu, hal itu akan menyiksa saya waktu itu (meskipun sekarang toh saya lakukan juga hal yang sama), sehingga saya lebih memilih menyimpan itu semua dalam hati, daripada memberitahumu.
Mungkin terdengar bodoh ya. Tapi itulah jalan yang saya pilih. Saya senang melihatmu dari kejauhan, tergesa mengikuti kelas yang sudah 20 menit berlangsung. Saya suka melihatmu tertawa gembira, ketika berkumpul dengan teman-teman. Saya senang melihat peluh yang menghiasi wajahmu, saat kamu bertanding futsal dengan fakultas lain.
Ya, saya senang semua tentangmu.
Meski kamu tidak tahu. Dan kamu lebih memilih menyenanginya, daripada menyenangi saya.
Waktu saya mengetahui hal itu, saya cuma bisa menyesal, kenapa tak pernah memberitahu kamu perasaan saya. Namun mungkin percuma juga, cinta, siapa yang bisa mengendalikannya? Sehingga saat kamu memilihnya, saya bisa apa?
Maka saya minta maaf, ketika rasa senang saya menjadi tidak senang, saat melihatnya selalu ada di dekatmu. Dia yang selalu menyediakan bangku kosong untukmu di kelas, jika kamu terlambat. Dia yang juga tertawa bahagia, saat kalian bersama. Dia yang selalu ada, di setiap pertandingan yang berlangsung. 
Terkadang saya berharap, Tuhan mengubah saya sehariiii saja, untuk menjadi dia. Agar saya tahu bagaimana rasanya diperhatikanmu sedemikian rupa. Dipandang lama dengan mesranya. Diajak becanda agar selalu tersenyum bahagia. Saya ingin sebentaaaar saja, merasakan, bagaimana sih dicintai kamu?
Ketika saya sadar bahwa itu tak bisa, saya kembali kecewa. Saya berharap lagi, maaf jika ini buruk, agar kamu putus dengannya, dan akhirnya melihat saya, yang selalu mencintaimu.   Namun akhirnya saya sadar, hanya dia yang bisa membuat kamu bahagia. Sedangkan dengan saya, ah saya sendiri jadi ragu, bisakah saya membahagiakanmu seperti itu? Membuatmu rela menunggu, membuatmu merasa harus melindungi, mendorongmu untuk senantiasa ungkapkan rindu? Mungkin saya tak akan bisa, dan tak pernah bisa.
Sehingga, saat saya sadari itu, saya jadi tahu. Hakekat mencintai bukanlah ketika cinta itu dibalas, namun ketika cinta itu tak berbalas, akankah saya dapat terus mencintai? Terlihat konyol ya, tapi…saya memilihnya.
Ya, saya memilih untuk tetap mencintaimu.
Namun saya tak bisa terus disini, menggerus hati saya dengan melihat kamu yang saya sukai, menyukai orang lain. Saya percepat studi saya, agar bisa segera selesai. Membayar tanggung jawab pada orang tua, dan cepat mendapat kerja. Atau mungkin…hanya untuk menjauhimu saja. 
Maka kini saya pergi, membawa cinta di hati, dan selalu mendoakanmu dari jauh nanti.
Bahwa saya berharap kamu selalu baik - baik saja.
Bahwa saya berharap kamu akan selalu bahagia, entah dengan siapa.
Dan untuk semuanya, kamu bisa dapatkan itu dengan cuma-cuma, tanpa perlu membalasnya.
Dear kamu,
Dari jendela pesawat, saya bisa merasa saya dibawa semakin menjauhimu. Namun cinta ini, dulu, kini dan nanti, akan selalu ada untukmu.
***