Monday, February 25, 2013

Jakarta Punya Seribu Gereja di 2014

Dalam tulisan saya yang sebelumnya, yang sumbernya diambil dari hasil penelitian Tim Peneliti Yayasan Wakaf Paramadina, yang berjudul Negara Gagal Menjamin Kebebasan Beragama, timbul pertanyaan dari seorang kompasianer Abdul Soleh: Jika seandainya tidak ada “denominasi” maka jemaat dapat beribadah di gereja manapun. Hal ini akan mempermudah jemaat, daripada harus beribadah di gereja yang jauh dari tempat tinggalnya. “Denominasi” ini pula lah yang menyebabkan kebutuhan gereja di suatu wilayah padahal di wilayah itu sudah ada gereja yang bisa dimanfaatkan untuk beribadah.
Pertanyaan ini sering kita temui dalam kasus-kasus pendirian gereja. Sudah ada gereja di wilayah ini, mengapa tidak beribadah di gereja yang sudah ada? Kenapa harus membangun gereja lagi?
Gereja, pada definisinya adalah persekutuan orang Kristen. Tempat berkumpulnya orang Kristen. Karena disebut persekutuan, maka ada unsur komunitas di dalamnya. Ada gereja-gereja “tradisi”, disebut demikian, karena di dalam gereja tersebut unsur tradisi Indonesia dimasukkan. Contohnya Gereja Kristen Jawa, dimana bahasa Jawa kromo inggil digunakan dalam tata ibadah. Dengan demikian, tidak semua orang Kristen dapat mengikuti tata ibadahnya sekalipun ada terjemahannya. Demikian juga HKBP yang mengadopsi budaya Batak di dalam tata ibadahnya.
Selain dikelompokkan dalam komunitas budaya, gereja juga dikelompokkan dalam komunitas yang berlandaskan kekeluargaan. Dimana gereja “dipercaya” sebagai satu tubuh, sehingga satu bertumbuh, semua juga bertumbuh dalam iman. Dalam komunitas-komunitas gereja ini, jemaat terdaftar sebagai anggotanya, beberapa gereja menerbitkan kartu keanggotaan gereja. Sehingga, urusan kelahiran, pernikahan, kematian, dicatatkan dalam gereja tersebut.
Adanya komunitas, juga memungkinkan gereja dan jemaat untuk saling membantu. Misalnya membantu saat terjadi kesusahan, membantu memberikan bimbingan usaha, penyediaan modal usaha, menyediakan alkitab bagi yang tidak mampu membeli alkitab, piknik bersama, masak bersama, bisnis bersama, mengecat rumah teman dalam komunitas dan seterusnya. Tidak jarang, gereja memiliki koperasi simpan pinjam, toko buku, percetakan, sekolah, pelatihan marketing, pelatihan pengembangan karakter, berbagai training seperti multimedia, fotografi dan perpajakan, layanan penguburan, layanan konseling rumah tangga, kunjungan orang sakit, rehabilitasi narkoba, klinik, bursa tenaga kerja, lembaga bantuan hukum, gedung pertemuan yang disewakan, dan seterusnya.
Untuk memudahkan jemaat agar dapat saling tolong menolong satu sama lainnya, biasanya komunitas dibagi berdasarkan wilayahnya. Dari wilayah yang besar, dibagi lagi menjadi komunitas di wilayah yang lebih kecil, misalnya se-kecamatan atau se-kelurahan. Dengan demikian setiap anggota yang mengalami kesusahan dalam komunitas kecil tersebut dapat ditanggung bersama oleh jemaat lain dalam komunitas kecil tersebut.
Biasanya, komunitas terkecil berjumlah sekitar 10 orang. Yang sering berkumpul di hari biasa. Entah untuk berdoa bersama, atau melakukan kegiatan bersama. Jika jumlah komunitas menjadi banyak, maka diperlukan tempat ibadah di wilayah tersebut.
Denominasi, membedakan satu gereja dengan gereja yang lain. Secara esensi ajaran tidak ada perbedaan. Yang berbeda hanya ‘kultur’ di dalam gereja itu sendiri. Ada gereja yang suka gaya bernyanyi yang begini dan sementara gereja lain suka gaya bernyanyi yang begitu. Ada gereja yang “spesialisasinya” pengajaran, ada yang “spesialisasinya” kesembuhan, ada yang “spesialisasinya” mendoakan orang kerasukan setan, ada yang “spesialisasinya” bicara tentang kelimpahan harta, ada yang umum-umum saja, dan seterusnya.
Itulah sebabnya, jemaat tidak bisa begitu saja beribadah di gereja lain yang ada di suatu wilayah. Bisa saja sebagai jemaat tamu kalau mau. Atau mendaftarkan diri menjadi anggota jemaat di gereja tersebut. Namun, jika sudah terlanjur akrab dengan teman-teman di gereja lama, dan sudah terlanjur terbiasa dengan “gaya” tata cara peribadatan di gereja denominasi asal, biasanya memerlukan adaptasi untuk bergabung di gereja baru. Yang biasa beribadah di tempat yang nyanyinya bisa sambil lompat lompat dan bertepuk tangan dengan alat musik lengkap, tentu tidak nyaman beribadah di gereja yang bernyanyi dengan tenang, khidmat, diiringi organ dan paduan suara saja. Demikian sebaliknya.
Dengan demikian, jemaat umumnya lebih memilih tinggal dalam komunitas / denominasi sendiri, dan mengajukan permohonan tempat ibadah kepada pemerintah setempat. Karena akan sulit jika harus menumpang di gedung gereja lain, dimana pertemuan dalam komunitas gereja tidak hanya hari minggu. Ada banyak kegiatan kegiatan di hari biasa yang dilakukan, seperti latihan musik, pengajaran, doa, kegiatan-kegiatan administrasi umum seperti urusan keuangan gereja, penggajian staff, pencatatan anggota jemaat, dan sebagainya. Untuk mengakomodir keperluan komunitas tersebut, maka diperlukan gedung gereja baru.