Monday, February 25, 2013

Aher Mundur, Dede Kabur, Oneng Gubernur, Gue?????

TEMPO.CO, Bandung - Ketua Budget Government Watch Dedi Haryadi menyatakan ada dugaan kredit bermasalah Bank Jabar untuk Koperasi Bina Usaha bentukan PT Alpindo Mitra Baja.

Pinjaman sebesar Rp 38,7 miliar pada 2012 itu rencananya dipakai untuk usaha simpan-pinjam 600-an karyawan perusahaan suku cadang alat berat tersebut dan 6.200 nasabahnya. “Pencairan kreditnya begitu mudah karena diduga ada campur tangan Gubernur sebagai pemilik saham mayoritas,” ujar Dedi seperti dimuat Majalah Tempo edisi 25 Februari 2013. 

Kecurigaan Dedi bersandar pada pemeriksaan Bank Indonesia pada Agustus-Desember 2012. Dalam audit itu, bank sentral menemukan pemberian kredit tak disertai dokumen yang valid. Data Koperasi, misalnya, tak disahkan oleh Dinas Koperasi Kabupaten Sukabumi. Ada dugaan gaji karyawan dan skala usaha PT Alpindo digelembungkan. Ketika kredit disetujui, uang tak disalurkan langsung ke rekening karyawan, tapi ditarik pejabat Koperasi. 

Para auditor bank sentral memberi catatan, Bank Jabar tak memverifikasi laporan keuangan PT Alpindo dan Koperasi Bina Usaha serta tak mengecek kebenaran slip gaji karyawan. Faktanya, gaji karyawan PT Alpindo yang diajukan ke bank jauh di atas upah minimum regional Sukabumi. 

Upah minimum di kabupaten ini Rp 890 ribu, sementara Alpindo menyebut gaji minimal pekerjanya Rp 3,8 juta. Akibatnya, total gaji yang dibayarkan Alpindo setahun mencapai Rp 37,9 miliar. Padahal, dalam laporan keuangan, perusahaan hanya mengeluarkan Rp 14,8 miliar.

Skala usaha juga naik fantastis. Dari empat lini usaha senilai Rp 20,9 miliar pada 2010 naik menjadi 17 lini senilai Rp 288,8 miliar setahun kemudian. “Saat diperiksa, memang ada masalah,” kata Lucky Fathul Azis Hadibrata, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Bandung saat kredit dicairkan dan auditor turun lapangan. Lucky kini deputi komisioner Otoritas Jasa Keuangan. (Selengkapnya di Kredit Lancung dan Janji Peti Mati
)

Tempo mengecek hasil pemeriksaan itu ke PT Alpindo. Ini perusahaan lumayan besar di Cisaat, Sukabumi. Terletak di tengah permukiman penduduk, salah satu pabrik Alpindo berdiri di atas tanah 1,5 hektare. 

Menurut Pramudya, seorang pekerja, Alpindo punya tiga pabrik lain yang tersebar di Cisaat. “Di sini hanya membuat robot, suku cadang sepeda motor, dan suku cadang alat berat,” ujarnya. 

Bekerja dua tahun di Alpindo sebagai pembuat mesin bubut, Pramudya mengaku tak mendapat kredit dari Koperasi Bina Usaha. Bergaji Rp 1,2 juta sebulan, ia kaget ketika diberi tahu gaji minimal karyawan Alpindo Rp 3,8 juta seperti tertera dalam dokumen kredit. 

Nasib Pramudya sama dengan Sutisna. Meski sudah karyawan tetap, ia tak mendapat kredit. Cecep Rahman, tetangganya di Cibatu, mendengar percakapan Sutisna dan orang tuanya ketika petugas Bank Jabar mensurvei rumah. 

Meski mereka tak mengajukan permohonan pinjaman, rumah Sutisna ikut disigi karena dimasukkan ke daftar peminjam. Sebagai uang tutup mulut, “Saya diberi Rp 200 ribu,” kata Sutisna seperti ditirukan Cecep.

Umumnya karyawan mendapat pinjaman dengan rasio cicilan melewati 30 persen gaji--batas maksimal yang dibolehkan bank. Dedi Junaedi, manajer produksi pengelasan yang bergaji Rp 6,5 juta, misalnya, mendapat pinjaman Rp 100 juta. Tiap bulan gajinya dipotong perusahaan Rp 2.575.000 atau sekitar 40 persen. “Uang pinjaman saya ambil tunai ke Koperasi,” ujarnya.

Ayep Zaki, pemilik PT Alpindo, tak ada di empat pabriknya ketika disambangi. Begitu pula adiknya, Yodi Sirojudin--pemilik saham dan direktur pemasaran. Para karyawan mengatakan bos-bos mereka sedang punya urusan bisnis ke Thailand. Nomor telepon para bos juga tak aktif. 

Ahmad Heryawan menyangkal terlibat dalam pencairan kredit di Bank Jabar. Aher -begitu ia biasa disapa, semula bersedia memberi waktu wawancara dengan syarat pertanyaannya hanya yang berkaitan dengan pemilihan gubernur. 

Tapi, ketika didesak pertanyaan seputar kredit Bank Jabar, ia meradang. “Kalau soal itu, saya tak mau,” ujarnya. “Soal kredit itu fitnah besar, gua bisa lawan.” (Baca: Ahmad Heryawan: Itu Fitnah Besar)