Monday, March 11, 2013

Toilet Sebaik-baik Tempat Buat Nulis

‎”Tempat Suci” untuk Menulis
.
Oleh: Pepih Nugraha
.
 | 10 March 2013 | 19:34 WIB
.
Kelihatannya berlebihan, lebay kata anak gaul sekarang. Benarkah untuk menulis kita harus memiliki “tempat suci” (sacred place)? Bukankah kata-kata “suci” merujuk pada kegiatan yang ada kaitannya dengan ritual keagamaan, atau setidak-tidaknya terkait religiositas seseorang?
Boleh jadi “ya”, sebab yang memproklamirkan bahwa seorang penulis harus punya “tempat suci” itu adalah Joseph John Campbell (1904-1987). Selain dikenal sebagai penulis Amerika jempolan, Campbell juga seorang ahli mitologi dan beberapa tulisan di antaranya mengenai perbandingan agama.
Pertanyaannya; haruskah seorang penulis, Anda atau saya, memiliki tempat khusus untuk menuangkan seluruh ide yang disebut “sacred place” itu?
“Anda harus punya tempat khusus (untuk menulis) di mana barang satu jam atau satu hari Anda tidak tahu apa yang ada di koran hari ini, bahkan Anda tidak tahu (untuk sementara) teman-teman Anda sendiri,” kata Campbell.
Memang terkesan belebihan apa yang dikatakan Campbell itu, tetapi saya tangkap di sana mengandung kebenaran. “Tempat suci” untuk menulis bisa saja kamar pribadi yang tertutup, ruang keluarga yang nyaman, taman kota yang segar, atau bahkan kamar tidur yang sunyi.
Bagi penulis tertentu, “sacred place” itu mereka temukan di cafe, warung kopi, atau perpustakaan sambil menikmati wi-fi gratis. Beberapa penulis kenamaan, khususnya di Amerika yang memang benar-benar mendedikasikan diri untuk menulis, ia biasa menyewa cotage di bibir pantai yang menghadap laut selama beberapa pekan ke depan. Menulis, hanya untuk menulis.
Bagi Campbell, “tempat suci” itu semacam tempat inkubasi kreatif (the place of creative incubation) di mana berbagai bentuk tulisan lahir dan mengalir dari tempat ini, baik fiksi maupun nonfiksi. Pada awalnya mungkin tidak akan terjadi apa-apa di sana, kata Campbell, “Tetapi jika Anda memiliki tempat yang suci dan menggunakannya, sesuatu pada akhirnya akan terjadi di sana.”
Kalimat terakhir Campbell “sesuatu pada akhirnya akan terjadi di sana” bisa saja berbentuk puisi, cerita pendek, novel, artikel, essai, resensi, skrip film, drama, dan berbagai bentuk tulisan kreatif lainnya.
Kalau Anda tanyakan kepada saya pribadi apakah saya memiliki “tempat suci” semacam itu? Saya jawab, “ya”. “Tempat suci” saya untuk menulis adalah “everywhere”, di mana pun asalkan itu masih di bawah naungan langit. “Tempat suci” saya untuk menulis bisa di mana-mana, bisa kapan saja, dan menggunakan media apa saja yang sekiranya saya gunakan untuk menulis.
Bahkan sebagai jurnalis, saya biasa menulis di bawah tekanan dan todongan “deadline” editor yang punya daulat. Kondisi semacam itu tentu tidak menyenangkan: menulis di bawah tekanan. Akan tetapi, pengkondisian itu justru telah membuat saya “cuwek” dengan keadaan sekitar saat saya terperangkap ekstase menulis. Biar langit akan runtuh, saya tetap menulis.
Nah, bagaimana dengan Anda?
Silakan temukan “tempat suci” Anda masing-masing untuk menuangkan seluruh ide dan gagasan dalam bentuk tulisan. Tentukan sendiri tempat yang nyaman dan “suci” untuk menulis, yang membuat kreativitas menulis Anda tak terbendung bagai tsunami menerjang daratan.
Salam….