Sunday, March 24, 2013

Inikah SurgaMu??

Berebut Surga Itu Perilaku Kurang Sehat
.
Oleh: Masdarudin Ahmad
.
 | 24 March 2013 | 08:44 WIB
.
Nabi Muhammad saw. pernah ditanya sahabat: dimana letak surga dan dimana pula letak neraka? Nabi saw. balik pertanya: dimana siang ketika datang malam?
Jawaban Nabi mirip pendapat Albert Einstein, si Yahudi penemu teori relativitas, ketika mengukur sudut lingkaran. Katanya: jarak surga ke neraka cuma satu jengkal.
Aku tertegun dengan Einstein yang kemampuan berfikirnya dapat menemukan surga dan neraka. Padahal pendapat Einstein berdasarkan rasio, Nabi berdasarkan wahyu.
Apakah Einstein pernah membaca pendapat Nabi? atau hanya kebetulan saja? atau juga Einstein mendapat “wahyu”?
Masalah Nabi mendapatkan “inspirasi” untuk menjawab pertanyaan itu atau perihal Albert Eistein berfikir menghitung sudut lingkaran sehingga berpendapat sama dengan Nabi tentang surga dan neraka! tidak akan dibahas dalam tulisan ini.
Menurut saya keduanya memiliki kebenaran yang sama. Sumbernya dari wahyu atau dari akal tidak terlalu penting. Seandainya kebenaran itu keluar dari batupun akan diterima. Karena Nabi, Einstein atau batu hanyalah media yang melaluinya Allah menyampaikan kebenaran. Kebenaran itulah yang lebih penting untuk dipahami dan diaktualisasikan.
Pemahaman dan aktualisasi tentang surga dan neraka
Karena kata Nabi surga dan neraka tempatnya sama (siang dan malam) atau berimpit kata Einstein (satu jengkal), maka tidak perlu berebut surga. Apalagi mengklaim hanya kita dan kelompok kita yang masuk surga, sedangkan yang lain masuk neraka adalah Prilaku Kurang Sehat yang mesti disingkirkan.
Masuk surga atau neraka tidak penting dan tidak perlu dipikirkan.  Balasan surga dan neraka yang Allah firmankan atau Nabi sabdakan hanyalah iming-iming untuk pemula agar mahu beribadah dengan melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Sama seperti anak-anak yang dibujuk dengan hadiah ketika mahu melakukan kebaikan dan diberi hukuman ketika mengerjakan keburukan.
Untuk orang lama dan sudah dewasa hadiah (surga) dan hukuman (neraka) sudah tidak dibutuhkan lagi. Berbuat baik bukan karena surga dan meninggalkan yang jahat bukan karena takut neraka. Melainkan karena cinta yang tulus suci kepada yang ada.
Surga dan neraka adalah takdir Tuhan.
Terserah Tuhan menakdirkan kita masuk surga atau masuk neraka. Itu mutlak kuasa Tuhan. Bagi orang beriman surga dan neraka tidak perlu dipilih atau diminta. Dengan kata lain, surga dan neraka sama saja. Tempatnya juga sama atau berimpit.
Jika sudah setuju anda tidak perlu meneruskan membaca tulisan ini. Untuk yang masih bingung teruskan membaca cerita berikut.
Suatu hari saya bertamu dan bermalam di rumah seorang arif yang ahli ibadah. Menurut orang kampung dia adalah dukun atau bomoh yang handal. Hanya dengan do’a segala persoalan dapat diatasi.
ramai yang datang kepadanya hanya mohon restu dan do’anya. Seperti calon kepala desa agar dipilih warga, isteri yang suaminya selingkuh agar segera insaf, bahkan kabarnya calon DPR dan Capres juga datang ke kediamannya.
Saya datang bersama tiga orang teman tidak ada keperluan khusus, selain silaturrahim dan mencari tahu dari dekat hal ihwal beliau yang sudah tersohor sampai kemana-mana.
Ketika kami datang, terlihat ada beberapa orang tamu yang sedang berkonsultasi. Setelah selesai, kamipun dipersilahkan masuk dan disampaikan kepadanya maksud kedatangan kami. Lalu kami dipersilakan duduk dan berbincang panjang dengan beliau.
Begitu waktu maghrib tiba, beliau langsung bergegas mengajak kami shalat. Kamipun mengambil air sembahyang terlebih dahulu. Sejenak menunggu kami selesai wudhu’, beliau bertafakkur  seraya membaca shalawat kepada Nabi dengan penuh perasaan. Ketika sudah siap, beliau berdiri mengimami shalat yang ditutup dengan membaca pujian (wirid) seperti biasa. Tidak ada do’a yang dibaca untuk kami aminkan. Kamipun berdo’a masing-masing.
Kemudian beliau masuk ke kamarnya. Kami sejenak dibiarkan berempat di ruangan itu. Kami bebual kecil setengah berbisik untuk mengisi waktu menjelang tuan rumah datang.
Dalam hati ada beberapa hal yang mengundang tanya, agak heran dan ragu melihat kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang ada. Sangat-sangat sederhana sekali. Kebetulan hujan rintik-rintik, terasa ada air yang masuk. Atap rumahnya banyak yang bocor.
Tak lama beliau datang dan kami diberi minum dan makanan ringan seadanya (kopi dan ubi rebus). Kemudian dipersilakan makan malam hanya dengan Indomie rebus.
“Kalau memang handal dan do’anya dikabulkan mengapa dia tidak meminta yang lebih baik. Setidaknya lebih pantas sebagai orang yang banyak tamunya dan sering diminta keberkahan do’anya.”, kata hatiku ngerasani.
Akupun disadarkan dengan masuk waktu shalat berikutnya dengan ajakan beliau melaksanakan shalat berjamaah. Yang terjadi juga sama persis. Shalat ditutup dengan zikir sekedarnya tanpa do’a. Kemudian beliau masuk lagi ke kamar dengan membiarkan kami di ruangan yang sama, karena memang tidak ada ruangan lain selain dapur, kamar tidur isteri dan anaknya dan kamar beliau.
Sekitar  setengah jam berikutnya beliau keluar dari kamarnya dan menemani kami berceloteh. Semua serba biasa saja. Tidak ada tanda-tanda istimewa seperti yang tersebar sampai ke ceruk-ceruk kampung dan pelosok negeri. Tapi karena memang sudah tertanam niat untuk bermalam di rumah beliau, kamipun tidak beranjak.
Ketika itu jam 24.00 Wib. Kami dipersilakan untuk istirahat tidur di ruang yang sama. Disiapkan alas lantai dari tikar pandan dan bantal yang hanya 2 bh. Ketika kami mulai tidur, beliaupun beralih kembali ke kamarnya. Teman-teman lansung tidur. Aku tidak dapat terpejam, maka kupandang sekeliling sambil mencari tahu apa gerangan yang dia buat di kamar itu.
Dalam kondisi sunyi senyap, terdengar jelas suara putaran tasbih dan isyak tangis menyebut Allah. Berarti beliau sedang berzikir. Berasyik masyuk dengan Tuhannya di tengah malam yang senyap. Sessudah cukup lama, beliau keluar dari kamar. Kuperkirakan mahu tidur.  Dugaanku salah. Beliau hanya mengambi wudluk dan melanjutkan shalat dan zikir kembali. Senyap sunyi dan kami tertidur pulas. Masuk waktu subuh kami dibangunkan dan kami shalat berjamaah seperti biasa, diakhiri dengan zikir tanpa do’a.
Setelah shalat kamipun kembali ditemani di ruang yang sama. Kesempatan pagi ini waktu menjelang kami pulang, perbincangan semakin akrab. Salah seorang teman bertanya kepada beliau, seperti juga menjadi tanda tanya saya: mengapa tidak berdo’a setelah shalat? “malu sama Gusti Allah” , jawabnya. “semua sudah dicukupi, sesuai keperluan kita. Jadi jangan nambah yang macem-macem, nanti tambah susah, saya tidak sanggup”, lanjutnya.
Tapi orang lain embah do’akan?
+”siapapun yang minta kita do’akan agar keperluannya dikabulkan”.
- “dia sanggup?”,
+”terserah orangnya dan Tuhan, kan saya hanya memohonkan do ‘a sesuai dengan yang diperlukan”.
-”Do’a embah dikabulkan?”
+”Tidak tahu saya, itu urusan Tuhan.”
Kami termenung mendengar jawaban embah yang apa adanya dan to the point. Jadi malu mahu bertanya yang lain. Tapi masih ada sesuatu yang menuntut untuk diungkapkan.
Dengan sangat berat akupun bertanya: “Jadi embah tidak meminta agar Tuhan memasukkan ke surga?”
“Terrserah Tuhan, surga atau neraka sama saja. Itukan sudah ketentuan taqdir”. “Persoalan surga atau neraka, saya beri keterangan dengan cerita, ya?”,  embah melanjutkan dengan nada tanya. Kamipun setuju dengan mengangguk.
“besok di akhirat, ada orang yang ditakdirkan masuk surga, tetapi ketika di dunia orang itu jarang beribadah dan kemaksiatan yang dilakukan lebih banyak dari kebaikannya, ketika ditimbang amal perbuatannya itu di Yaum al Hisab, maka dosanya lebih banyak daripada pahalanya. Sesuai takdir, orang itu tetap masuk surga, tetapi tidak dapat menikmati apa yang ada si surga karena tidak memiliki pahala yang seharga nikmat surga. Bahkan dosa yang lebih banyak itu menjadi siksa dan penderitaannya. Walaupun tinggal di surga, tetapi apa gunanya? Sedikitpun dia tidak bisa merasakan kenikmatan surga, bahkan menderita dan tersiksa. Dia hanya nonton orang yang mendapat kenikmatan di surga itu. Orang seperti ini lebih terrsiksa dan menderita, bukan?
Sebaliknya ada orang yang ditkdirkan Allah masuk ke dalam neraka, tapi ketika di dunia rajin beribadah dan amal perbuatannya serba baik. Ketika ditimbang di pengadilan Tuhan, maka pahalanya lebih banyak daripada dosanya. Sesuai takdir Tuhan, orang ini tinggal di neraka, tapi ibadah dan amal baiknya menghalangi siksa neraka. Api neraka tidak akan membakarnya dan pahala ketika di dunia menjelma menjadi kenikmatan dan kebahagiaan. Walaupun tinggal di neraka, tapi ia tidak tersiksa, bahkan mendapat kenikmatan karena pahala yang dilakukan ketika di dunia. Ia dapat melihat orang lain sedang disiksa. Enak ‘kan”
Itulah hakikat surga dan neraka yang dipersiapkan untuk kita. Jadi jangan minta macem-macem, termasuk juga surga dan neraka.