Sunday, March 24, 2013

Baca Fiksi itu Susah Pake Banget, Mas Broooh......

Belajar Menulis Fiksi (2)
.
Oleh: Agus Pribadi
.
 | 24 March 2013 | 08:52 WIB
.
Tak ada yang bisa menjamin bahwa sebuah karya fiksi dipastikan menarik. Yang bisa dilakukan adalah berusaha untuk mencapai hal itu.
Setelah percaya bahwa tips menulis itu perlu. Maka kita akan melanjutkan belajar menulis fiksi. Tips menulis merupakan teori dari menulis, sementara menulis adalah praktik dari menulis itu sendiri. Sebagaimana suatu pelajaran biasanya terdiri dari teori dan praktik. Tak ada salah satunya yang meniadakan yang lainnya. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini tak lepas dari kedua hal itu.
Tulisan ini berdasar sebagian besarnya secara autodidak dan sebagian kecilnya merujuk pada tulisan akademik. Latar belakang saya bukan dari jurusan bahasa atau sastra. Namun saya tertarik dan hobi menulis fiksi sejak 2 tahun terakhir ini.
Secara umum gaya menulis fiksi ada dua. Pertama gaya lugas, kedua gaya literer atau liris.
Gaya lugas merupakan gaya tulisan yang didominasi oleh makna denotatif. Gaya ini mengutamakan alur cerita dan isi cerita. Bahasa berfungsi sebagai penunjuk langsung hal yang dimaksudkan. Tulisan yang dihasilkan mudah dipahami oleh semua kalangan. Cerpen-cerpen Ahmad Tohari merupakan salah satu contoh gaya menulis jenis ini.
Gaya literer atau liris bisa dipahami dengan penjelasan yang ditulis Naning Pranoto di bawah ini :
Kata lain dari Cerita Pendek atau Cerpen Liris adalah, cerpen yang ditulis dengan pilihan diksi puitis. Polanya seperti karya-karya Shakespeare, yang diilhami oleh tulisan Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Poetics. Karya ini menjadi acuan para penyair dan drawaman Barat dalam menulis puisi. Kemudian, dikembangkan untuk menulis prosa yang termasuk dalam aliran romantisme.
Ciri-ciri cerpen liris antara lain ditulis dengan diksi pilihan yang puitis, deskripsi retoris (pelukisan yang penuh daya tarik) dan narasi yang tidak bertele-tele. Karenanya, cerpen liris kalimatnya tidak panjang, sangat tertata. Diksi puitis tidak harus memilih kata-kata yang ‘berbunga-bunga’ dan bombastis. Melainkan, kata-kata yang memiliki kekuatan yang menggugah emosi, tidak mengekspresikan kekejaman (jika tentang kekejaman menggunakan metafora) dan alur cerita mengalir.
William Wordsworth, sastrawan Inggris, merupakan salah seorang dari pelopor aliran sastra romantisme. Antara lain ia mengatakan, “Karya puitis sungguh menyentuh jiwa dan tidak membosankan.” Ia belajar tentang karya sastra liris sejak kanak-kanak, aats tuntunan ayahnya yang mengagumi Sastra Yunani Klasik.
Cerpen liris yang ditulis dengan diksi bombastis dan klise, disebut sebagai kategori ‘sastra ungu’. Untuk menghindarinya, sebelum menulis pahami dulu diksi yang akan digunakan untuk menulis. Kuncinya, cerpen liris lebih menggugah emosi pembaca dibandingkan dengan cerpen yang ditulis dengan bahasa nonliterer. Untuk menggugah emosi pembaca, berdasarkan teori Aristoteles setiap pengarang atau penyair perlu tahu makna retorika, metafora, ironi dan kiasan dalam memilih ‘nafas’ kata. Kemudian, kata dirangkai berlandaskan sintaksis. (Naning Pranoto).
Meskipun cerpen liris dimaksudkan untuk menggugah emosi pembacanya, namun bagi pembaca yang belum terbiasa dengan gaya tulisan jenis ini bisa kesulitan memahaminya. Bahkan bisa membaca berulang-ulang untuk memahami cerita yanga ada di dalamnya.