Sunday, March 10, 2013

Indie Books Lovers is Terlalu Mainstream, Mas Brooh.....

Bagaimana dengan dunia buku? Sebenarnya dunia buku indie sudah sangat lama berkembang dan dipakai banyak orang. Hanya saja, di Indonesia hal ini belum sepopular seperti film atau musik. Di banyak negara, praktik self publishing atau penerbitan buku secara indie berkembang cukup pesat. Milis self publishing semakin dipenuhi oleh anggota baru setiap harinya. Makin banyak penulis baru muncul dan makin beragam pula jenis buku yang meluncur ke pasar.
Di dalam negeri, beberapa penulis menerbitkan bukunya secara mandiri. Banyak alasan mengapa mereka memilih menjauh dari penerbit konvensional dan memilih menerbitkan buku sendiri. Ada yang beralasan bahwa penerbit konvensional cerewet dan mau menang sendiri dengan menekan royalti penulis pemula hingga 10%. Ada juga penulis yang memiliki keyakinan berbeda dengan penerbit. Penerbit tidak percaya bahwa buku sang penulis marketable, sementara sang penulis sangat yakin bukunya bakal best seller. Karena itu, ada penulis yang bertekad menerbitkan sendiri bukunya baik karena sudah tidak sepaham dengan penerbit konvensional, atau ada pula yang mengambil tekad tersebut karena memang mau demikian bukunya diterbitkan.
Ada baiknya kita melihat dulu dan memahami, apa dan bagaimana sesungguhnya self publish tersebut. Setidaknya pada bagian apa saja yang harus dilewati, baik penerbitan secara konvensional atau penerbit mandiri yang akrab disebut self publish.
Penerbitan buku secara mandiri atau self publish (saya lebih senang menyebutnya indie), memberi titik terang dalam dunia perbukuan di dunia dan Indonesia.
Sejak mesin Xerox ditemukan pada tahun 1970-an, otomatis produksi barang cetakan menjadi semakin gampang. Sejak itulah teknologi Print On demand mulai berkembang pesat. Di Indonesia sendiri, sistem ini mulai popular sejak sepuluh tahun belakangan ini. Sejak sistem ini mulai dikenal luas, dunia penerbitan dan perbukuan seolah mengalami sebuah kemajuan yang pesat. Pola sentralisasi produksi perbukuan tidak hanya didominasi oleh penerbit saja. Belakangan kontrolnya mulai dipegang penulis, beberapa penerbit kecil dan beberapa penerbit penyedia layanan jasa ini.
Ada banyak miss-persepsi tentang buku indie atau self publish. Self publish adalah ban serep, begitulah anggapan banyak orang. Sistem ini dipakai jika (1) sebuah naskah ditolak penerbit besar, atau (2) sebagai batu loncatan membangun nama sebelum dilirik penerbit besar, atau juga (3) jalan pintas menerbitkan karya. Kesimpulan ini saya dapatkan dari beberapa penulis yang secara jujur mengakui hal tersebut.
Setidaknya, saya menangkap ada praktik atau asumsi bahwa penerbit major konvensional itu punya standar yang luas dan ketat dalam menerbitkan dan menerima naskah, sementara penerbit indie tidak. “Kalian hanya cukup punya tulisan, duit, dan bukumu akan terbit.” Memang benar seperti itu di satu hal. Tapi ada banyak hal yang tak disadari oleh banyak penulis, bahwa selain hanya ditulis, dicetak dan dipasarkan, buku punya banyak sekali prosedur. Sebab ketika ada beberapa sesi yang dilompati, buku menjadi seolah sebuah barang produksi biasa. Seperti buah-buahan. Selesai berbuah, langsung dipetik dan dimakan. Tidak dipikirkan untuk dicuci, diolah dan dikreasikan agar rasanya lebih enak dan bisa dinikmati lebih.
Beberapa hal yang perlu dipersiapakan dalam penerbitan sebuah buku:
1. Penyuntingan/Editing
Bagian terpenting dari sebuah buku pasca selesai menulis bagi saya adalah editing atau penyuntingan. Tentu saja editing di sini tidak semata-mata hanya pengecekan tanda baca dan pembenaran ejaan saja. Tapi editing menyangkut banyak sekali hal.
Banyak orang beranggapan mengedit naskah hanyalah sebuah upaya membenarkan ejaan. Anggapan ini sangat keliru. Sebab mengedit naskah bukan hanya semata membenarkan, tapi juga mengoreksi secara utuh sebuah tulisan. Menjadikan tulisan itu sebisa mungkin menjadi tulisan sempurna yang tak bisa lagi direcoki dengan pertanyaan-pertanyaan seperti; emang iya? Masa sih? Ngaco nih buku! dan lain sebagainya. Beberapa hal penting dalam penyuntingan buku setidaknya termaktub dalam poin-poin sebagai berikut:
a. Restrukturisasi kalimat yang kacau,
b. Koherensi kalimat dan pengecekan logika bahasa,
c. Pemantapan gagasan, 
d. Pengaturan plot, penempatan ulang ide secara rapi dan tertata,
e. Pengecekan fakta,
f. Pengecekan catatan referensi,
g. Dll.
Dalam beberapa kasus, terutama dalam skala penerbitan besar, seorang editor bahkan merancang juga konsep, ukuran buku, sudut pandang penulisan, pemilihan font, rencana cover dan rencana distribusi serta pemasaran. Juga termasuk pembangunan isu serta koordinasi timbal balik antara penulis dan penerbitnya. Pada bagian  inilah, peran penting seorang editor bisa kita lihat. Setelah editing, maka proses lain berikutnya bisa dilanjutkan; layout, cover, proof, cetak, promosi, dan distribusi.
2. Penyelarasan Aksara/Proof Reading
Penyelaras aksara atau biasa disebut proof reading adalah tahap lanjutan dari editing buku. Ibarat mengecat sebuah motor atau mobil, bagian ini adalah bagian penghalusan, clearing, sehingga hasilnya makin mengilap, tidak ada bagian cat yang tak rata dan sebagainya. 
Dalam penyuntingan, proof reading mengoreksi ulang hasil seorang editor. Mengecek kembali ejaan yang masih keliru, penulisan catatan kaki, hypenation atau pemenggalan kalimat, dan beberapa hal yang terlihat sepele lainnya. Posisi ini sangat vital, sebab seorang editor tentu tak luput dari kesalahan lain yang ia kerjakan. Proof reading menekan kemungkinan kesalahan yang tak diharapkan.
Seorang proof reader bahkan kadang membaca secara terbalik kalimat-kalimat dalam sebuah naskah buku agar ia bisa benar-benar konsentrasi memeriksanya kata per kata.
3. Tata Letak/Layout
Tata letak menyangkut bagaimana sebuah buku dirancang isinya, ukuran font, mau rata kiri kanan atau rata kiri saja, format quote, dan lain sebagainya. Dalam proses ini jugalah sebuah tulisan dirancang semenarik mungkin tanpa mengabaikan bagaimana konsep isi. Tata letak juga memasukkan gambar, foto, ilustrasi dan tabel untuk mendukung beberapa fakta sebuah buku. Tugas layouter atau setter adalah menjadikan buku nyaman untuk dilihat dan dibaca. 
4. Pembuatan Sampul/Cover
Please Judge a Book with It’s Cover! Buku dengan cover yang asal-asalan adalah buku yang dibuat tidak sepenuh hati dan tidak serius. Sebuah cover harus dirancang sebagus mungkin, proporsi warna yang pas, perwakilan sebuah gagasan besar, juga sebagai ciri khas seorang penulis atau sebuah penerbitan. Cover bisa dibuat manual dengan skets, lukisan atau dengan software grafis seperti corel draw, photoshop atau adobe ilustrator.
5. Cetak
Tahap berikutnya adalah menyetak buku. Tahap ini jangan dianggap sepele. Pada tahap inilah sebuah penerbitan atau seorang publisher buku indie harus bergerilya mencari partner yang pas dan seimbang. Sebuah buku yang disusun dengan bagus kan tidak mungkin bagus jika eksekusi akhirnya tidak maksimal. Pilihan jenis kertas, cover, laminasi dan penjilidan yang rapi akan membuat prestise sebuah buku juga akan naik.
6. Distribusi dan Promosi
Takdir buku berikutnya setelah diterbitkan adalah dihadirkan ke pembaca. Maka setelah buku itu diterbitkan, menghadirkannya untuk dibaca orang lain adalah langkah yang harus segera diambil. Tentu saja hukum ini berlaku bagi semua jenis buku, kecuali memang buku yang dibuat hanya untuk koleksi pribadi, seperti buku foto atau diary yang diniatkan untuk kalangan sendiri atau terbatas.
Banyak orang yang ragu, ketika menempuh jalan indie. Mereka menganggap buku indie adalah buku tidak layak, atau buku yang belum memenuhi kriteria untuk dipasarkan. Siapa bilang? Selama semua proses produksinya dilewati dengan lengkap, baik edit, proof, cover yang bagus dan layout yang menarik, buku indie tidak ada bedanya dengan buku konvensional lainnya.
Nah, lalu bagaimana mendistribusikan buku terbitan kita sendiri? Gampang! Teknologi sudah berkembang sangat pesat. Di negara-negara maju, penjualan buku bahkan sudah bisa melalui email atau perangkat seluler, toko buku online makin bertebaran, pembeli hanya tinggal kirim email atu sms, dan buku akan segera dikirimkan. Bahkan kalau membeli ebook, ebook akan dikirim ke email atau ponsel pembeli, tinggal download dan baca. Canggih! Beberapa penerbit luar menjual buku dalam dua versi, terserah mau beli buku versi ebook atau versi print. Kita hanya tinggal telepon dan pesan, maka buku akan segera di tangan.
Perkembangan situs-situs jejaring sosial, seperti facebook, twitter dan lain sebagainya, memberi ruang untuk para penulis indie untuk memasarkan sendiri bukunya. Tidak perlu melalui distributor dengan diskon yang super besar (sampai 60%). Anda hanya cukup memajang foto buku Anda, harganya berapa, sistem pembayaran, selesailah sudah. Tinggal promosi dan menunggu sms atau telepon, atau email Anda didatangi oleh calon pembaca. Simpel sekali!
Selain itu Anda juga bisa membuatkan blog buku Anda. Banyak penyedia blog gratis, blogger, tumblr dan wordpress adalah yang paling popular. Jika Anda ingin lebi