Saturday, August 16, 2014

SEPATU BUTUT UNTUK JOKOWI DARI PRABOWO

Setiap sepatu di ciptakan sepasang, kiri dan kanan. Tidak dapat di pisahkan. Bila satu hilang. Mungkin saja yang satu akan di buang. Atau mungkin akan di simpan hingga yang satu di temukan. Seperti kisah persahabatanDara dan Aldi. Hubungan mereka seperti sepasang sepatu. Tidak dapat di pisahkan.

Masa-masa SMA memang masa yang paling indah bagi Dara. Ketika pertama kali ia menginjakan kakinya di sekolah, ketika ia berkenalan dengan teman-teman baru, dan mengenal sosok sahabat baik seperti Aldi. Awal perkenalan yang indah seindah mentari di pagi hari.

Dan kini saatnya pertemuan itu harus berakhir dengan perpisahan. Karena hari ini akan di adakan perpisahan di gedung sekolah. Semua siswa-siswi mengenakan pakaian adat.

Pagi-pagi Dara sudah bersiap-siap. Wajahnya terlihat bahagia. Dara menatap tajam cermin, sambil berkacak pinggang. Dan kemudian ia melihat jam dinding di kamarnya. Waktu menunjukan pukul setengah enam pagi. Ia bergegas menuruni anak tangga dan segera bersiap-siap untuk segera berangkat ke sekolah. Ia mengenakan kebaya berwarna merah marun. Dan menggunakan makeup natural. Sehingga ia terlihat begitu anggun dan juga cantik.

Sedangkan sahabatnya, Aldi tampak rapi dengan mengenakan jas hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Sepatunya hitam mengkilat. Maklum saja, Aldi selalu memperhatikan sepatu yang ia pakai.

Setelah sampai, Dara segera masuk ke dalam gedung. Terlihat pengurus-pengurus osis yang menjadi panitia acara.

“Aldi.” Panggil Dara sambil melambaikan tangannya. Wajahnya terlihat ceria. Dara menghampiri Aldi dengan langkah yang pelan dan anggun.

“ Halo Dara, kamu cantik sekali.” Sapa Aldi seperti terhipnotis. Matanya menatap lembut Dara.

“Haha. Tumben kau memujiku. Biasanya aku di panggil tembem.” Balas Dara komplen. Wajahnya sedikit cemberut.

“Itu, Cuma perasaan kamu aja. Damai deh. Hari ini kan hari terakhir aku di Bandung. Besok aku harus ke singapore.” Ucap Aldi cepat.

“Hmmmm, jangan bilang gitu. Aku jadi sedih. Nanti yang mau ingetin PR siapa? Yang suka jail siapa? Hufttt.” Dara mulai merasa kehilangan. Ia berjalan menghampiri teman-temannya yang lain.

“O M G helooooo..... tau gak Dar, si Andra tadi di anter kakaknya yang aku kecengin, aduh gantengnya.” Ucap Santi tiba-tiba. Teman sekelas Dara, yang centilnya gak ketulungan.

“Dasar, kenapa gak si Andra aja yang kamu keceng. Bukannya dia itu suka kamu.” Jawab Dara sambil duduk di barisan ke dua kelas IPA. “Oh iya Uchi mana? Kok aku gak liat dia.” Sambung Dara kembali.

“Uchi masih di jalan. Katanya bangun kesiangan.”

“Walah, di hari yang spesial. Masih aja kumat penyakit kesiangannya.” Kata Dara tanpa menhiraukan curhatan Santi yang super heboh itu.

Setelah itu acara pun di mulai. Berlangsung dengan penuh gembira dan berakhir haru. Dara dan Aldi duduk berdampingan. mereka bergabung bersama teman-teman yang lain. Tidak bisa mereka pungkiri. Perasaan haru sedang menyelimuti hati mereka. Karena setelah acara perpisahan mereka akan berpisah dengan sahabat-sahabatnya. Persahabatan mereka seperti sepasang sepatu. Selalu bersama. Dan kini sepatu itu akan kehilangan fungsinya.

Hingga akhirnya acara perpisahan pun tiba. wajah Dara terlihat sedih, memerah seakan-akan tak rela berpisah dengan teman, sahabat, guru, dan berpisah dengan sahabatnya Aldi.

“Al, baru kali ini aku sedih sekali. Aku tak mau kamu pergi Al.” Isi pesan Dara kepada Aldi lewat BBM.

“Aku juga Dara.” Balas Aldi.

Setelah mereka saling berpamitan dengan sahabat-sahabat sekelasnya. Dara dan juga Aldi pamit untuk pergi sebentar keluar gedung sekolah. Mereka berjalan pelan.

“Kenapa ajak aku kesini Al?” tanya Dara sambil menghempaskan badannya ke atas sopa berwarna ungu di samping gedung.

“Aku ingin memberikan sesuatu Dara.” Jawab Aldi, sambil tersenyum lembut.

“What? Sesuatu apa? Cetar membahanakah?” tanya Dara penasaran, sambil tertawa kecil.

“Ah, kau ini.” Jawab Aldi tidak serius. Sambil berjalan ke tempat parkir. Membawa kado yang sudah ia siapkan dari awal.

Mereka saling tertawa bersama. Seakan-akan mereka lupa hari ini akan terpisah oleh jarak dan juga waktu. Terkadang Dara berharap Aldi mengurungkan niatnya utuk ke singapore dan kuliah bersamanya di Universitas Padjajaran Bandung. Tapi, hal itu tidak mungkin karena Aldi sudah pesan tiket pesawat.

“Al, sesuatu apa sich? Bikin aku penasaran.” Tanya Dara terlihat penasaran. Wajahnya, penuh tanya. Sambil berkacak pinggang dan melihat apa yang sahabatnya bawa.

“Dara, kamu gak boleh nyontek. Kebiasaan kamu nyontek aja.”

“Ih, Aldi kamu jangan su’udzan gitu donk, aku kan Cuma pengen liat aja. Lagian ntar juga di kasihin buat aku kan? Huft.” Dara cemberut. Mengerutkan kening.

“Ini bukan untukmu. Ini untuk Calista. Aku mau minta tolong padamu untuk memberikan kado ini untuknya.” Jelas Aldi membuat Dara terperangah kaget.

“What?” dara tidak percaya mendengar pernyataan Aldi yang membuat seisi hatinya bergejolak. “Kamu ajak aku ke sini Cuma mau gini doank Al. Keterlaluan kamu Al. Kasiin aja sendiri. Aku ogah ketemu mantan kamu yang super centil itu.” jawab Dara sambil berlalu meninggalkan Aldi.

“Dara, bukan gitu Dar. Hei... jangan ngambek donk. Tunggu Dara.” Cegah Aldi. Sambil mengikuti Dara dari belakang. Aldi mempercepat langkah kakinya.

Dara terlihat kesal. Matanya mendelik tajam.

“Sudahlah Al, kasih aja kadonya langsung. Aku menolak keras, bantuin kamu.” Ucap Dara sambil melihat Aldi dengan tatapan terburuk dalam sejarah.

Dara melanjutkan kembali langkahnya dengan cepat dan kembali duduk bersama teman-temannya yang lain.

“Kamu dari mana sich Dar? Sebentar lagi acaranya selesai.” Tanya Santi penuh tanya.

“Tadi ada perlu dulu.”

Tidak lama kemudian acara perpisahan pun selesai. Dara segera pulang. Tanpa, menghiraukan Aldi. Karena ia benar-benar kesal ketika Aldi mencoba mengungkit masalalunya bersama Calista. Di mobil ia lama terdiam, memikirkan apa yang terjadi kepada dirinya.

“Kenapa aku marah sama Aldi? Kenapa aku merasa tidak suka ketika Aldi menyebut nama Calista? Terus kenapa aku gak menyapa Aldi tadi? Hufttt.” Bathin Dara penuh tanya.

Tak lama kemudian, ia sampai di rumah. Rasa bersalah masih menyelimuti hatinya. Ia membuka laptop dan memutar beberapa lagu favorit di winamp. Seperti remaja pada umumnya, Dara bisa merasakan galau. Ia membuka beberapa media sosial, facebook dan juga twitter. Dara melihat postingan Aldi beberapa menit lalu.

“Ngapain Aldi posting kado buat Calista. Huft jahat.” Bathin Dara geram.

“Sepatuku hilang satu. Al, aku mohon ucapkan sesuatu untukku.” Kata Dara sambil menjatuhkan diri di atas tempat tidur empuk berwarna pink.

Tanpa Dara sadari. Semalam ia ketiduran. Sehingga lupa mematikan laptop ASUS berwarna putih kesayangannya itu. Dara terperangah kaget ketika melihat tiga pesan di inbox facebook. Ternyata pesan dari Aldi.

“Dara, maafkan aku. Tadi, aku bercanda. Sebenarnya kado ini untukmu. Maafkan aku. aku hanya ingin tahu reaksimu. Maafkan aku Dara. Aku berharap, kamu mau membalas pesanku.” Pesan Aldi di Facebook.

“Dara, besok aku harus berangkat pagi-pagi. Maukah kamu ikut mengantarku ke Bandara?” pesan ke dua yang di kirimkan Aldi.

“Baiklah, kalo kamu masih tidak mau bicara denganku. Maafin aku yang udah bikin kamu marah. Aku tidak pernah bermaksud demikian. Aku ingin kamu selalu menjadi bagian di dalam hidupku. Maafin aku Dara.” Pesan terakhir yang ada di inbox facebook.

Melihat pesan Aldi. Dara segera beranjak dari tempat tidur. Ia melihat jam di kamarnya, jam 07.00 WIB.

“Oh, tuhan. Jam tujuh, aku telat ke Bandara.” Dara segera menuruni anak tangga. Langkahnya terburu-buru. Ia melihat kado berwarna merah di meja makan dekat lemari es. Ia membuka isinya. Dan ternyata kado itu pemberian Aldi. Isinya sepasang sepatu berwarna merah campur putih.

“Aku ingin kau dan aku seperti sepasang sepatu. Selalu berpasangan. Warna merah dan putih melambangkan cinta dan persahabatan. Aku berharap, kamu bisa menjaga sepatu ini. Aku ingin kita bertemu kembali. Menjaga kita agar tetap seperti sepasang sepatu.” Pesan Aldi di selembar kertas bergambar love.

Wajah Dara memerah, ia segera meminta kakaknya untuk mengantar ke bandara. Berharap Aldi masih menunggu. Ia berlari mencari Aldi. Hilir mudik orang, membuatnya kesulitan untuk mencari sahabatnya itu.

Beberapa menit kemudian, Dara belum juga bertemu Aldi. Ia sudah hampir putus asa. Nafasnya tersendat karena kecapean. Tidak sampai di situ, ia kembali mencari Aldi. Namun, masih saja tidak bertemu.

“Aku memang salah. Aku memang egois. Bahkan aku tidak pernah peduli kepada sahabatku sendiri. Semua karena aku egois. Hingga aku tak sempat mengucapkan terima kasih.” Bathin Dara.

Wajah Dara terlihat lelah. Tanpa ia duga, ia melihat Aldi dan juga keluarganya. Mereka baru saja masuk ke dalam Bandara.

“Al...” teriak Dara sambil melambaikan tangannya. Wajahnya yang hampir putus asa berubah menjadi ceria.

Tapi, keceriaan itu tidak berlangsung lama. Karena mereka tidak sempat bertemu. Penyesalan kini bersarang di benak Dara. Akibat keegoisannya ia tidak sempat bertemu dengan sahabat baiknya.

“Selamat jalan Aldi sahabatku. Maafkan aku, maafkan aku Al. Dan kini sepatu itu kehilangan fungsinya. Semoga kamu tidak melupakan persahabatan kita selama ini.”

Dara berjalan dengan langkah yang pelan. Dan kemudian berlalu dengan kisah yang baru.

Semua kisah tidak selalu indah seperti yang kita harapkan. Namun, setidaknya masih ada waktu untuk menjadikan semuanya lebih baik di masa depan.
.
.