Sunday, August 3, 2014

Indonesia PASTI DAMAI SEJAHTERA tanpa Islam Ya?!

Beberapa jam lalu, di lounge hotel tempat saya menginap sekarang, saya terlibat percakapan dengan seseorang. Beliau berasal dari Arab Saudi. Orangnya cukup bersahabat dan terbuka untuk diskusi logis. Saya senang berjumpa dan berdiskusi dengan beliau.

Setelah beberapa topik ringan, juga setelah dia mengetahui saya berasal dari Indonesia, kami pun terlibat percakapan mengenai kemungkinan penerapan syariat Islam secara Nasional di Indonesia. Saya mengetahui bahwa beliau setuju jika itu terjadi. Beberapa argumennya, mis. mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan syariat Islam menjanjikan perubahan positif dalam berbagai bidang, sudah pernah saya bahas dalam tulisan-tulisan terdahulu jadi tidak saya singgung lagi di sini.

Argumen spesifik beliau yang menarik adalah bahwa penolakan terhadap visiIslamic State lebih didominasi olehIslam phobia. Ketakutan terhadap Islam. Ketakutan itu disebabkan oleh propaganda Barat yang menampilkan wajah Islam seakan-akan menakutkan dengan cara mengasosiasikannya kepada berbagai aksi teror. "Mengapa harus takut? Islam itu membawa kedamaian. Anda hanya bisa mendapatkan kedamaian di dalam Islam. Di luar itu adalah semu,"tandasnya.

Saya tidak ingin masuk dalam perdebatan teologis tentang: Apakah secara filosofis-teologis Islam merupakan agama damai? Apakah hanya di dalam Islam ada kedamaian? Apakah semua agama lain hanya menjanjikan kedamaian semu? Isu-isu ini adalah isu-isu teologis dan bukan tempatnya di sini untuk diperdebatkan. Saya juga tidak ingin terlibat dalamdugaan apakah propaganda Barat yang diklaim itu faktual atau klaim kosong saja. Saya juga tidak bertendensi membahas asosiasi antara perjuangan khilafah dengan aksi terorisme. Itu semua tidak saya bahas di sini. Jadi saya hanya fokus pada klaim dan argumen bahwa mereka yang menolak penerapan syariat Islam secara Nasional mengidap Islam phobia.

Saya menganggap argumen di atas menarik karena argumen semacam itu laris manis digunakan di Indonesia. Di berbagai media online, termasuk di Kompasiana, mereka yang mendambakan Indonesia menjadiIslamic state seakan-akan menimpuki semua argumen penolakan terhadap visi itu hanya dengan satu kata: phobia! Anda mengidap Islam phobia, maka argumen Anda gugur. Begitulah argumen ringkasnya!

Singkat saja, seperti yang juga saya kemukakan kepada rekan bercakap saya di atas, cara berargumen yang demikian merupakan cara berargumen yang fallacious. Cacat logika. Sesat pikir. Sebutan teknisnya (terminus technicus) adalah psychogenetic fallacy(sesat pikir psikogenetik).

Sesat pikir psikogenetik terjadi ketikaseseorang menolak argumen lawan dengan semata-mata membedah kondisi psikologis tertentu dari lawan diskusinya ketimbang secara direct membahas argumen lawan diskusinya. Dengan kata lain, orang melakukan sesat pikir ini dengan fokus pada mengapa sebuah klaim dan argumen dikemukakan dengan merujuknya kepada kondisi psikologisnya lalu menyimpulkan bahwa klaim dan argumen tersebut gugur (invalid).

Coba perhatikan konstruksi sesat pikir psikogenetik tersebut, di bawah ini:

Premis     : Anda mengklaim A salah/benar
Premis     : Kondisi psikologis Anda menyebabkan Anda mengklaim A salah/benar
Inferensi: Kondisi psikologis itu menyebabkan Anda bias
Konklusi : Karena itu klaim Anda gugur (invalid).


Saya akan memperlihatkan invaliditas argumen psikogenetik tersebut dalam dua analogi di bawah ini.

Pertama, Anda sangat mencintai seorang wanita. Wanita pujaan Anda tersebut diperkosa. Anda berjuang membela wanita pujaan Anda. Anda menyatakan "perkosaan adalah sebuah kejahatan yang patut dihukum seberat-beratnya." Itu adalah klaim Anda. Bayangkan, ada seseorang yang menyamperi Anda lalu berkata begini: "Diam saja, Anda mengklaim begitu karena Anda mencintai wanita tersebut."

Bahwa Anda mencintai wanita tersebut, itu satu hal. Adalah hal lain ketika orang semata-mata menolak klaim Anda hanya karena Anda mencintai wanita tersebut! Bisa jadi rasa cinta Anda menimbulkan bias tertentu. Tetapi klaim Anda bahwa perkosaan itu kejahatan serius tetap stand bahkan ketika Anda cinta atau tidak cinta terhadap wanita tersebut.

Dan kedua, Anda baru saja mengalami perampokan tragis. Ibu Anda meninggal ditembak para perampok. Adik perempuan Anda satu-satunya pun ikut meregang nyawa dalam aksi bejat mereka. Anda menulis sebuah artikel di Kompasiana melawan perampokan. Para perampok bagi Anda adalah iblis berwujud manusia. Anda mengategorikan perampokan sebagai kejahatan nomor 1. Bayangkan, ada orang yang mampir ke lapak Anda dan berkomentar: "Ya, Anda mengklaim begitu karena Anda phobia terhadap perampokan."

Bahwa Anda phobia, sangat mungkin. Bahwa Anda bias karenaphobia, juga sangat mungkin. Tetapi klaim dan argumen Anda tidak dapat ditolak hanya semata-mata karena Andaphobia dan bahwa Anda bias karena phobia.

Saya sengaja menggunakan dua analogi yang agak ekstrim di atas untuk memperlihatkan bahwa bahkan dalam kondisi psikologis yang paling ekstrim sekalipun dan bahwa bahkan ketika benar ada kondisi psikologis yang ekstrim tersebut dalam diri seseorang, Anda tidak dapat sekadar menolak klaim dan argumennya hanya dengan mengidentifikasi kondisi psikologisnya.

Jadi, bagi Anda yang mendambakan Indonesia menjadi Islamic state, silakan temukan klaim dan argumen yang lebih baik untuk kita bahas, ketimbang sekadar berlindung di bawah ketiak sebuah argumen sesat pikir bernamapsychogenetic fallacy. Semoga, artikel ini bermanfaat bagi Anda yang disuguhi argumen semacam ini. Juga bermanfaat untuk "menghentikan" postingan-postingan yang semata-mata mempropagandakan argumen sesat pikir ini.

Akhirnya, mari kita jaga bersama keutuhan Ibu Pertiwi. Pilar-pilar kebangsaan: UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI adalah fondasi penopang keutuhan tersebut. Jangan biarkan apa atau siapa pun menggoyang apalagi mencabut pilar-pilar tersebut. Sebab ketika itu terjadi, Indonesia bukan lagi Indonesia! Saya kira, kita tidak menginginkan hal tersebut!
.
.