Sunday, March 3, 2013

Oneng Akhirnya Oneng si Banteng Mabok

Si Oneng, Sudah Oon Ngeyel Pula
.
Oleh: Kanedi
.
 | 03 March 2013 | 10:34 WIB
.
Hanya orang yang benar-benar pandir saja yang akan percaya bahwa karakter yang diperankan seorang aktris dalam cerita film atau sinetron itu sama dengan karakter asli si aktris dalam kehidupan sehari-hari.
Hal itu tentu berlaku juga buat rakyat Jawa Barat. Meski mereka lebih akrab dengan nama Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri, ketimbang nama asli si pemerannya, Rieke Dyah Pitaloka,  tentu mereka tidak akan percaya bahwa karakter asli Rieke sama dengan si Oneng.
Jadi, kalaulah mayoritas (> 70%) pemilih di Jabar tidak mempercayakan pilihannya pada pasangan  Rieke Dyah-Teten Masduki dalam Pilkada Jabar yang baru lalu (24/2/2013) tentu bukan karena mereka terpengaruh stereotype  “oon” si Oneng dalam menilai kompetensi Rieke sebagai calon gubernur.
Akan tetapi, melihat sikap Rieke dan kubu pengusungnya yang terkesan tidak menerima “kekalahan-sementaranya” dalam pilgub Jabar itu,  hanya karena keyakinan sepihak, mau tidak mau stereotype oon—meski  hanya kiasan—pantas  dialamatkan pada Rieke.
Hitung cepat tidak sama dengan survey
Memang betul bahwa hasil hitungan cepat bukanlah hasil final-legal dalam proses (politik) pemilu. Tetapi hasil hitung cepat tidak bisa disamakan lagi dengan hasil survey.
Hasil survey bisa saja keliru, sebab survey didasarkan pada pandangan/persepsi/selera/rencana/niat responden (calon pemilih) terhadap para calon. Masalahnya, responden survey itu sendiri belum tentu menggunakan hak pilihnya, bisa karena sengaja golput, kesibukan, berpergian, sakit dan sebagainya.
Hal lain yang bisa mengubah hasil survey  adalah sikap manusia (responden) yang bisa berubah, perubahan sikap itu bisa terjadi hanya dalam hitungan detik.
Sebaliknya hitung cepat, meski secara metodologi sama dengan survey  (sampling methods), tetapi target hitung cepat adalah sesuatu yang sudah terjadi, pasti dan firm. Jika sample yang dipilih (strata, cluster, dan size-nya)  benar-benar representative maka akurasi hasil hitung cepat sangat-sangat tinggi.
Dalam pilkada Jabar ini  hitung cepat dilakukan oleh banyak lembaga survey dengan hasil yang seragam. Jadi, hasil hitung cepat pilkada Jabar yang menempatkan  pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar sebagai pemenang sangat bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Jadi, sikap ngotot  kubu Rieke-Teten yang masih percaya bahwa mereka masih berpeluang menang ditengah keseragaman hasil hitung cepat mayoritas lembaga survey adalah sebuah kebodohan. Kebodohan  khas si Oneng yang memang oon.
Sikap seperti itu alih-alih menuai simpati, boleh jadi kontra produktif bagi dirinya sendiri, kolega, dan partai tempatnya bernaung, khususnya di Jawa Jarat.  Semoga saja calon-calon kepala daerah yang diusung PDIP, seperti Effendi Simbolon yang kini sedang bertarung meraih kursi Sumut-1,  tidak terkena imbas negatif sikap naïf Rieke dan pendukungnya itu.