Sunday, March 3, 2013

Anonymous Writter

Ada yang masih ingat dengan istilah surat kaleng? Kira-kira dimana letak beda antara surat kaleng dengan artikel yang ditulis oleh penulis anonim?
Secara umum, penulis surat kaleng biasanya mengirim surat untuk dibaca dan tanpa perlu diperdebatkan, diuji kelayakannya dan dipertaruhkan kebenarannya. Isinya pun cenderung berupa ancaman dan serapah. Sementara penulis anonim, sebagaiamana penulis-penulis di Kompasiana ini jauh berbeda dengan penulis surat kaleng, sebab penulis anonim masih mau memperdebatkan, membincangkan kebenaran isi artikelnya dengan fakta dan data-data.
Karena itu, saya masih menghormati dan menjunjung tinggi anonimitas beserta artikelnya yang datang dari siapapun dan manapun tanpa peduli apakah dia masih bocah DeGil atau kakek-kakek pikun, saya juga tak peduli anonim itu datang dari jebolan mana berasal. Tetapi tidak untuk penulis surat kaleng dan isinya.
Jadi, jika terdapat penulis anonim yang tidak bersedia menujukkan identitas dan jati dirinya seperti di Kompasiana ini, itu sama sekali bukan menjadi alasan untuk mempermasalahkan keberadaan dan eksistensinya.
Soal baik-buruk, benar-salah anonimitas itu bukan konsensus publik, bukan pula norma-norma seperti kesepakatan di dunia nyata yang justru terasa “membatasi” ruang gerak ekspresi, yang sering menimbulkan konflik antara imajinasi privat dengan konsensus norma di ruang publik. Sebegitu terasa mengikat dan sangat membatasi gerak.
Ruang maya seperti Kompasiana ini memberikan dunia baru yang memberikan ruang, peluang dan gerak lebih bebas untuk aktualisasi diri dan unjuk diri, dimana si pelaku juga bisa membangun identitas sesuai dengan keinginan dirinya tanpa harus merasa terikat dengan norma-norma dunia nyata.
Misalnya dengan memilih nickname @Rosiy ketimbang @Abah Wik, atau @ Iman Prasetyo, tentu ada makna dan pesan yang ingin disampaikan, kecuali nickname itu memang benar-benar diseting  menjadi destroyer.
Karena itulah imajinasi dan kreasi di dunia maya, kadangkala berupa hasil pemikiran liar dalam bernalar dan karenanya kadang menusuk-nusuk dan merobek-robek, tak terbayang sama sekali oleh yang lain, dan itulah nikmatnya anonimitas. Makanya, semesta The Matrix itu sangat-sangat mungkin terjadi di dunia nyata. Percayalah!
Jadi, nikmatilah dunia khayalan ini. Anda sah dan bebas berkhayal jadi khalifah, wahabi, pesinden, kritikus, apa saja bahkan setan sekalipun.
Terkait isi artikel, sebuah artikel tidak semestinya senantiasa ditafsirkan sebagai upaya menumbangkan kemapanan status quo hanya lantaran yang menulis adalah anti khilafah atau anti wahabi, misalnya. Isi artikel adalah artikel itu sendiri dan dia punya makna dan karakter sendiri, selama dikuatkan dengan fakta dan argumentasi valid.
Sangat gegabah bila kemudian menilai penulis anonim dan imut-imut, belum cukup umur dengan mereaksi berlebihan terhadap sanggahan dalam komentar dengan dalil meraba-raba. Sebab penulis juga berhak membela diri dan idenya dan Anda cukup memberikan counter balik. Karena fakta adalah sesuatu yang falsifiable, masih bisa didebat dan diruntuhkan. Tapi mengakui validitas kebenaran tidaklah serta merta berarti mengkhianati ideologi dan prinsip yang dianut, walaupun haya dari mulut bocah yang masih dianggap tolol dan DeGil.
Ini adalah salah satu metode teknis dalam interpretasi memahami teks, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan anonim dan anonimitas.
Penulis ketika membangun citra lewat anonimitas bukan hanya ingin menyampaikan teks secara literal sebagai artikel tanpa ruh, tetapi lebih luas dari itu, yakni sebagai sinyal yang ia kirim pada audiens secara imbal balik. Karena itu, teks yang ia sampaikan kadang terasa menusuk-nusuk kemapanann,  tapi, bukankah ide lebih penting dari orangnya?. Savor your freedom![]