Saturday, June 18, 2011

Ternodai Jamblang, Terbelit Rotan, Terpesona Batik Trusmi, dan akhirnya Terancam Melarat di Cirebon

Sebuah Catatan Perjalanan


Perjalanan sehari semalam Bogor-Cirebon-Bogor, Rabu (27/05) kemarin, cukup melelahkan bersama Mbak Itok dan Kang Dede, namun banyak hal yang saya peroleh dan tentunya banyak hal pula yang belum saya ketahui.


Perjalanan melelahkan selama enam jam menuju Cirebon diobati dengan geliat para pelajar Cirebon yang berangkat ke sekolah dan tentunya hidangan Sega Jamblang bersama Kang Bayi (salah seorang pengusaha rotan lokal yang menemani kami kali ini). Sega Jamblang (Nasi Jamblang dalam Bahasa Indonesia) adalah makanan khas masyarakat Cirebon, Jawa Barat. Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat kota Cirebon tempat asal pedagang makanan tersebut. Ciri khas makanan ini adalah penggunaan daun Jati sebagai bungkus nasi. Penyajian makanannya pun bersifat prasmanan. Menu yang tersedia antara lain sambal goreng ati ayam (yang agak manis), tahu sayur, paru-paru (pusu), semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar/telur goreng, telur masak sambal goreng, semur ikan, ikan asin, tahu dan tempe. Kursi disusun melingkar mengelilingi meja prasmanan sehingga memungkinkan para penikmat Nasi Jamblang untuk saling berinteraksi.

Setelah menikmati Nasi Jamblang, kami diajak Kang Bayi untuk mengunjungi pabriknya, CV Salsa Furindo, di daerah Plumbon. Pabrik yang terletak persis di depan PT Sumber Sulawesi (SS), perusahaan penyedia rotan bahan baku terbesar di Cirebon, itu belum menggeliat karena memang belum memasuki jam kerja ketika kami datang. 

Kang Bayi memulai cerita tentang dunia rotan yang mulai dia geluti sejak tahun 2005. Sebagai seseorang yang pernah bekerja di dunia kehutanan, dia menjelaskan bahwa keberadaan rotan bergantung besar dengan kelestarian hutan. Sebagai liana, kualitas rotan berbanding lurus dengan ketinggian tajuk-tajuk pohon. Semakin tinggi tajuk pohon, semakin baik dan lentur rotan yang tumbuh. “Rotan terus mengejar cahaya matahari dengan terus ‘memanjat’ pohon hingga ke tajuk. Rotan di Jawa tidak berhasil dibudidayakan karena ketinggian pohon di hutan-hutan di Jawa tidak begitu tinggi sebagaimana di pulau-pulau lainnya dan cenderung seragam jenisnya. Hal ini mengakibatkan rotan cepat sekali keras,” tambah Kang Bayi. 

Dia juga menjelaskan tentang kesalahan penggunaan terminologi petani rotan, yang benar menurut dia adalah pemungut rotan. Orang-orang di sekitar hutan, baik hutan milik maupun hutan negara, mencari rotan yang berada di dalam hutan untuk kemudian dibawa ke kampung para pemungut.

Mengenai ASMINDO, Kang Bayi cenderung mengkritisi kinerja ASMINDO. ASMINDO mengklaim seluruh perajin dan pengusaha rotan di Cirebon merupakan anggotanya, sementara ketika ada tawaran ekspor furnitur rotan dari luar negeri melalui pemerintah, yang menikmati ‘kue’ tersebut hanya para pengurusnya saja.

Setelah bercerita mengenai rotan, Kang Bayi mengajak kami untuk melihat proses pembuatan furnitur rotan yang mulai bekerja pada pukul 08.00 ditandai dengan bunyi sirene. Pabrik yang menampung sekitar 50 pekerja dan sekitar 100-500 orang pekerja di luar pabrik ini memang belum dilengkapi dengan standar kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai, masih terlihat pekerja yang tidak menggunakan masker dan pakaian khusus ketika menyemprotkan cairan kimia (melamix) sebagai finishing akhir pada permukaan furnitur, juga ketika mengamplas kayu sebagai rangka furnitur. Kang Bayi mengungkapkan adanya inefisiensi produksi furnitur rotan, terutama dalam hal biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk mengirim rangka furnitur dari pabrik ke para penganyam rotan dan sebaliknya.

Hal menarik yang saya temui dalam proses pengerjaan furnitur rotan di dalam pabrik tersebut adalah pemanfaatan bahan baku lain selain rotan, di antaranya serat abaca dan kertas. Bahan baku tersebut ini dimanfaatkan sebagai alternatif di tengah krisis bahan baku yang terjadi akibat dibukanya keran ekspor bahan baku rotan yang dilegalkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005.

Setelah melihat dan mengamati proses pengerjaan furnitur, Kang Bayi mengajak kami menemui adiknya, Kang Sambada yang biasa dipanggil Sam di kalangan para pengusaha rotan atau Bad di kalangan para pegiat olahraga ekstrim motor trail, selaku pimpinan CV Salsa Furindo. Kesan pertama yang saya peroleh ketika bertemu Kang Bad adalah sosok pemuda nyentrik. Ternyata selain nyentrik, Kang Bad juga merupakan seorang pemuda cerdas dan begitu peduli dengan kondisi industri rotan, khususnya di Cirebon. 

Mulai menggeluti industri rotan pada akhir tahun 80-an, Kang Bad mengenal sekali karakter para pengusaha rotan yang ada di Cirebon. Dia menggambarkan terbaginya dua kelompok pengusaha rotan, yaitu pengusaha rotan pribumi (asli Cirebon) dengan pengusaha rotan non pribumi. Namun sebagai pribadi yang mudah bergaul, dia tidak memandang hal tersebut sebagai sebuah hal yang harus diamini. Dia tetap bergaul dengan para pengusaha rotan non pribumi, karena memang memiliki tujuan yang sama, yaitu memajukan industri rotan Cirebon dan Indonesia ada umumnya. 

Menyikapi krisis yang sedang melanda industri rotan dalam negeri, Kang Bad melihat hal ini sebagai salah satu akibat dari ketamakan para pihak yang menggeluti industri rotan. Di satu sisi para pemungut rotan di daerah penghasil rotan begitu tamak mengekspor, baik legal maupun ilegal, bahan baku rotan ke luar negeri tanpa memperhatikan para perajin rotan di sentra-sentra produsen furnitur dan kerajinan rotan di Indonesia. Di sisi yang lain, para perajin rotan pun begitu tamak mengkonsumsi rotan tersebut tanpa memperhatikan kesejahteraan para pemungut rotan. Hal ini diperparah dengan regulasi pemerintah yang lebih memperhatikan aspek peningkatan penerimaan devisa luar negeri, walaupun disadari oleh Kang Bad hal itu disebabkan kas negara butuh pemasukan yang cepat. 

Dia pun menyadari bahwa hingga saat ini desain produk rotan lebih berpihak pada pesanan pembeli. Hal inilah yang dia rombak dengan mempromosikan tiga kontainer furnitur rotan dengan desain sendiri walaupun hingga saat ini belum ada tawaran pembelian atas furnitur rotan tersebut.

Sebelum kami berpamitan dengan Kang Bad menuju kediaman Pak Badruddin Hambali selaku ketua MPPRSI (Masyarakat Perajin Pekerja Rotan Seluruh Indonesia), Kang Bad menyatakan perlunya dukungan pihak-pihak lain untuk kembali memajukan industri rotan lokal. Hal ini perlu dilakukan agar kelestarian hutan sebagai habitat rotan tetap terjaga, apalagi sebagai seorang pegiat olahraga ekstrim motor trail yang sering menjelajahi hutan, Kang Bad merasa keberadaan hutan begitu penting.

Ditemani Kang Bayi, kami sampai di rumah Pak Badruddin, suasana kekeluargaan begitu terasa. Sebelum memulai perbincangan, kami dihidangkan kopi item dan teh tubruk khas Cirebon. 

Sebagai seseorang yang dicap sebagai ‘tukang demo’, di mata kami beliau merupakan orang tua yang muda, energik, dan peduli, bukan orang tua yang konservatif dan bertingkah seperti tembok tinggi menjulang. Kepedulian itu ditunjukkan dengan terus menyuarakan pentingnya penghapusan Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005 yang membuka keran ekspor bahan baku rotan. 
Pak Badrudin juga begitu antusias menyambut kedatangan kami dan membahas rencana kunjungan kawan-kawan dari WWF Greater Mekong Program. Beliau melihat hal ini sebagai sebuah peluang untuk menyuarakan kondisi industri rotan Indonesia kepada dunia. Selain itu, beliau pun menyadari hal ini dapat ‘menyentil’ pemerintah agar lebih memperhatikan industri furnitur rotan Indonesia. 

Adanya kekhawatiran Kang Bayi akan rencana kunjungan ini terhadap pencurian pengetahuan para perajin lokal oleh peserta kunjungan dari WWF Greater Mekong Program, disikapi oleh Pak Badrudin bahwa beliau tidak akan menyampaikan hal-hal yang dapat ‘membahayakan’ industri furnitur rotan lokal.

Setelah informasi yang diperoleh dari Pak Badrudin kami rasa cukup, Kang Bayi mengajak kami makan siang di Empal Asem Amarta. Empat mangkuk besar empal asem dan dua piring sate kambing muda membuat panas yang terik sedikit terlupakan. Ditambah lagi dengan es jeruk yang semakin mendinginkan suasana.

Puas dengan hidangan yang disuguhi rumah makan Amarta, kami memutuskan untuk sejenak mengunjungi Galeri Batik Ninik Ichsan di daerah Trusmi Kulon, Plered, yang merupakan salah satu produsen Batik Trusmi khas Cirebon. Batik Trusmi tampil dengan warna yang cerah dan ceria. Batik Yogyakarta atau Solo didominasi dengan warna gelap, biasanya coklat tua atau hitam. Secara umum, batik asal Cirebon muncul dengan warna-warna kain yang lebih cerah dan berani. Warna-warna cerah seperti merah, merah muda, biru langit, hijau pupus, dan tentu saja ini bisa kita lihat dalam kain batik Trusmi. Selain itu, gambar motifnya juga lebih bebas, melambangkan kehidupan masyarakat pesisir yang egaliter, seperti gambar aktivitas masyarakat di pedesaan atau gambar flora dan fauna yang memikat.

Perjalanan kami lanjutkan ke pusat kota Cirebon untuk mencari penginapan yang akan digunakan pada kunjungan tanggal 8 Juni 2009 mendatang. Ketika memasuki kota Cirebon, kami disambut dengan menara air yang menarik saya untuk mampir dan melihat kota Cirebon dari atas menara air tersebut. Namun waktu sepertinya kurang berpihak, setelah melihat-lihat, kami tertarik dengan Hotel Sare Sae. Selain dekat dengan stasiun kereta api Cirebon, hotel tersebut juga memberikan nuansa alami. 

Akhirnya urusan transportasi selama kunjungan kawan-kawan dari WWF Greater Mekong Program diserahkan kepada Kang Bayi. Setelah mengantarkan Kang Bayi ke pabriknya, kami kembali ke Bogor melalui jalur Bandung setelah sebelumnya membeli beberapa kantong besar kerupuk melarat. Popularitas kerupuk yang digoreng dengan pasir ini tak kalah dari kerupuk udang, yang juga banyak diproduksi di Cirebon. Bahkan kerupuk ini boleh dibilang lebih merakyat karena mudah dijumpai di warung kecil, toko makanan, hingga pasar swalayan dengan harga relatif murah.


Ternodai Jamblang, Terbelit Rotan, Terpesona Batik Trusmi, dan akhirnya Terancam Melarat di Cirebon

by Ubaidillah Shahih on Friday, May 29, 2009 at 11:02am