Thursday, July 10, 2014

sinetron 13 episode

Siapa Cepat, Dia Dapat!

Ada seorang teman yang bertanya, “Kok bisa-bisanya kubu Jokowi mendeklarasikan kemenangan saat proses hitung-cepat dari beberapa lembaga belum selesai dilakukan? Bahkan, ketika pidato kemenangan Megawati selesai dibacakan, proses hitung cepat versi CSIS dan SMRC baru berkisar 77%-90%.”

Di sisi lain, hal itu bisa saja menjadi keniscayaan. Mengapa? Pasalnya, kubu Prabowo juga punya dasar (baca: hasil hitung-cepat yang berbeda) untuk membuat deklarasi kemenangan pilpres. Ini cuma soal siapa cepat, dia yang dapat.

Hal ini mirip seperti dilema yang dihadapi 2 orang perampok yang tengah diinterogasi (prisoners’ dilemma). Sebut saja namanya Mawar dan Melati.

Sang polisi menawarkan kesempatan untuk sama-sama menutup mulut, atau mengakui kejahatannya:

- Jika kedua pihak saling menyalahkan satu dengan yang lain, keduanya akan dipenjara 2 tahun;

- Jika Mawar menyalahkan Melati, tapi Melati bungkam, Mawar-lah yang dibebaskan dan Melati dipenjara 3 tahun (hal yang sama juga berlaku bila Melati yang menyalahkan Mawar dan Mawar bungkam);

- Jika keduanya sama-sama bungkam, mereka hanya akan dipenjara 1 tahun.

Dalam konteks Prabowo VS Jokowi, apakah keduanya sama-sama tutup mulut (baca: tidak mendeklarasikan kemenangan berdasarkan hasil hitung-cepat versi sendiri) demi kebaikan bersama? Fakta menunjukkan hal yang sebaliknya.

Too Close to Call

Lantas, seperti apa babak selanjutnya? Tentu segalanya menjadi antiklimaks. Kini, bola panas ada di KPU sebagai ujung tombak terakhir untuk penghitungan akhir.

Namun, siapapun yang menjadi pemenang pilpres versi KPU, kedua kubu punya peluang untuk mengajukan gugatan. Apa pasal? Tentu tak lain tak bukan karena klaim selisih suara yang terlalu tipis, pers asing menyebutnya “too close to call”. Benarkah?

Buat saya itu masih relatif. Pilpres Bush VS Al Gore selisihnya hanya sekitar 500 suara. Iya, ratusan, bukan ribuan. Itu yang disebut “too close to call”? Atau, selisih sekitar 1 juta suara (lebih-kurang 1% dari total jumlah pemilih terdaftar) sudah bisa masuk kategori “too close to call”?

Toh, pilpres 2009 silam juga berujung kepada sengketa. Akhirnya, palu hakim MK-lah yang harus diketuk sebagai penyelesaian akhir. Jadi, bola panas mungkin saja akan dioper KPU ke MK. Lagi-lagi antiklimaks bisa terjadi. Intinya, kalah jadi abu, menang jadi arang. Oh, saya ingin bertanya: siapa, ya, ketua MK yang memutuskan sengketa pilpres 2009?