Tuesday, March 26, 2013

60 Blog Terasa Sedikit, 1 Ponsel Android Terasa Banyak

Apakah Visimu Ber-Kompasiana?
.
Oleh: Muhammad Armand
.
 | 23 March 2013 | 09:46 WIB
.
Gila….!.
Kompasianer mendaulat Facebook bak lahan pembantingan psikologis ketika mesin Kompasiana doesn’t work. Gelaran status di Facebook kian ‘gila’. Apakah arti yang tersingkap atas gejala psikis member Kompasiana ini?. Jawabannya sangat ringan: “It’s belonging. Member telah sangat merasa bahwa Kompasiana adalah miliknya, habitatnya, real state-nya, kompleksnya, perumahannya”.
Simpul-simpulnya, ber-Kompasiana adalah area memarkir perasaan, mengaktifkan pikiran. Dan bertanya seriuslah seroang kawan via BBM: “Apa sih yang kamu dapat di Kompasiana?”. Sebuah pertanyaan kelewat aneh…!.
Tidakkah penanya ini paham bahwa hobi dan cinta memiliki persamaan?. Sebab siapa yang hidup dengan cinta maka ia akan gila, tanpa cintapun iapun gila. Dan menulis adalah hobi, siapa yang gila karena menulis, iapun akan gila tanpa menulis. Sepakat?
Atas ‘gugatan’ penanya itu, saya menjawabnya begini: “Saya ber-Kompasiana bukan tanpa tujuan. Saya punya visi-misi”.
Inilah visiku:
- Mengubah wajah muram Indonesia menjadi cerah
- Menjadikan Kompasiana sebagai jembatan nusantara dalam bingkai persaudaraaan
- Menelisik skill tulis-menulis
- Menerjemahkan cara pandang orang lain
- Menjadikan penulis lain sebagai guru saya tanpa kecuali
- Mengasah ketajaman batin dalam memahami sesama member
- Menjadikan kegemaran menulis sebagai tradisi dan kebudayaan
X-Factor
Ini ‘biang’ kisruh, zona gugat-menggugat soal HL dan TA. Persis gelar perkara sengketa tanah, sama-sama merasa berhak. Perkara HL dan TA, pun begitu, sama-sama merasa berhak untuk dinaikkan di atas panggung Headlines, dan Trending Article. Jika semua naik panggung, lantas siapa yang menonton?. Hemat saya, kita berbagi peran di sini. Dan kita sangat bisa bertukar peran. Itulah yang disebut dinamika kerjasama, gotong-royong, bukan gontok-gontokan.
Apresiasi HL/TA adalah X-Factor, soal keberuntungan, soal nasib, takdir. Dalam Psikologi, jelas termaktub di sana dengan Teori Psikoanalitik, pesan mendalam teori ini bahwa nasib manusia tak dapat dikendalikan, ditentukan oleh diri sendiri. Hemat saya lagi -setelah dua tahun berKompasiana- HL/TA adalah hanyalah magis biasa, tiada yang teramat istimewa di sana, ini soal ganjar-mengganjar kejiwaan, satisfaction, agar dapat menginvitasi daya gedor menulis.
Keputusan Admin meng-HL/TA-kan sebuah artikel, bukanlah sebuah vonis. Admin tidak meng-HL/TA-kan bukanlah bermakna tulisan saya salah. Yang di-HL/TA-kan pun bukan diterjemahkan bahwa tulisan itu ‘benar’. Ini soal benefit, soal daya jelajah kebermanfaatan sebuah tulisan, soal kekuatan sebuah tulisan berdampak positif, baik, manusiawi dan message-nya kuat.
Sejajar
Saya terngiang-ngiang akan sebuah manifesto: “Jika dalam sebuah komunitas, kelompok, group, organisasi, institusi. Ada yang merasa penting dengan yang lainnya, maka sisa menunggu waktu kehancuran komunitas tersebut”.
Kita di sini sejajar sobat. Anda tak lebih penting dari saya. Saya tak lebih penting dari Anda. Kita sama pentingnya di sini. Kesejajaran itulah hal dasar, piranti pokok dan hal ikhwal utama. Begitulah implikasi The Human Right. Hingga seorang penulis dunia, Getrude Stein dengan bijak bertutur seperti ini:
To write:
1.is to write
2.is to write
3.is to write
4.Is to write
5.Is to write
6.Is to write
7.is to write
Beliau tak lelah mengatakannya dan mengulanginya “Is to write” sampai tujuh kali. Jika Anda dapat mengulanginya melebihi dari tujuh kali, maka Anda dapat mengalahkan kehebatan dan daya tahan penulis dunia ini. Hobi menulis seorang Stein adalah hal umum, yang unik darinya adalah hobinya mengeritik tulisannya sendiri setiap detik, hingga tiada celah baginya untuk mengritik tulisan orang lain. Pantaslah jika tulisannya kian hari kian sempurna. Beda dengan saya, dan mungkin juga Anda. Sebab, kita mungkin saja tak punya visi dalam dunia tulis-menulis tetapi hobi mencari-cari celah tulisan orang lain.
Selamat merenung…!