Tuesday, March 26, 2013

Rela Aku Tinggalkan Raga Karena Gula

Gula Pasir
.
Oleh: Banbanpret
.
 | 26 March 2013 | 02:01 WIB
.
Aku pergi ke pasar.
Berjalan kaki dengan balutan sandal sederhana berikut sepasang sandang yang tak begitu menarik perhatian, toh pasar memang bukan tempat yang begitu bersih.
Aku mencari teman untuk setiap cangkir kopi ku di esok hari.
Aku kehabisan sabar, untuk sekantung gula pasir.
Tak sulit untuk menemuinya. Sosok putih, halus, dan semanis dia, di jual begitu murah, rela menjajakan diri dan butiran raganya.
Yah maklum. Pelacur pasar.
Aku membawanya ke gubuk seperti biasa dengan rasa kasihan. Wadah bundar dengan tutup hijau bertuliskan “kedap udara”, membuatku sering berpikir bagaimana ia bernafas dan melanjutkan hidup.
Lucunya, Ia tetap manis ketika ku cubit sejumput miliknya dan menuangkannya lebih banyak ke dalam kopi ku yang bertemankan sendok teh.
Bertahun-tahun aku menghabiskan hidup dengannya. Terbuai dengan manis sementara dan pahit yang mungkin bisa berkepanjangan.
Suatu saat, aku terjerembab oleh angkatan kakiku yang  tak lurus.
Cangkirku pecah berserakan, hingga serpihannya menusuk mata dan membuatku buta berdarah.
Aku kehabisan waktu, hidung ku terasa di plester, dan stamina yang terasa sudah di himpit malaikat.
Terlintas satu opini.
Bermanis ria sambil memejam mata di balik bayangan cemburu hati itu tidak baik.
Gula itu jahat padaku.
Note : Gula pasir adalah sebagai benci, manis di awal, pahit sampai akhir.