Wednesday, October 31, 2012

Kenapa Kami harus Membaca Karya Anda?



Hm, serius banget ya? Ngarang aja kok repot banget sih? Hehe, siapa bilang sastra tidak serius dan repot! Dulu, sastra hanya milik orang-orang terdidik saja lho. Tak semua orang bisa membuat karya sastra, karena memang melalui sistem berpikir yang tidak selalu sederhana. Syukurlah sekarang tidak lagi begitu, terima kasih kepada media radio dan televisi yang waktu itu berhasil ’melelehkan’ kebekuan sastra hingga bisa dinikmati secara massal.
Ingat! ANDA BERHADAPAN DENGAN PEMBACA DAN YANG ANDA TULISKAN ADALAH KARANGAN, bukan artikel bermanfaat tentang menjadi lelaki idaman wanita dan wanita idaman lelaki, atau kaya dalam waktu singkat, atau mendapatkan lonjakan karier secara maksimal dengan usaha minimal. Kalau Anda menulis artikel seperti itu, tentu saja akan banyak pembacanya karena yang mereka cari adalah informasinya yang bermanfaat. BUKAN MAKNA DAN KEINDAHAN BERBAHASANYA, BUKAN PULA KEUNIKAN CERITA DAN KELIARAN IMAJINASI ANDA.
Begini, umumnya, semua orang yang pernah sekolah pasti bisa menulis dan mengarang, terlepas itu bagus atau tidak. Jadi, bisa kita bayangkan berapa banyak karangan yang akan tertuang dari satu orang? Kalau seorang itu membuat 20 karya sebulan dan ada puluhan lagi pengarang yang melakukan hal seperti itu. Berapa banyak karya yang akan tercipta? Lihat saja kanal fiksi di kompasiana, dalam satu jam bisa berapa karya yang ditayangkan mulai dari novel, cerpen, cermin, dongeng, drama, dan drama.
Semakin banyak karangan yang ada tentu semakin selektif pilihan pembaca. Dan segelintir karya yang menarik sajalah yang akan dibaca dengan cermat sampai tuntas, bukan sekali lewat. Dan lebih sedikit lagi yang mendekam lama dibenak pembaca. Dan semakin sedikit lagi yang mampu menggugah pembaca untuk menelaahnya, lagi dan lagi. Anda mau karya Anda masuk dalam kategori mana?
HM, APA ANDA MAU MENIPU PEMBACA DENGAN MEMBUAT JUDUL KARANGAN YANG EROTIS DAN MENGARAH-ARAH KE ’ANU’? TAPI TERNYATA ISINYA TAK SEGARANG JUDULNYA.
Judul Karangan
Memberi judul karangan adalah masalah selera pribadi Anda. Mau yang sederhana, mau yang bermakna kias, atau yang absurd sekalipun itu terserah Anda. Tapi, Anda sebaiknya paham bahwa pemilihan judul yang tepat akan mempengaruhi keindahan keseluruhan karya itu. Ibaratnya JUDUL ADALAH PINTU SEBUAH RUMAH, TENTU ANDA AKAN MELIHAT PINTU TERLEBIH DULU SEBELUM MELIHAT ISI RUANGAN DI DALAM RUMAH TERSEBUT.
BUATLAH JUDUL YANG MEMIKAT. BUATLAH STANDARNYA DAN LAMPAUI STANDAR ITU. Dengan begitu Anda akan menciptakan judul yang bukan hanya enak dibaca tapi juga mampu melonjakkan imajinasi. Coba mencari referensi di karya-karya koran, bukankah judul-judulnya sangat memikat. Daripada sekedar judul-curhat seperti ”Pantaskah Aku Memilikimu?” atau ”Cinta Bertepuk Sebelah Tangan” atau ”Maaf Kali ini Aku Menyerah”.
Coba perhatikan lagi, tentang apa sih karya Anda itu. Kalau tokohnya itu sangat kuat karakternya, coba Anda ambil judul dari nama tokohnya saja, misalkan ”Nazar Puasa Laila” atau ”Mengejar Atun” atau ”Bang Rano, Mpok Hindun”, ”Sukir dan Sopirnya”, bukankah lebih imajinatif gitu? Belum puas, cari nama yang lebih tepat atau unik lagi supaya mampu mewakili cerita.
Tidak dengan nama tokoh, bisa juga dengan benda dalam cerita, ”Kopi Tak Bergula”, ”Teh Daun Sirih”, ”Sendok yang Terselip di Ranjang”, ” Umar Mencari Kamar” supaya berima. Coba contoh judul-judul film lawas kita yang sempat meng-Internasional: ”Daun di Atas Bantal”, ”Pasir Berbisik”, ”Biola Tak Berdawai”, sebelum menonoton film itu pun kita sudah terbawa khayalan dan penasaran dengan filmnya.
Atau dengan memberi kiasan seperti, ”Mata Bulan di atas Geribik”, ”Pohon-Pohon Manja”, ”Luka Tak Berdarah”, ”Suami yang Menemukan Aroma Ikan di Tubuh Istrinya” Unik gitu. Tidak biasa-biasa saja.
Mau yang biasa-biasa saja. Ok. Tapi, pilihlah judul yang menyimpan makna yang kuat bagi pembaca. Bisa itu adalah fenomena sehari-hari yang ramai diperbincangkan atau judtru tabu. Semisal, ”Air dari Rendaman Batu” Judul ini biasa, tapi menyimpan kisah bocah Ponari yang sempat menjadi pergunjingan warga. Judul-judul lain yang bisa menjadi alternatif antara lain: ”Bung Karno”, ”Pesan Pak Guru”, ”Pengamen Cilik di Simpang Lampu Merah”, ”Kakak Tak Mau Sekolah”, atau seperti judul film ”Emak Ingin Naik Haji”.
Berpikirlah kreatif, ciptakan judul yang kuat. Kemampuan memilih judul yang tepat sebenarnya menunjukkan jiwa artistik pengarang. Pelajarilah judul-judul karangan yang bagus. Jangan terjebak dengan judul curcol yang malah dangdut banget, “Mencintaimu Sampai Mati” hehe. Apalagi judul film-film horor(?) Indonesia, “Kuntilanak Duyung Mati Goyang Pinggul.” Ampun deh.
Pesannya sudah ketahuan di awal.
Beralih ke pesan cerita. Karya Anda pasti punya pesan di dalamnya (kalaupun tidak, pembaca akan membuat persepsi sendiri). Pesan yang terdeteksi sejak awal tulisan bisa jadi akan menurunkan rasa penasaran.
Contohnya gimana?
Judul puisi Anda adalah, ”Pelajaran Ikhlas” (wah, ini jelas banget ya mau kemana arahnya). Kalau isinya pun biasa saja, ”Akhirnya aku sadar/ Kekeraskepalaanku adalah sebabnya/ Angin tidak berbalik dengan ditiup….”saya tak yakin pembaca mau menuntaskan bacaannya.
Jadi, kalau memang pesan Anda itu jelas. Maka, tugas Anda lebih fokus pada cara penyampaiannya. Cari cara yang unik, misalkan menceritakan keikhlasan pohon yang menjadi sarang burung dan tempat berteduh bagi pejalan kaki yang kepanasan. Bukankah itu juga ”ikhlas”. Jadi, walaupun pembaca tahu kemana arahnya tapi penyampaian yang menarik itu mampu menahan mereka. Tahu puisi berjudul ”Hujan Bulan Juni” karya Sapardi, ia membicarakan cinta yang sederhana tapi teknik penyampaiannya sungguh memesona.
Cerpen? Hm, secara umum tak beda jauh. Hanya mungkin tantangannya lebih berat ya. Pertama, cerpen itu relatif panjang, jadi kemungkinan pembaca untuk berhenti membaca lebih besar. Bahasa dalam cerpen bukanlah bahasa puisi. Dalam puisi, ”Aku menemu malam dingin dan sedang jalan kaki di pasar minggu sepi.” adalah kalimat yang sah, bahkan cukup unik. Kalau dalam cerpen, kalimat itu menjadi rancu, aneh, dan mengundang kritik pembaca.
Apalagi kalau pembaca sudah paham betul dengan pesan yang ingin Anda sampaikan, bahkan melebihi pemahaman Anda sendiri. Kondisi akan makin kritis ketika pembaca yang awalnya ingin menikmati karangan Anda malah berbalik menjadi ”kritikus dadakan”. Ya, bagi beberapa orang kritikan itu hadiah, tapi bagi yang belum siap, kritikan mampu meruntuhkan semangat.
Saya yakin, pesan dalam karangan Anda bukanlah pesan yang diobral, kalau itu adalah rindu, tentu bukan rindu yang umumnya dirasakan orang bukan? Rindu yang bagamana? Tentu tidak seperti rindu punya teman Anda, bahkan tak seperti semua rindu yang dimiliki orang lain, hanya Anda yang tahu.
So, hati-hati dengan kesan pertama Anda ya. :)
Salam BB.