Wednesday, August 24, 2011

Untold Story in Tanjung Kalian, 1872

Senin pagi yang cerah, Hans sudah rapi dan siap berangkat kerja. Setelah memakai topi putihnya, naiklah ia ke atas kuda keluar pagar dan dihela dengan santai saja. Dua orang pembantunya mengiringi berjalan di belakang.
Melewati sebuah rumah tembok bercat putih menyala, Hans menoleh pada seorang gadis yang sedang menyiram kembang. Dia mendongak dan tersenyum sopan, Hans membalas dengan mengangguk dan terus berkuda menuju semenanjung desa.
Selasa pagi masih cerah seperti kemarin, kali ini Hans sendiri saja dan hanya menuntun kudanya berjalan menyusuri kebun demi kebun hingga sampailah ia di rumah tembok bercat putih menyala. Gadis itu sedang menyapu di luar pagar rumah dan menengok saat Hans melintas. “Putu”, begitu jawabnya singkat saat mereka mencuri waktu untuk berkenalan. Siang menjelang, Hans pun naik ke kuda dengan sigapnya menuju mercusuar tempat kerjanya, dengan wajah ceria dan hati berbunga-bunga.
Rabu siang ini Hans sampai di tempat kerja dengan membawa seikat bunga mawar merah pemberian Putu. Ditaruhnya rangkaian bunga mawar merah itu dalam pot tanah liat dan ditempatkan di pinggir jendela mercusuar. Dipandangnya bunga mawar itu seharian tiada jemu-jemunya hingga fajar menjelang. Pulanglah Hans membawa sepucuk mawar merah yang disematkan disakunya.
Karena seharian kemarin harus mengapur ulang tembok mercusuarnya, maka Kamis hari ini Hans agak siang berangkat kerja. Saat melewati rumah tembok bercat putih menyala, Putu tak tampak batang hidungnya. Hans menyusuri jalan desa dengan hati yang gundah gulana. Kata seorang pribumi mungkin ia sedang di balai afdeling, melatih nyanyi dan tari noni-noni cilik.
Jum’at hari ini mendung saja, Hans berangkat lebih pagi dan berkuda seperti biasa melewati rumah tembok bercat putih menyala. Putu sedang membersihkan bangku dan meja kayu di beranda, tertunduk saja hingga wajahnya tenggelam tak kelihatan, dan Hans pun lalu saja.

Sabtu adalah hari libur kerja bagi Hans, tapi pagi ini ia tampak berjalan kaki menyusuri jalan-jalan berdebu. Melewati rumah tembok bercat putih menyala, Hans melihat ke beranda, Putu duduk bersimpuh di hadapan wanita tua yang bertolak pinggang, mendongak Putu sebentar, lalu masuk ke samping rumah langsung menutup pintu. Hans berhenti sejenak di muka pagar besi, selang 10 menit ia melangkah pergi, surat yang dipegangnya erat sejak tadi dihempaskan ke tepi jalan berdebu.


Minggu di pagi buta, Hans duduk-duduk saja di tepi pantai sambil memandangi mercusuar dari kejauhan, pakaiannya basah sudah tersapu ombak. Di tangannya tergenggam seikat bunga mawar yang sudah layu. Dilemparkannya karangan bunga itu ke alunan ombak yang bergulung sangat cepat kembali ke tengah lautan lepas.
Hanyutlah ke tengah samudra, seikat bunga mawar layu yang telah diselipkan sepucuk surat coklat muda, tertulis di dalamnya sebaris kalimat, Terima kasih sudah pernah menyapa jiwaku, walaupun kini hatimu luka, andai aku punya obatnya, tak lagi mau aku pada ribuan sapa.
Beberapa saat pantai menjadi senyap, tak ada kepak camar, tak ada angin berhembus, nyiur pun enggan bergoyang, kaku berdiri diam seperti bangau. Setelah itu hanya gemuruh saja yang terdengar memenuhi angkasa, gemuruh dan gemuruh tiada hentinya. Tiga jam kemudian sunyi kembali melingkupi pagi, hanya menyisakan puing-puing dan tubuh-tubuh bergelimpangan, serta seikat mawar di tengah padang. Hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, hingga abad pun berganti, tiada lagi terdengar senandung saling sapa, tanpa gadis duduk di beranda, tanpa amtenar berkuda yang menyusuri jalan-jalan bata.


Minggu pagi dua bulan silam, tsunami menyapu seisi desa, yang tinggal hanyalah mercusuar renta termakan usia, berdiri tegar menyongsong senja. Di pinggir mercusuar yang sepi, terlihat seorang lelaki menggendong bocah kecil berdiri diam dalam doa di depan sebuah makam tua yang kotor karena tsunami.

Terpahat sebuah nama HANSEN THEODORE FRITZGERALD BAKKARU IV 1847-1872, penjaga suar yang mati muda membawa cintanya hingga ke dalam kubur.