Tuesday, August 12, 2014

"Oui. Ça va bien. Que sera sera"

.

.

.

.

.

Ça va, Riri?

Septi Yaning

12 Aug 2014 | 09:14

“Ça va, Riri?"

Monday…..kata orang Money Day. Senin. Hari pertama di minggu baru. Semangat. Harusnya seperti itu, setelah melewati weekend. Akan tetapi, sepertinya hari senin kali ini tidak begitu menyenangkan. Melihat ke arah jam. Masih ada waktu sebentar. Aku coba mengecek HP. Ada pesan masuk, aku pikir itu pasti dari sahabatku yang semalam tidak membalas pesanku. Ketiduran. Biasanya begitu.

Namamu. Justru namamu yang muncul ketika aku buka. Pesan darimu. Senyum. Aku tersenyum menyadari itu darimu, padahal aku belum membaca isinya.

Aku mencoba membaca perlahan, mencoba memahami yang kau tulis. Agak panjang rupanya pesanmu itu. Banyak pertanyaan yang kau sampaikan dalam isi pesanmu itu. Apa aku harus menjawabnya satu persatu?

Dari semua isi pesanmu aku paham, benar-benar paham . Itu pun setelah aku baca berulang kali. Yah..kapasitas otakku mengharuskanku mencerna lebih lama. Tidak seperti kau, yang sering membuatku melongo. Melongo? Ya.. hal yang tidak terbayang olehku. Justru kamu tahu banyak, dan itu menurutmu menarik. Aneh. Karena itulah aku sering menganggapmu aneh. Iya…aneh tapi bukan FREAK. Aku tahu kau akan memprotes keras dengan sebutan itu.

Jika kau tanya adakah kebetulan di dunia ini? Maka aku jawab dengan tegas. Tidak. Ini pendapatku, terserah kau setuju atau tidak. Tidak ada  kebetulan di dunia ini, sekecil apapun. Semua itu ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Bahkan selembar daun yang jatuh dari rantingnya, yang berasal dari pohon di tengah rimba pun. Tuhan telah mengatur waktu kapan selembar daun itu jatuh. Lalu bagaimana menurutmu, masih adakah kebetulan di dunia ini?

Lalu kau bertanya apa maksud Tuhan memperkenalkan kau dan aku?Hemm..ini sepertinya bukan wilayahku untuk menjawabnya. Yang aku tahu seperti pertanyaanmu sebelumnya, kalau daun saja sudah ditentukan kapan harus jatuh, terlepas dari rantingnya. Mungkin juga dengan perkenalan kau dan aku, pasti ada alasannya. Hanya saja tidak jarang Tuhan tidak secara gamblang memberikan penjelasan kepada kita. Kita  sendiri yang harus mencari dan memahaminya. Lalu apa? sementara ini aku juga belum tahu.

Awalnya semua ini memang biasa, sampai aku tiba di titik nyaman. Titik nyaman yang entah mulai dari kapan aku sampai di titik itu. Entahlah.

Ternyata dari itu semua, ada satu kesamaan dari kita. Pengecut. Kenapa? Kenapa aku menyebutnya seperti itu? Kau yang mengaku takut, takut jatuh cinta kepadaku. Kau takut jatuh cinta kepadaku lalu lalu aku menanggapi dengan serius. Karena berdasar teorimu (aku tidak tahu dari buku mana kau mengambil teori ini ) “ketika seseorang jatuh cinta pada dan perasaan itu tidak berbalas sesuai keinginannya maka ia akan membencimu selamanya”

Lalu apa yang aku takutkan? Kau ingin tahu? Benar kau ingin tahu? Jika pun kau tidak ingin tahu, aku akan tetap menjelaskannya. Aku takut, takut itu hanya perasaan sesaatmu. Aku takut aku hanya sebagai pelarianmu. Pelarian atas sakit hatimu, yang aku tidak tahu jelas entah seperti apa warnanya sekarang. Aku bukan wanita yang percaya “cinta pada pandangan pertama”. Bukan. Menurutku cinta adalah proses. Kau pasti tahu maksudku. Waktu kau dan aku memang belum terlalu lama. Bahkan masih bisa di hitung dengan lima jari, akan tetapi bukankah itu suatu proses? Dan apakah masih akan terus berproses? Entahlah.

Sama-sama pengecut bukan? Menakutkan hal hal yang masih semu, masih abu-abu. Menakutkan sesuatu yang belum menjadi kenyataan.

Ada yang menarik memang. Cara pandangmu. Cara berpikirmu. Ada hal-hal baru yang baru aku tahu dari ceritamu. Dari beradu argument. Dari bertukar pikiran. Itu menyenangkan. Jika kau menganggapmu dirimu gila, mungkin aku jauh lebih gila. Menanti-nanti pesan yang sering tidak kau jawab. Menebak-nebak kemisteriusanmu. Kemisteriusan yang tidak pernah kau jawab. Ternyata selain sama-sama pengecut, juga sama-sama gila.

Alasan ketakutanmu itulah yang menjadi dasarmu, dasarmu  yang lebih senang menganggapku sebagai “sahabat”. Menurutmu lagi, agar ke depannya tidak ada hambatan dalam perasaan selama komunikasi, agar terus tetap bisa berkomunikasi. Berkomunikasi ? mungkin lebih tepatnya mendengarmu bercerita. Benarkan? Selalu kau yang bercerita, sementara aku hanya mendengar, menanggapi seperlunya. Ceritaku? Sepertinya kau tidak pernah tertarik,…hemmm atau mungkin memang tidak menarik? Entahlah.

Mantra apa yang kau pakai?Memangnya aku dukun? Atau lulusan dari Hoghwart, teman satu angkatan dengan Harry Potter? Benar kan, kau memang aneh. Hidup di tahun berapa ini. 2014 men, masih pakai mantra. Jelas itu hanya gurauanmu.

Katamu lagi tawaranmu waktu itu masih berlaku. Tawaran untuk memutus semua komunikasi. Setelah pengakuanmu. Yah pengakuan yang awalnya membuatku mengerutkan dahiku. Hanya masalah foto? Aneh lagi kan. Yakin setelah ini pasti akan ada entah sandal atau sepatu atau malah palu yang melayang. Sudah berapa kali aku menyebutkan kata “aneh” dari awal tadi.

Apa tadi yang kau tulis? Tawaran itu masih berlaku? Jikapun aku tertarik dengan tawaranmu itu pasti sudah aku lakukan dari dulu, dari pengakuanmu mengenai foto itu. Lagi pula mana bisa aku menerima tawaran itu.

Aku pikir ini saja jawabanku dari semua isi pesan yang kau kirim hari ini. Karena seperti note paling akhir di pesanmu, bahwa kau memintaku untuk tidak membalas pesan darimu. Maka aku akan menurutinya. Sebenarnya kau sudah merebut hak  dan kewajibanku. Dan harusnya aku bisa memprotes ini, tapi ya sudahlah, bagaimana aku bisa memprotesmu? Tertera dengan jelas aku tidak boleh membalas pesan itu. Apa yang kau rebut? Hak  dan kewajiban untuk menjawab. Karena, (lagi-lagi menurutku) dari setiap pertanyaan yang orang lain  tujukan kepada kita, kita memiliki dua opsi, hak dan kewajiban. Kewajiban untuk menjawab, sementara hak ada dua, yakni  untuk menjawab dan tidak menjawab. Berhubung kewajiban menjawab dan hak untuk menjawab sudah kau ambil, maka mau tidak mau aku harus memilih hak untuk tidak menjawab.

Lalu seperti apakah kesimpulannya? Seperti apakah perasaanku? Karena jawaban ini tidak pernah sampai padamu, maka akan aku tuliskan.Tunas itu sebenarnya telah tumbuh, hampir saja berbunga malah. Tapi rasanya kau sendiri yang memilih untuk mematahkan tunas itu, takut tanaman itu akan melukaimu dengan durinya. Padahal jika kau tahu cara memegangnya itu akan lain.

Tidak ada yang lebih ambigu dari diammu

Kini aku tidak mampu menerjemahkan ketakutanmu

Ketakutan akan hal yang masih semu

Aku tidak pernah menganggapnya angin lalu

Hanya kau yang tidak tertarik untuk tahu

Bahkan kau tidak mampu menjamah rasa rindu

Rindu yang aku titipkan purnama semalam lalu

“Ri……tidur, sudah jam berapa ini?”

“ Iya bu…ini Riri juga mau tidur.”

Riri menekan tombol Ctrl + S, setelah selesai menuliskan semua. Semua yang dirasanya perlu dia tuliskan. File “ca va ma vie?” Itulah file di mana dia selalu menuliskan kisahnya selama sehari. Setelahnya Riri mematikan laptopnya . Menatap langit-langit kamar, Riri bergumam.

"Akhirnya aku bisa menggunakan hakku juga, hak untuk menjawab pertanyaannya, walaupun hak itu aku sampaikan di laptop. Kau tidak pernah mau tahu. Jadi aku biarkan laptopku yang tahu."

"Ça va Riri?"

"Oui. Ça va bien. Que sera sera"
.
.