Wednesday, March 13, 2013

Tailor Moon

Mentari pagi menyeruak di antara tirai yang tertutup. Dengan malas aku bangun. Ujang, suamiku, masih tertidur di sampingku. Tubuhnya menghadap ke samping, dengan guling yang mestinya sudah tak pantas disebut guling. Huah, tidur berdua di kasur tipis ini sungguh tak enak. Sudah bikin pegal, tanpa sadar setiap pagi posisi Ujang sudah di lantai, semalaman kudesak tubuh kurusnya keluar karena kasur ini terlalu sempit untuk berdua.
Sambil terkantuk-kantuk kubuka tirai jendela. Lumayan, terangnya menyinari kamar aka ruang pamer aka ruang produksi ini. Ruangan yang hanya berukuran 3×3 meter, tapi produktif sekali. Terlihat penuh dengan dua mesin jahit, satu gantungan penuh baju-baju yang sudah jadi beserta contohnya. Sementara di lantai berserakan plastik berisi kain, baju atau celana dari pelanggan, potongan pola yang sudah tak terpakai, kasur dan televisi mungil.
Jam berapa ya? Ah, jam tujuh pagi. Saatnya menonton acara gosip. Sambil duduk di lantai aku mulai menyalakan televisi. Kuatur antenanya agar gambarnya makin jelas. Untung tidak telat! Pembawa acara baru membuka dengan salam genitnya.
Kok lapar ya? Eh, kemarin rasanya masih ada sisa gorengan. Aku mencari-cari di antara bungkusan-bungkusan plastik yang bertebaran. Ah, masih ada! Dua bakwan dan satu tahu isi. Lumayaaan. Sambil mencari-cari cabe rawit, mataku menatap televisi. Oooh..kasus artis muda ganteng itu, katanya penangkapannya dipicu oleh SMS mantan pacar? Hih! Sakit hati karena cinta memang kejam!
Tubuh Ujang mulai menggeliat. Mungkin terbangun ia karena memang posisi televisi tepat berada di samping kepalanya. Tak lama kemudian ia terduduk, menguap, dan menatapku heran.
‘Pagi-pagi, sudah ngemil?’ tegurnya.
Cuek, aku tetap mengunyah bakwanku, tanpa memandangnya. ‘Ini sarapan kok.’ balasku.
Ujang menggaruk kepalanya. ‘Beliin kopi dong!’ perintahnya.
Aku meliriknya sebal. ‘Ntar ya. Ini lagi seru nih.’ Kini aku beralih ke tahu isi. Kugigit sepotong, ugh, kok agak asam ya. Mungkin sudah agak basi, karena wortel di dalamnya tidak bertahan lama. Tapi biarin deh, lapar ini. Ngga akan mati, paling ya sakit perut, dan mesti bolak balik ke kamar mandi umum yang ada di belakang. Hihihi, ngga apa, biar tambah langsing!
Ujang terdiam. Lebih baik begitu, karena kalau ia memaksaku lagi, omelanku akan tambah panjang. Sudah mengganggu acara nontonku, pakai acara ngritik kebiasaanku lagi. Huh!
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Hueh, siapa nih datang pagi-pagi? Paling-paling pelanggan. Itulah resikonya punya tempat kerja merangkap rumah..eh… kamar tidur deh!
‘Bukain dong!’ lirik Ujang padaku.
Aku melotot. ‘Lagi asyik nih! Lagian kan kamu sudah bangun. Aku susah nih, mau bangun!’ Memang sih, aku mengalami kesulitan untuk bangkit kalau sudah duduk di bawah.
Dengan pasrah Ujang berdiri, membuka pintu, dan… benar kaaan..apa kataku. Pelanggan! Beberapa kali kulihat dia mendatangi tempat kami. Selalu di pagi hari. Orangnya tinggi langsing, kini sedang melepas sepatunya di muka pintu. Kami memang meminta seluruh pelanggan untuk melepas alas kakinya dengan memasang pengumuman di depan pintu. Maklum, lantainya kan tempat kami tidur juga, masa sih harus menghirup debu bawaan sepatu para pelanggan?
‘Bang, saya mau mengecilkan kemeja. Bisa?’ katanya lembut. Ia tersenyum padaku, aku balas seperlunya. Wajahnya segar, rapi dan harum pula penampilannya, khas orang yang akan berangkat kerja.
Ujang mengangguk. Diamatinya kemeja yang dibawa pelanggan tersebut.
‘Nanti dikecilinnya di bagian sini ya Neng? Berapa senti?’ tanya Ujang sambil menunjuk bagian belakang kemeja.
‘Ngga tau Bang. Saya ngga bawa contohnya. Apa mau diukur ajah?’ jawab si Eneng. Eh, kenapa jadi ikut-ikutan Ujang yah manggilnya?
Ujang mengambil meterannya. Kertas bagian belakang kalender harian dan pensil diambilnya dari mesin jahit. Lingkar pinggang…OK. Aku melirik mereka. Enak bener ya Ujang bisa menyentuh, meski sedikit, tubuh cewek itu. Pinggangnya, huf, setengah lingkar pinggangku. Sekarang..lingkar dada. Aku mulai melotot sebal. Meski Ujang tak menyentuhnya, dan selalu didahului kata ‘Maaf’ sebelum melingkarkan meterannya, tetap saja adegan itu membuatku murka.
Sambil mencatat, Ujang mengatakan kemeja itu bisa diambil nanti sore. Si Eneng mengucapkan terima kasih, sambil tersenyum mengangguk padaku. Aku balas sekedarnya. Masih kesel! Biarpun ngga ganteng-ganteng amat, dia kan suamiku!
Setelah terdengar deru sepeda motornya, aku mulai mengomeli Ujang. ‘Eh, bisa ngga Abang terima pesanan dari cowok aja. Enak bener ya! Ukur-ukur dada orang!’
Ujang melongo. Tangannya kini menggaruk-garuk lagi kepalanya. ‘Haduuh, kaya baru kemaren aja jadi istri penjahit. Sudah kewajibanku, melayani pelanggan, laki atau perempuan.’ gerutunya pelan.
‘Iyaa, aku tahu. Tapi mulai sekarang terima dari cowok aja deh!’ kataku ngotot.
‘Is, ngga bisa gitu dong. Kalau kita sudah terkenal sih, boleh deh milih-milih. Ini usaha kan baru jalan, kita masih perlu uang. Lagian pelanggan banyak yang perempuan, kalau laki doang bisa bangkrut kita.’ katanya berusaha sabar. ‘Lagian, katanya mau beli kasur baru? Yang empuk dan lebaran?’
Aku tersenyum. Iya ya, bener juga. Kalau makin banyak yang minta jahit atau permak, Ujang bisa membelikan kasur baru untukku. Tetap untukku, karena rencanaku untuk Ujang biarlah pakai kasur tipis itu.
‘Iya deh.’ anggukku setuju. ‘Tapi awas ya kalau berani pegang-pegang!’ ancamku. Ujang hanya nyengir.
‘Sekarang Is, beliin kopi dong. Tuh, acaranya sudah selesai.’ kata Ujang sambil menunjuk televisi. Huah. Gara-gara urusan ini lewat deh acara gosip selebnya. Aku mengganti saluran tivi. Nah, ada lagi!
‘Ogah ah. Tuh, di tivi lain ada lagi kok yang ngebahas ini.’ Aku tetap tak beranjak dari depan tivi. Isyarat tegas dariku. Pergi sendiri gih, cari kopimu.
Dengan bersungut-sungut Ujang mulai mengenakan sandal jepitnya. Sebelum ia berbalik, aku berteriak padanya ‘Bang! Gorengan lagi ya! Abis nih!’ kataku sambil mengacungkan plastik kosong.
Sambil menggaruk-garuk kepalanya, Ujang melangkah pergi.