Wednesday, March 27, 2013

Posting via Note II

Di Bawah Gerimis
.
Oleh: Find Leilla
.
 | 27 March 2013 | 12:11 WIB
.
Gerimis. Kurapatkan jaket, berlari kecil, lalu berteduh di teras depan. Sepi. Aku mengutuki kealpaanku membawa payung pagi tadi.
‘Nggak pulang, Nay?’ Chika berdiri di sebelahku. Aku tersenyum. ‘Nungguin siapa?’
‘Ujan.’ Kami berdua tertawa.
‘Aku duluan ya,’ ujarnya. Mengangguk saat kulihat Indra sudah menantinya di seberang jalan sana.
‘Hati-hati, Chi.’ Chika menggumam tak jelas. Kakinya berjingkat ke sana kemari. Lucu.
.
Hujan tak juga mau berhenti. Kusandarkan bahu di satu sisi pilar di situ. Menatap satu demi satu tetesan air yang luruh. Elang. Entah mengapa rintik hujan selalu membawa ingatanku padamu. Kita ini kenapa? Aku? Kenapa? Mengapa tak juga dapat melupakan sejengkalpun kisah lalu kita? 
.
‘Kita putus,’ kataku. Elang tertegun menatap mataku. ‘Apa?’
‘Kau dengar aku, kita putus.’
‘Katakan sekali lagi,’ ujarnya seperti menahan amarah.
‘Putus, kataku. Akhiri saja semua.’ Aku mencoba tak menitikkan airmata di depannya. Ia mendengus. Nafasnya tersengal.
‘Sepuluh detik, tarik kembali ucapanmu,’ katanya. 
‘Tidak. Aku mau kita putus. Tak ada gunanya lagi bertahan seperti ini. Kau egois. Mementingkan dirimu sendiri. Aku benci padamu.’
‘Baik. Sepuluh detik berlalu. Kita putus.’ 
Sejak itu aku tak pernah melihatnya lagi.
.
Jam setengah lima. Gerimis belum berhenti juga. Aku mulai gelisah. Kampus sudah beranjak sepi. Seorang pemuda berlari. Membuka payungnya dan berjalan tergesa. Oh, itu dia! Elang berjalan mengacuhkanku. Kupuaskan diri hanya menatap punggungnya. Tiga bulan itu seperti neraka ya, Lang. Aku tak bisa melupakanmu. Menundukkan kepala. Setitik airmata tertumpah.
.
‘Pakai ini.’ Seseorang menyerahkan payung ke arahku.
‘Elang, kau..’
‘Pulanglah. Sudah mulai gelap,’ ujarnya datar.
‘Aku..’
Tak mendengarkanku. Ia menarik topi jaketnya lalu beranjak pergi. Tertegun aku menatapnya.
‘Elang, tunggu.’ Berlari kecil aku mengejarnya. Bajuku mulai basah. Payung itu terbuka tapi sia-sia.
‘Elang, tunggu.’
Ia berhenti. Aku berdiri di belakang punggungnya. Ia berbalik menatapku. Aku tak kuasa menatap matanya.
‘Apa?’
Aku menggeleng. Memberikan payung itu untuknya. Aku terlihat bodoh dengan rambut dan baju yang mulai basah. Sesaat kami bertatapan mata. Pandangannya masih dingin seperti saat terakhir kami berjumpa. Bibirku mulai bergetar menahan tangis saat kulihat ia tersenyum dan menyentuh anak rambutku.
‘Dasar bodoh. Kemarikan payungnya.’ Ia mengambil payung itu dari tanganku dan mulai berjalan meninggalkanku.
‘Ayo, cepat,’ katanya. Terbelalak aku menatap wajahnya. ‘Cepat, sini.’ Ia menarik tanganku sedemikian hingga tanpa sadar aku sudah bersandar didadanya. ‘Anak bodoh. Kau bisa sakit kalo basah begitu.’ Aku mengangguk dan mulai berjalan. Bersisian. Dalam diam. Aku mencintaimu, Lang.
‘Tiga bulan. Sudah bisa melupakanku?’ tanyanya memecah kesunyian. Aku terperangah karenanya. Berhenti melangkah, menggelengkan kepala, dan mulai menahan isak tangis yang membuncah. 
‘Apa? Bisa lupa?’
‘Nggak,’ jawabku lirih.
‘Iya?’ tanyanya sambil tertawa. Aku tidak.
‘Enggak bisa, Lang. Nggak bisa segampang itu lupanya.’
‘Lalu, yang minta putus kemarin siapa?’ 
Masih menunduk. ‘Aku.’
‘Bagus. Setelah putus kau bahagia?’ Aku menggeleng. ‘Jawab aku, setelah tiga bulan itu, kau bahagia tidak?’
‘Enggak. Nggak bahagia, Lang. Sakit rasanya.’
‘Nah, kalau tau begitu sakit rasanya, kenapa masih minta putus juga. Apa mau berpisah saja selamanya?’ Aku menggeleng. Elang menahan tawa melihat wajahku. Tak sanggup lagi kupeluk erat tubuhnya. Berbisik lirih di telinganya, ‘Jangan pergi.’ Di bawah gerimis itu Elang membalas ucapanku dengan kecupan. Dan aku tak lagi menuntut lebih banyak. Jawaban itu sudah lebih dari cukup bagiku.
.
*postingan pertama pake hape..