Friday, March 1, 2013

LOE PAH ENDOG NE SAH

Sujiwo Tejo. Siapa yang tak kenal dengan “DalangEdan” yang satu ini. Seniman eksentrik sekaligus wartawan senior asal Jember lulusan ITB yang selalu menuturkan sudut pandangnya terhadap berbagai polemik bangsa Indonesia dengan caranya yang terkesan nyeleneh, tapi menohok. Bahkan, ketika menjadi dalang dalam pertunjukan wayang, dia kerap kali membawakan cerita yang dibuatnya sendiri. Cerita-ceritanya dibuat berdasarkan keadaan sosial yang sedang hangat diperbincangkan di negeri ini. Begitu pula dengan tulisan-tulisannya yang masih bisa dibaca di beberapa media Nasional.
Tak berbeda dengan tulisan-tulisan Jiwo yang lain, dalam buku terbarunya yang berjudul Lupa Indonesa terbitan Bentang Pustaka, Jiwo masih saja memberikan kritik secara terbuka dengan bahasa humor satir sampai sarkartis tentang korupsi hingga perilaku pejabat negeri ini. Kritikan yang diceritakan dengan gaya bahasa yang lugas dan penuh sindiran ini ternyata dapat menghasilkan karya yang layak untuk dinikmati dan direnungi. Ia juga menuliskan beragam kisah tentang orang-orang yang menurutnya telah melupakan identitas mereka sebagai bangsa Indonesia. Bahkan, Dahlan Iskan, dalam pengantar buku ini mengatakan bahwa tulisan Jiwo memang kurang ajar. Meski terkesan ngawur, berbagai pemikirannya itu terbilang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia.
Kemampuan Jiwo dalam mengkritisi segala persoalan sosial dan politik yang sedang terjadi dengan bungkus humor yang sarkartis namun cerdas, tak bisa disepelekan begitu saja. Di tulisan dan cerita wayangnya, segala masalah bangsa ini ditelanjangi habis-habisan, disuguhkan dalam bentuk humor cerdas yang menggelitik rasa ingin tahu siapa saja. Tak hanya itu, sindiran-sindirannya juga mampu membuka mata dan pikiran masyarakat tentang apa yang terjadi di negeri ini. Dan tentu saja semua itu dilakukannya tanpa ada rasa bersalah atau takut ke berbagai pihak yang “tertusuk” kritiknya.
Buku setebal 218 halaman ini merupakan kumpulan tulisan Sujiwo Tejo bertajuk “Wayang Durangpo” yang terbit setiap hari Minggu di harian Jawa Pos. “Durangpo” adalah akronim dari “Nglindur Bareng Ponokawan”. Nglindur (bahasa Jawa) artinya mengigau. Sedangkan Ponokawan adalah para abdi raja dalam cerita pewayangan, yang terdiri dari: Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Mbilung, Cangik dan Limbuk. Dalam pengantar buku ini, Sujiwo Tejo menyebutkan bahwa saat mengingau, apa saja menjadi tak mustahil terkatakan. Karena, saat seseorang mengigau yang diomongkan memang sekena-kenanya, tak ada yang salah, tak berpedoman, juga tanpa aturan dan batasan. Melalui para Ponokawan inilah Sujiwo mencoba membedah berbagai persoalan dalam alur cerita wayang khas miliknya.
Dalam buku yang terbagi atas 6 tema besar (Cinta Tanah Air, Dasar Manusia, Lupa-Lupa Ingat, Fulus Oh Fulus, Kecanduan Berharap dan Negeri Mimpi) ini Jiwo memaparkan pikiran-pikiran ngawurnya yang ternyata menggunah nurani. Sebut saja ketika Jiwo membuat cerita tentang banyaknya pejabat bejat ketika menjabat dalam Lakone Hanoman Ambasador (hlm 42-48). Lewat tiga tokoh utama dalam pewayangan, yakni Hanoman, Limbuk, dan Cangik, Jiwo berhasil menampilkan alur cerita yang sepertinya nyeleneh tapi sangkil. Melalui cerita versi pewayangan itu, Jiwo dengan lepas dan tanpa takut menyampaikan sumpah serapahnya terhadap pejabat korup yang memandang sebuah jabatan sebagai kondisi yang menguntungkan bagi dirinya sendiri, bukan sebagai bentuk pengabdian kepada rakyatnya.
Cerita ini ternyata tak hanya memberikan kritikan yang dibumbui humor satir, namun juga bisa dijumpai berbagai mutiara kearifan yang bersumber dari nilai filosofi kehidupan. Contohnya dalam deskripsi tokoh Hanoman. Meskipun Hanoman itu berwujud monyet, namun hatinya tak ubahnya dengan hati manusia. Jadi, “kemanusiaan” seseorang tak tergantung bagaimana wujudnya, namun tergantung esensinya. Sesuatu yang tak berwujud manusia bisa saja disebut manusia karena punya esensi “kemanusiaan” seperti Hanoman itu.
Bukan hanya filosofi kehidupan, tulisan-tulisan Jiwo di buku ini juga menyiratkan tentang nilai-nilai agama. Contohnya pada lakon Lupa Endonesia (2-7), dalam dialog antara Dewi Sariwati dengan Gareng (suaminya), sang Dewi bertutur, “Ibadah sembahyang itu tidak untuk dipamer-pamerkan, yang penting niatnya”. Kemudian Gareng mengatakan bahwa, “Intinya, bagaimana sembahyang itu bisa mendorong seluruh hatimu untuk menolong orang lain. Itulah inti pergi ke masjid, gereja, vihara, kuil, dan sebagainya. Kalau sebagian besar warga sembahyangnya bener, artinya bergairah bantu-membantu, jutaan penganggur itu akan dapat ojir untuk membuka lapangan kerja sendiri”. Disini Jiwo mencoba menanamkan bahwa jika masyarakat sembahyangnya benar maka perilakunya juga ikut benar. Begitu juga sebaliknya.
Terlepas dari kekurangan yang ada, seperti pemberian judul setiap cerita dalam bukunya yang terkesan dipaksakan, Jiwo telah berhasil menanamkan pemikiran-pemikirannya tentang persoalan yang dialami bangsa ini dan bagaimana cara kita menyingkapinya. Bukan dengan apatis dan melupakan segala permasalahan bangsa, tetapi setidaknya berani mempertanyakan berbagai peristiwa tak pantas yang anehnya dianggap wajar oleh banyak orang.