Saturday, March 30, 2013

La Mosquee Rahim 1885 part 1

La Mosquee Rahim 1885 part 1
.
Pagi belum genap pukul enam. Tapi saya ogah cuma termangu di kamar Hotel Park Hyatt Saigon, Ho Chi Minh City. Akhirnya saya melenggang santai hingga beberapa blok, dengan maksud menghirup udara segar sambil melemaskan otot. Tak sampai 15 menit, saya tiba di kawasan Distrik I. Sebagai negeri yang pernah dijajah Prancis, aroma sang penjajah kental terasa di kawasan ini. 
.
Selain Katedral Notre Dame yang berdiri megah dengan bata merah, beberapa ruas jalan menggunakan nama tokoh Prancis. Sebut saja Jalan Pasteur, Le Loi, Alexandre de Rhodes, atau Jalan Paris di sekitar Katedral. Boulevard dan taman dengan pohon mahoni besar-besar membuat suasana sekitarnya terasa nyaman.
.
Di taman halaman depan gereja, beberapa warga tengah bersenam sembari menikmati hangatnya mentari pagi. Sementara itu, dua-tiga pasangan keluarga muda asyik melemparkan makanan ke arah ratusan merpati yang berkerubung di sana. Semuanya begitu damai. Seolah peperangan yang melelahkan tak pernah singgah di kota itu. 
.
Adalah Alexandre de Rhodes yang memperkenalkan ajaran Nasrani di bumi Vietnam. Dia adalah misionaris asal Prancis pertama yang menjejakkan kaki di negeri itu. Rhodes menetap di Ho Chi Minh pada kurun waktu 1619-1646. Pada 1867 sampai 1957, Prancis menguasai bumi Vietnam.
.
***
.
Dari Katedral, saya melangkahkan kaki ke Independence Palace. Jaraknya sekitar satu kilometer dari Katedral. Sayang, jam kunjungan baru dimulai pukul 08.00. Agar tak sia-sia, memandangi gedung itu dari luar pagar sambil sesekali bergelantungan di pagar untuk memotret saya lakukan. Puas memotret saya mencegat tukang ojek, agar bisa cepat mandi dan menikmati sarapan di hotel.
.
Sepeda motor sepertinya menjadi alat transportasi utama kota ini. Tingkat kepadatannya tak beda dengan Jakarta. Begitu pun perilaku para pengendaranya. 
Memasuki jalan Nam Ky Khoi Nghia, laju sepeda motor yang saya tumpangi oleng. Sial. Rupanya ban depan gembos. "Ya, sudahlah, itung-itung olahraga pagi," batin saya menghibur diri. Meski Vietnam bisa disebut negeri berjuta sepeda motor, tak gampang menemukan tukang tambal sepagi itu. 
.
Ketika tubuh mulai berpeluh membantu si tukang ojek mendorong motor, saya terhenyak takjub. Di seberang jalan, di antara deretan ruko dan rumah-rumah bedeng nan kumuh, menyembul sebuah kubah berwarna keemasan. Di puncaknya mengacung simbol bulan sabit dan bintang. "La Mosquee Rahim 1885," begitu tulisan yang terpampang di depan kubah.
.
Sungguh, dari semula saya tak pernah menyangka bakal ada masjid di negeri itu. Sebab, pada peta saku yang disediakan hotel, tak satu pun tergambar simbol masjid. Padahal di peta itu, selain puluhan pagoda yang tersebar di sejumlah distrik, sebaran simbol gereja besar mencapai 16 buah.
.
Meski berideologi komunis, pemerintah Vietnam cukup moderat dalam memelihara kerukunan beragama. Sejak diterapkan politik pintu terbuka pada 1986, kehidupan beragama tumbuh subur di negeri itu. Pemerintah tak menghalangi warga untuk melaksanakan peribadatan sesuai dengan agama masing-masing. Karena itu, meski jumlah kaum muslim di Ho Chi Minh hanya sekitar 0,7 persen, mereka memiliki 15 masjid. 
.
Begitu menemukan tukang tambal ban, saya putuskan untuk kembali dan memasuki halaman masjid tersebut. Dari segi arsitektur, tak ada yang istimewa. Lantainya dilapis ubin teraso, diselimuti karpet hijau yang sudah lusuh. Hiasan kaligrafi di dinding ruangan dengan luas sekitar 8 x 10 meter tak berbeda dengan masjid atau musala di Indonesia. 
.
Aroma pesing bercampur karbol pembersih lantai dari tempat wudu melintas hingga ke dalam masjid. Sungguh tak berbeda dengan kondisi musala dan masjid di Jakarta. Tapi perasaan haru-biru tak berkurang oleh semua itu. 
.
*** end of part 1 ***